Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan izin uji klinis obat cacing ivermectin untuk penanganan pasien COVID-19 di 8 rumah sakit di Indonesia. Penggunaan ivermectin ini sejalan dengan rekomendasi WHO yang telah mengeluarkan izin ivermectin hanya untuk uji klinis, bukan penggunaan secara bebas. Namun, beberapa kasus keracunan ivermectin terkait COVID-19 di beberapa negara mengalami peningkatan. Lantas, apakah obat ini masih digunakan untuk mengobati COVID-19 di Indonesia?
Kasus keracunan ivermectin terkait COVID-19 meningkat
Ivermectin adalah obat anti-parasit untuk mengobati infeksi akibat parasit seperti cacing gelang atau tungau. Obat ini termasuk golongan anthelmintic yang mampu melumpuhkan atau mematikan cacing sehingga bisa dikeluarkan bersama kotoran.
Izin edar ivermectin di Indonesia adalah sebagai obat cacing dengan label obat keras yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Di beberapa negara, obat cacing ini juga digunakan sebagai obat untuk mencegah cacingan (heartworm) pada hewan ternak seperti babi.
Food and Drug Administration (FDA), badan serupa BPOM di Amerika Serikat, menyetujui penggunaan obat cacing ivermectin pada manusia dan hewan. Pada manusia, obat ivermectin jenis tablet diizinkan untuk pengobatan infeksi cacing parasit di usus dan di mata. Sementara bentuk topikal disetujui untuk pengobatan infeksi parasit eksternal seperti kutu rambut atau masalah kulit seperti rosacea.
Sekarang ini, ivermectin cukup melambung tinggi di pasaran karena beberapa studi yang melaporkan potensinya dalam mengobati dan mencegah Covid-19.
Namun berdasarkan situs BBC, berbagai studi yang melaporkan potensi ivermectin tersebut menunjukkan banyak kecacatan. Salah satunya, ditemukan jumlah yang tidak bertambah atau persentase yang tidak dihitung secara benar dari objek penelitian.
Dr Sheldrick, dokter medis dan peneliti dari University of New South Wales di Sydney mengatakan bahwa selain faktor kesalahan manusia, ada kemungkinan tindakan manipulasi yang dilakukan secara sengaja. Bersama timnya, Dr. Sheldrick telah mengajukan penarikan studi yang tidak valid pada jurnal-jurnal ilmiah yang telah menerbitkan.
Ivermectin umumnya dianggap sebagai obat yang aman, meskipun kemungkinan efek samping tetap ada. Di Amerika Serikat, laporan dugaan keracunan ivermectin mengalami peningkatan, dan kebanyakan mengeluhkan muntah, diare,, halusinasi, kebingungan, mengantuk, dan tremor.
Dr. Patricia Garcia, seorang ahli kesehatan di Peru mengatakan 14 dari 15 pasien yang ia amati di rumah sakit menggunakan ivermectin ketika mereka merasakan tidak enak badan.
Alasan keracunan ivermectin meningkat terkait Covid-19
Penggunaan invermectin untuk mencegah maupun mengobati infeksi virus SARS–CoV-2 masih menimbulkan perdebatan hingga saat ini. Beberapa negara, seperti India, Afrika Selatan, Peru, dan sebagian besar Amerika Latin menggunakan obat ini untuk perawatan Covid-19.
Akan tetapi, maraknya kasus keracunan membuat negara India dan Peru berhenti merekomendasikan ivermectin sebagai pedoman pengobatan infeksi virus Corona. Pada bulan Februari lalu, Merck—perusahaan yang memproduksi obat tersebut—mengklaim bahwa tidak ada dasar ilmiah mengenai efek terapeutik potensial dari ivermectin terhadap Covid-19.
Beberapa ahli kesehatan menduga meningkatnya kasus keracunan ivermectin kemungkinan berkaitan dengan beberapa hal berikut ini.
- Keterbatasan jumlah, distribusi vaksin yang bermasalah dan tidak merata, atau ketidakmauan menjalani vaksinasi Covid-19 mendorong seseorang untuk menggunakan ivermectin sebagai bentuk pencegahan terhadap penularan virus Corona.
- Menggunakan obat ivermectin tanpa pengawasan dokter untuk mengobati Covid-19 yang diderita, padahal gejala sudah memburuk.