Saya cukup kaget ketika didiagnosis mengidap skizofrenia dan gangguan bipolar. Kedua penyakit mental ini kadang menimbulkan gangguan, tapi keluarga dan perusahaan bisa menerima kondisi saya dengan lapang hati. Hingga saat ini, saya masih menjalani pengobatan dan bekerja seperti biasa. Berikut adalah kisah saya sebagai pengidap skizofrenia dan bipolar disorder, tetapi masih aktif bekerja dengan optimal.
Berulang kali dirawat di bangsal kejiwaan
Perkenalkan, nama saya Rubi Antono, usia 48 tahun, seorang karyawan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur. Saya seorang single parent setelah ditinggal istri yang wafat pada 2019. Meski begitu, saya tidak sendirian karena ada dua orang anak yang menemani hari-hari saya.
Di balik kesibukan sebagai ayah sekaligus karyawan swasta, sebetulnya saya mengalami berbagai kesulitan. Ini berawal di tahun 1992, tepatnya ketika saya masih remaja.
Saya pergi dari rumah dan “menggelandang” di sekitaran Halim, Jakarta Timur, padahal rumah saya saat berada di Jakarta Utara. Selang satu minggu kemudian, saya bisa pulang ke rumah atas bantuan seorang tentara.
Pada saat itu, saya tidak tahu apa alasan di balik kepergiaan saya dari rumah. Keluarga pun tidak curiga, walaupun sebelumnya sempat khawatir.
Setelah kejadian itu, ternyata kondisi saya tidak membaik. Saya sering mengamuk, memukul orang, dan meresahkan warga di sekitar. Emosi saya yang tidak stabil ini membuat keluarga jadi kewalahan.
Akhirnya, keluarga pun mengambil keputusan untuk membawa saya ke rumah sakit. Pada tahun 2000 inilah pertama kalinya saya menjalani pengobatan di bangsal kejiwaan di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat.
Dokter tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi saya, tapi beliau meresepkan obat-obatan yang bisa membuat kondisi saya jadi lebih baik. Obat-obatan tersebut mujarab, saya kembali pulih dengan cepat dan memutuskan untuk menghentikan pengobatan.
Sayangnya, satu tahun kemudian, saya kembali berulah dan perlu menjalani pengobatan di bangsal dan rumah sakit yang sama.
Sama seperti sebelumnya, perawatannya singkat dan saya merasa lebih baik sehingga tidak lagi minum obat. Langkah saya kali ini juga menimbulkan masalah yang sama, perilaku agresif saya kembali kambuh di tahun 2003 dan perlu menjalani rawat inap sebanyak dua kali.
Di tahun 2010, ayah yang sayangi meninggal dunia. Hal tersebut membuat saya terpukul sekaligus tertekan, ditambah dengan stres pekerjan yang juga menumpuk sehingga membuat emosi saya menjadi tidak stabil.
Akhirnya, saya kembali menjalani rawat inap di rumah sakit yang sama seperti sebelumnya.
Dokter mendiagnosis saya mengidap skizoaffektif
Saya bolak-balik menjalani rawat inap di bangsal kejiwaan sebanyak lima kali. Dari perawatan pertama hingga keempat, saya sama sekali tidak tahu dengan penyakit yang menimpa saya.
Namun, pada perawatan kelima di tahun 2010, barulah saya mendapatkan jawaban atas pertanyaan, Sebenarnya, saya sakit apa?
Dokter mengatakan bahwa saya mengidap skizoaffektif, yaitu perpaduan antara skizofrenia dan gangguan bipolar, dengan fase manik – depresif yang sedikit lebih dominan. Penyakit inilah yang membuat saya mengalami waham atau delusi, paranoid, disertai juga dengan manik-depresif yang berulang.
Jujur, saya merasa asing dengan istilah skizoaffektif. Bisa jadi itu adalah pertama kalinya saya mendengar nama penyakit ini. Saya yang penasaran pun mencari tahu, dan menemukan bahwa penyakit inilah yang kerap kali menyebabkan seseorang kehilangan akal sehatnya alias menjadi gila.
Untungnya, keluarga dan perusahaan memahami kondisi saya
Mengetahui kondisi kesehatan mental saya yang terganggu, membuat saya kerap kali diliputi rasa bersedih dan kecewa.
Namun, setelah terdiagnosis penyakit ini, saya tidak berhenti untuk minum obat-obatan yang dokter resepkan. Saya juga tetap menyibukkan diri dengan bekerja, karena menurut saya aktivitas ini juga bagian dari terapi.
Selain penerimaan dan dukungan dari keluarga, ucapan mendiang istri saya adalah kekuatan bagi saya.
Ia bilang kalau saya adalah orang yang sabar, meski dengan penyakit seperti ini saya masih bisa bekerja. Ia juga selalu setia menemani saya menjalani pengobatan mulai dari zaman kami pacaran dulu, hingga sudah berkeluarga. Katanya, “Pak, jangan lupa minum obat.”
Memang kadang kala saya mengalami kesulitan, mengingat pekerjaan tidak lepas dengan yang namanya stres dan ini bisa jadi pemicu munculnya gejala skizoaffektif yang saya idap.