Post power syndrome atau retirement syndrome termasuk masalah kesehatan mental yang bisa terjadi pada siapa saja, tetapi kerap menyerang lansia. Lantas, apa arti post power syndrome? Apa saja yang perlu diketahui mengenai sindrom ini? Simak ulasan berikut.
Apa itu post power syndrome?
Post power syndrome, disebut juga dengan sindrom pascapensiun atau sindrom pascakekuasaan, adalah kondisi kejiwaan yang umumnya terjadi pada orang-orang yang kehilangan kekuasaan atau jabatan, yang menimbulkan penurunan harga diri (self-esteem) pada orang tersebut.
Masalah mental yang umum pada lansia ini memiliki istilah lain, yakni retirement syndrome.
Menurut Citra Hanwaring Puri, S.Psi, seorang psikolog dari RS Jiwa Daerah Surakarta, Jawa Tengah, kata “power” pada kondisi ini bukan mengarah pada kekuasaan maupun pekerjaan.
Kata “power” ini merujuk pada sosok aktif atau banyak kegiatan, yang kemudian menjadi berkurang kegiatannya secara mendadak sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.
Jadi, dapat Anda simpulkan bahwa seseorang yang mengalami retirement syndrome tidak bisa menerima perubahan yang terjadi.
Perubahan yang terjadi menyangkut banyak aspek, tidak hanya aktivitas, tapi juga kekuasaan, harta, koneksi, dan lain sebagainya.
Apa tanda dan gejala dari post power syndrome?
Gejala retirement syndrome terbagi menjadi tiga, yakni sebagai berikut.
1. Gejala fisik
Pengidap sindrom ini kemungkinan besar akan berpenampilan lebih kuyu dan tidak ceria. Mereka jadi lebih mudah terserang penyakit, contohnya flu, pilek, atau demam.
Kondisi ini bisa terjadi karena sistem kekebalan tubuh mereka yang menurun.
2. Gejala terkait emosi
Seseorang dengan kondisi ini bisa menjadi lebih senang menyendiri. Ia mudah tersinggung atau marah (agitasi) jika pendapatnya diabaikan.
Mereka mungkin jadi lebih sering melamun karena kesepian dan hampa serta mudah bersedih dan kecewa.
Pada lansia, kondisi ini bisa saja menyebabkan lansia susah makan, dan pada akhirnya membuatnya mengalami kekurangan nutrisi.
3. Gejala yang melibatkan perubahan perilaku
Perilaku seseorang yang mengalami post power syndrome juga akan berubah.
Seseorang jadi lebih pemalu dan pendiam, atau malah sebaliknya, terus-menerus membicarakan masa-masa kejayaan kariernya pada waktu muda.
Mengapa lansia rentan mengalami post power syndrome?
Siapa saja bisa mengalami sindrom ini. Akan tetapi, lansia ialah kelompok usia yang paling rentan.
Pasalnya, seiring memasuki masa pensiun, lansia juga mengalami penurunan fungsi tubuh terkait proses penuaan.
Setiap orang menghadapi masa pensiun dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang merasa senang karena bisa terbebas dari pekerjaan dan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bersama anak dan cucu.
Namun, ada pula yang merasa kebingungan dan gelisah karena beranggapan bahwa masa pensiun merupakan masa yang menakutkan dan penuh ketidakjelasan.
Orang yang menghadapi masa pensiun dengan pikiran negatif inilah yang bisa menyebabkannya mengalami retirement syndrome.
Selain masa pensiun, orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja, termasuk PHK karena COVID-19, atau figur publik yang hilang ketenarannya juga berisiko dengan kondisi ini.
Penyebabnya tidak hanya itu. Ada juga faktor lain yang mendukung post power syndrome sebagai berikut.
- Hanya menguasai satu bidang pekerjaan, ketika tidak bisa bekerja pada bidang tersebut, ia merasa kehilangan mata pencaharian.
- Punya jabatan penting dalam perusahaan dan takut kehilangan pengakuan publik ketika harus berhenti bekerja.
- Ketika harus berhenti bekerja, ia mengkhawatirkan atau stres dengan masalah keuangan untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari.
- Ketakutan akan pembalasan dendam orang yang bekerja saat bawah pimpinannya, ketika ia melepas jabatan.
- Khawatir akan keberhasilan yang selama ini ia bangun akan hancur setelah ia berhenti bekerja.
Pada banyak kasus, post power syndrome menyerang orang dengan kepribadian yang selalu menuntut keinginannya untuk terpenuhi, senang dihormati dan mengatur orang lain, dan bangga dengan jabatannya.