Melewatkan sejumlah jadwal pemeriksaan kehamilan, lambung janin saya terdeteksi bermasalah pada usia kandungan 5 bulan. Janin saya diduga mengalami malnutrisi akibat adanya gangguan pada plasenta. Ini kisah kehamilan saya yang menyebabkan lambung janin bengkak dan mengalami malnutrisi.
Nutrisi tidak terserap oleh janin
Ketika mengandung anak pertama, saya amat sibuk karena sedang mengerjakan proyek baru. Di usia 4 bulan kehamilan, pemeriksaan kehamilan sempat saya lewatkan. Saat itu sulit sekali mencari waktu barang sehari untuk pergi ke dokter kandungan.
Bulan itu saya selalu mengundurkan jadwal periksa, hingga akhirnya tak terasa tiga minggu terlewat dari jadwal seharusnya. “Ah, ya sudah digabung saja sekalian dengan jadwal periksa bulan kelima,” pikir saya waktu tiu.
Saya tak bermaksud meremehkan pemeriksaan, namun toh hasil tiap kali cek bulan-bulan sebelumnya selalu baik. Tak pernah ada masalah kesehatan berarti yang saya alami selama 4 bulan kehamilan itu.
Saya tak pernah merasakan sakit perut atau mengalami pendarahan. Hanya mual dan kram perut biasa yang wajar dialami oleh siapapun yang tengah hamil trimester pertama. Saya merasa semua akan baik-baik saja meski melewati satu kali pemeriksaan rutin.
Memasuki bulan kelima kehamilan, saya memeriksakan diri di rumah sakit dekat kantor. Dokter melihat catatan kenaikan berat badan selama kehamilan dan bilang bahwa kenaikan berat badan saya kurang dari standar usia kehamilan 5 bulan.
Saat USG dokter lanjut menjelaskan bahwa ari-ari dalam keadaan bagus, irama detak jantung janin saya dalam keadaan baik, dan perkembangan otaknya juga bagus. Namun ada masalah pada bagian lambung yang tampak membesar. Menurutnya, ada gangguan pada plasenta yang menyebabkan makanan yang saya konsumsi tak tersalurkan dengan baik sehingga janin saya malnutrisi.
Maka, sepulang dari pemeriksaan kandungan itu saya pulang membawa sekantong pil obat-obatan dan berbagai macam vitamin. Di perjalanan saya hanya termenung memikirkan semua penjelasan dokter. Saya merasa syok sendiri setelah mendengar kondisi janin di kandungan saya. Suami saya saat itu masih terjebak macet di perjalanan pulang.
Kondisi itu membuat saya memikirkan banyak hal buruk, rasa bersalah karena melewati pemeriksaan di bulan ke-4 pun menghantui. Setibanya di rumah, saya menumpahkan tangis yang tertahan selama di perjalanan. Saya sungguh menyesal dan waswas akan kondisi janin yang saya kandung.
Saya menyesal karena telah menyepelekan kontrol rutin. Padahal pemeriksaan kehamilan itu harus menjadi agenda wajib ibu hamil untuk mengontrol perkembangan janin dan kondisi kesehatan. Sehingga ketika ada masalah bisa diatasi dengan lebih baik sejak dini. Hal ini juga yang sudah sering diwanti-wanti oleh ibu dan kakak saya yang sudah lebih dulu melewati beberapa kali pengalaman hamil dan melahirkan.
Pembengkakan lambung janin, pemeriksaan lebih sering
Untuk masalah pembengkakan lambung janin dan malnutrisi, dokter memberikan satu jenis obat ditambah vitamin dan zat besi yang fungsinya untuk melancarkan pencernaan si janin. Dokter menyarankan agar saya istirahat dan tidur malam cukup, serta konsumsi makanan sehat.
Selama kehamilan trimester pertama memang saya sering merasa mual, jadi kemungkinan itu yang membuat kebutuhan nutrisinya kurang terpenuhi. Dua minggu kemudian pembengkakan di lambung janin sudah kembali normal. Perkembangannya juga sudah sesuai dan kenaikan berat badan saya perlahan menyesuaikan.
Saya bersyukur saat itu dikelilingi orang-orang yang suportif. Selain suami, ibu dan kakak juga jadi support system yang selalu memberi masukan positif. Tim di tempat kerja juga amat pengertian dan membuat saya bisa lebih banyak istirahat.
Meskipun begitu perasaan was-was terus menghantui. Setiap kali perut saya terasa tegang atau kepala pusing, saya pasti langsung melepas semua aktivitas lalu beristirahat. Saya juga menjauhi fastfood, makanan favorit saya. Walaupun dokter bilang boleh mengonsumsinya sesekali, tapi saya tidak pernah berani meski sangat ingin. Pokoknya istirahat, susu, makanan sehat, dan minum air putih menjadi hal-hal yang sangat saya perhatikan.
Jadwal periksa yang sebelumnya sebulan sekali pun saya tambahkan jadi dua kali dalam satu bulan. Saya periksa di dua rumah sakit berbeda demi memastikan kesehatan si buah hati. Setelah periksa dua minggu sekali, saya merasa lebih tenang karena mendapat dua penjelasan dari dua dokter spesialis kandungan.
Melahirkan bayi berat badan rendah
Saat usia kehamilan 37 minggu, saya mulai merasa mulas-mulas. Pada Senin sore, saya diantar suami ke rumah sakit dengan harapan bisa lahir secara normal. Tapi sampai lewat tengah malam pembukaan tidak kunjung naik. Malahan yang sebelumnya sudah mau pembukaan 5 jadi turun lagi ke pembukaan 4.
Dokter menjelaskan kalau air ketuban saya sedikit sehingga tidak akan cukup untuk mendorong bayi keluar. Padahal selama hamil saya sudah banyak minum air putih, sampai menyediakan galon air di kamar.
Akhirnya saya mengiyakan saran dokter untuk operasi caesar. Lagi pula sepertinya saya sudah tidak sanggup menahan mules yang sudah menyerang selama 12 jam.
Suara tangisan pertama bayi saya sangat melegakan. Namun kemudian saya mendengar dokter berkata, “Kecil”. Saya pun bertanya, “Hah kecil? Apa yang kecil?”
Ternyata bayi saya lahir dengan berat badan rendah (BBLR), beratnya cuma 2 kg. Berat tersebut lebih kecil dari hasil observasi sebelum melahirkan yang memperkirakan berat bayi 2,8 kg.
Proses berikutnya terasa berjalan sangat cepat. Setelah tim bidan membersihkan bayi, saya hanya sempat menyusuinya beberapa detik. Bayi saya langsung dibawa ke ruang NICU. Saya tanya, “Bayi saya kenapa, Dok?”
Saya terus bertanya selagi dokter menyelesaikan proses operasi. Tapi dokter cuma jawab, “Iya nanti dijelasin, ya.” Jawaban tersebut membuat saya menduga-duga hal yang buruk.
Setelah dipindah ke ruang rawat, barulah suami menjelaskan kondisi bayi kami yang memiliki berat badan rendah, detak jantungnya lemah, dan paru-parunya lemah. Syukur alhamdulillah, setelah observasi di ruang NICU selama 18 jam ternyata tidak ada masalah kesehatan.
Saat ini bayi saya sudah berusia 14 bulan, tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengalaman kehamilan ini menjadi pelajaran bagi saya jika nanti diberi kesempatan untuk hamil anak kedua.
Shera (28) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]