backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Keracunan Ivermectin Meningkat, Apakah Masih Dijadikan Obat Covid-19?

Ditinjau secara medis oleh dr. Tania Savitri · General Practitioner · Integrated Therapeutic


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 01/11/2021

    Keracunan Ivermectin Meningkat, Apakah Masih Dijadikan Obat Covid-19?

    Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan izin uji klinis obat cacing ivermectin untuk penanganan pasien COVID-19 di 8 rumah sakit di Indonesia. Penggunaan ivermectin ini sejalan dengan rekomendasi WHO yang telah mengeluarkan izin ivermectin hanya untuk uji klinis, bukan penggunaan secara bebas. Namun, beberapa kasus keracunan ivermectin terkait COVID-19 di beberapa negara mengalami peningkatan. Lantas, apakah obat ini masih digunakan untuk mengobati COVID-19 di Indonesia?

    Kasus keracunan ivermectin terkait COVID-19 meningkat

    Ivermectin Sebagai Obat COVID-19, Bagaimana Penelitiannya?

    Ivermectin adalah obat anti-parasit untuk mengobati infeksi akibat parasit seperti cacing gelang atau tungau. Obat ini termasuk golongan anthelmintic yang mampu melumpuhkan atau mematikan cacing sehingga bisa dikeluarkan bersama kotoran. 

    Izin edar ivermectin di Indonesia adalah sebagai obat cacing dengan label obat keras yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Di beberapa negara, obat cacing ini juga digunakan sebagai obat untuk mencegah cacingan (heartworm) pada hewan ternak seperti babi.

    Food and Drug Administration (FDA), badan serupa BPOM di Amerika Serikat, menyetujui penggunaan obat cacing ivermectin pada manusia dan hewan. Pada manusia, obat ivermectin jenis tablet diizinkan untuk pengobatan infeksi cacing parasit di usus dan di mata. Sementara bentuk topikal disetujui untuk pengobatan infeksi parasit eksternal seperti kutu rambut atau masalah kulit seperti rosacea. 

    Sekarang ini, ivermectin cukup melambung tinggi di pasaran karena beberapa studi yang melaporkan potensinya dalam mengobati dan mencegah Covid-19.

    Namun berdasarkan situs BBC, berbagai studi yang melaporkan potensi ivermectin tersebut menunjukkan banyak kecacatan. Salah satunya, ditemukan jumlah yang tidak bertambah atau persentase yang tidak dihitung secara benar dari objek penelitian.

    Dr Sheldrick, dokter medis dan peneliti dari University of New South Wales di Sydney mengatakan bahwa selain faktor kesalahan manusia, ada kemungkinan tindakan manipulasi yang dilakukan secara sengaja. Bersama timnya, Dr. Sheldrick telah mengajukan penarikan studi yang tidak valid pada jurnal-jurnal ilmiah yang telah menerbitkan.

    Ivermectin umumnya dianggap sebagai obat yang aman, meskipun kemungkinan efek samping tetap ada. Di Amerika Serikat, laporan dugaan keracunan ivermectin mengalami peningkatan, dan kebanyakan mengeluhkan muntah, diare,, halusinasi, kebingungan, mengantuk, dan tremor.

    Dr. Patricia Garcia, seorang ahli kesehatan di Peru mengatakan 14 dari 15 pasien yang ia amati di rumah sakit menggunakan ivermectin ketika mereka merasakan tidak enak badan.

    Alasan keracunan ivermectin meningkat terkait Covid-19

    sakit kepala gejala covid-19

    Penggunaan invermectin untuk mencegah maupun mengobati infeksi virus SARSCoV-2 masih menimbulkan perdebatan hingga saat ini. Beberapa negara, seperti India, Afrika Selatan, Peru, dan sebagian besar Amerika Latin menggunakan obat ini untuk perawatan Covid-19.

    Akan tetapi, maraknya kasus keracunan membuat negara India dan Peru berhenti merekomendasikan ivermectin sebagai pedoman pengobatan infeksi virus Corona. Pada bulan Februari lalu, Merck—perusahaan yang memproduksi obat tersebut—mengklaim bahwa tidak ada dasar ilmiah mengenai efek terapeutik potensial dari ivermectin terhadap Covid-19.

    Beberapa ahli kesehatan menduga meningkatnya kasus keracunan ivermectin kemungkinan berkaitan dengan beberapa hal berikut ini.

    • Keterbatasan jumlah, distribusi vaksin yang bermasalah dan tidak merata, atau ketidakmauan menjalani vaksinasi Covid-19 mendorong seseorang untuk menggunakan ivermectin sebagai bentuk pencegahan terhadap penularan virus Corona.
    • Menggunakan obat ivermectin tanpa pengawasan dokter untuk mengobati Covid-19 yang diderita, padahal gejala sudah memburuk.

    Tanggapan BPOM terkait penggunaan ivermectin untuk C0vid-19

    kendaron obat tab adalah

    Kementerian Kesehatan RI hingga saat ini masih melakukan uji klinik tahap II untuk memastikan keamanan dan potensi obat ivermectin dalam mengobati infeksi virus Corona, dikutip dari laman cnnindonesia.com, Kamis ((7/10).

    Sejauh ini uji klinik yang dilakukan telah berlangsung selama 3 bulan dari akhir Juni 2021. Uji klinis dilakukan di 8 rumah sakit yakni RSPI Sulianti Saroso, RS Persahabatan, RSPAD Gatot Subroto, RSDC Wisma Atlet, RS Sutoyo, RSAU Dr. Esnawan Antariksa, RSUD Dr. Soedarso Pontianak, dan RS Adam Malik Medan.

    Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, menjelaskan bahwa ivermectin masih dalam tahap pengujian di 8 rumah sakit di sejumlah daerah. Nadia memaparkan setelah uji klinik selesai dilakukan oleh peneliti, pihaknya akan mengamati kembali metode penelitin. Selanjutnya, hasil pengamatan akan dikirimkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk ditetapkan penggunaannya.

    Selagi uji klinik berlangsung BPOM memberikan lampu hijau, yakni perizinan penggunaan darurat (EUA) pada ivermectin sebagai obat Covid-19 di bawah pengawasan dokter.

    Dalam klarifikasinya, BPOM menegaskan bahwa ivermectin merupakan golongan obat keras yang penggunaannya harus berdasar resep dan pengawasan dokter. Di bawah ini merupakan poin-poin klarifikasi yang disampaikan BPOM.

    1. Belum ada cukup bukti khasiat ivermectin untuk mencegah atau mengobati COVID-19.
    2. Ivermectin merupakan obat keras yang pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter.
    3. Ivermectin hanya boleh digunakan atas persetujuan dan di bawah pengawasan dokter.
    4. Ivermectin yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping, antara lain nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson.
    5. Produksi Ivermectin untuk pengobatan pada manusia di Indonesia masih baru. Untuk itu, BPOM memberikan batas waktu kedaluwarsa selama 6 bulan terhadap obat tersebut.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Tania Savitri

    General Practitioner · Integrated Therapeutic


    Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 01/11/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan