Hanya saja, orang-orang yang optimis tidak membuang pikiran negatifnya begitu saja. Mereka sadar bahwa wajar untuk berpikiran negatif ketika tertimpa masalah. Bedanya, mereka memilih untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang lebih cerah.
Sebagai contoh, seorang teman Anda baru saja putus dari pasangannya. Ia merasa sedih dan kecewa, tetapi ia tidak mengabaikan perasaan tersebut. Teman Anda paham bahwa normal baginya untuk merasa sedih pada saat-saat seperti ini.
Walaupun sedih dan kecewa, teman Anda memilih untuk bersikap optimis. Ia yakin ada hikmah di balik semuanya dan pengalaman ini dapat membuatnya menjadi orang yang lebih baik lagi. Bahkan, ia mungkin bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik.
Bersikap optimis adalah pilihan. Sekalipun selama ini Anda selalu memandang masalah dari sisi negatifnya saja, Anda bisa berlatih untuk mengubah sudut pandang ini. Prosesnya tentu tidak singkat, tapi bukan berarti mustahil.
Apa bedanya sikap optimis dan toxic positivity?

Seperti namanya, toxic positivity merupakan sikap positif yang bersifat seperti racun. Toxic positivity muncul ketika seseorang percaya bahwa satu-satunya cara yang benar untuk menjalani hidup hanyalah dengan bersikap positif saja.
Ini berarti Anda hanya boleh fokus pada hal-hal positif dan membuang semua hal yang memicu emosi negatif. Padahal, sikap seperti ini justru menumpuk emosi negatif dalam diri Anda dan membuat Anda merasa lebih buruk.
Berbeda dengan sikap optimis, toxic positivity adalah sikap yang keliru dan memaksa Anda mengabaikan rasa sedih, kecewa, marah, dan emosi sejenisnya. Toxic positivity justru menyalahkan seseorang atas perasaan yang mereka alami.
Berikut beberapa contoh kata-kata toxic positivity yang mungkin pernah Anda dengar:
- “Jangan selalu jadi orang yang negatif.”
- “Jangan terlalu dipikirkan. Lihat dari sisi positifnya, kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang..”
- “Jangan menyerah, pokoknya kamu pasti bisa.”
- “Coba lebih banyak bersyukur. Masih banyak orang lain yang masalahnya lebih berat dari kamu.”
- “Nanti masalahmu juga akan selesai, kok.”
Orang-orang yang mengatakan ini sebenarnya memiliki niat baik. Hanya saja, mereka menyampaikannya dengan cara dan waktu yang kurang tepat. Mereka tak sadar bahwa ucapannya yang bertujuan positif malah membuat orang lain merasa lebih buruk.
Apa yang sebaiknya dilakukan?

Tidak ada yang salah dari menyebarkan pesan positif, baik lewat media sosial ataupun secara langsung saat seseorang curhat kepada Anda. Meski demikian, coba perhatikan waktu dan cara yang tepat untuk menyampaikannya.
Saat Anda bercerita kepada orang lain, tentu lega rasanya bila Anda dapat meluapkan segala jenis emosi. Jadi, biarkan orang lain melakukan hal yang sama ketika bercerita kepada Anda. Biarkan mereka meluapkan isi hatinya dengan leluasa.
Tidak ada emosi yang ‘baik’ ataupun ‘buruk’. Malah, emosi bisa membantu Anda dalam mengenali suatu masalah. Jika Anda sedih karena putus cinta misalnya, ini merupakan tanda bahwa hubungan Anda berharga dan Anda mampu bangkit untuk membangun hubungan baru yang sama berharganya.
Lantas, bagaimana bila teman dekat Anda yang menyebarkan toxic positivity? Mungkin tidak mudah untuk mengingatkannya tentang ini. Namun, jika hal ini mengganggu Anda, Anda dapat menjauhkan diri sejenak.
Anda berhak berkata, “Terima kasih sudah memberi saran, tapi saat ini saya masih sulit berpikir positif. Saya perlu waktu sendiri dulu sampai rasa sedih saya agak berkurang.”
Sikap optimis dan toxic positivity adalah dua hal yang berbeda. Sikap optimis bermanfaat agar Anda memandang pengalaman hidup dari sisi positif tanpa mengabaikan emosi negatif, sedangkan toxic positivity membuat Anda harus membuang semua perasaan buruk.
Bagaimanapun, emosi manusia selalu berubah-ubah dan ini sangatlah wajar. Dengan bersikap optimis tanpa menjadi toksik, Anda akan bisa memahami orang lain dengan lebih baik.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar