Mengobati COVID-19 dengan obat-obatan antivirus dan antibiotik tanpa resep dokter bisa membuat kerusakan organ yang berakibat fatal.
Pada sebagian besar orang, infeksi COVID-19 bisa saja tidak bergejala atau hanya gejala ringan. Mereka bisa isolasi mandiri di rumah, tapi bukan berarti bisa mengobati diri sendiri dengan obat-obatan tanpa resep dokter.
Bahaya mengobati COVID-19 dengan obat antivirus dan antibiotik tanpa resep dokter
Belakangan banyak beredar pesan yang berisi resep obat untuk COVID-19 di media sosial, di grup-grup percakapan, ataupun dikirim perorangan kepada pihak yang terinfeksi COVID-19. Pesan tersebut berisi saran penggunaan beberapa jenis obat seperti Azithromycin, Favipiravir, dan Dexamethasone untuk mengobati COVID-19.
Saran pengobatan seperti ini juga sering datang dari teman, tetangga, atau kerabat penyintas COVID-19 sehingga dianggap manjur. Padahal obat tersebut adalah obat keras yang hanya bisa dibeli dengan resep dokter.
“Inilah yang terjadi di masyarakat, ada orang yang minum azithromycin hingga 10 hari. Dosis dan durasi minum yang tidak sesuai ini efeknya bisa merusak hati dan ginjal,” kata dr. Muhammad Alkaff, SpPd, spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Persahabatan.
Semakin maraknya penggunaan antibiotik secara asal-asalan berpotensi membuat masalah baru di tengah pandemi yang masih belum bisa tertangani. Tapi sayangnya obat antibiotik maupun antivirus ini bisa didapatkan dengan mudah di apotek-apotek tidak resmi maupun toko online. Hal tersebut membuka peluang masyarakat untuk membeli secara bebas obat tersebut.
Apa itu Azithromycin, Favipiravir, Dexamethasone?
Azithromycin adalah antibiotik untuk mengobati penyakit infeksi akibat bakteri. Azithromycin digunakan untuk penanganan pasien COVID-19 karena memiliki peran sebagai antivirus. Namun obat ini hanya diresepkan pada pasien COVID-19 kriteria tertentu sesuai dengan penilaian dokter. Konsumsi antibiotik yang tidak diperlukan berisiko semakin rentannya tubuh terhadap infeksi dan berakibat kebal terhadap pengobatan antibiotik dikemudian hari.
Sementara favipiravir atau avigan adalah obat antivirus yang penggunaannya harus dengan resep dokter. Kemudian dexamethasone merupakan obat steroid golongan kortikosteroid. Obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi peradangan, gangguan pencernaan, asma, dan reaksi alergi.
Kadang, dexamethasone juga digunakan dalam pengobatan beberapa jenis kanker. Setelah melalui uji klinis, Dexamethasone terbukti ampuh menyelamatkan pasien COVID-19 dari kondisi kritis.
Jadi penggunaan obat ini diberikan oleh dokter pada pasien COVID-19 di rumah sakit yang dalam kondisi kritis.
Penggunaan obat-obatan keras tanpa bimbingan medis bisa menyebabkan keterlambatan penanganan yang tepat, memperburuk kondisi, serta meningkatkan morbiditas.
Pengobatan COVID-19 berbeda-beda pada setiap orang
Setiap orang yang terinfeksi COVID-19 harus berobat minimal 1 kali untuk mendapat resep pengobatan yang tepat. Dokter bisa menilai kondisi pasien, baik dari gejala yang saat itu dialami maupun dari riwayat penyakit yang dideritanya.
“Setiap orang yang terinfeksi COVID-19 harus konsultasi dengan dokter, bisa telemedicine, paling tidak satu kali segera setelah terkonfirmasi positif,” ucap Alkaff menekankan pentingnya konsultasi dengan dokter.
Hal ini karena pengobatan COVID-19 pada setiap orang berbeda-beda tergantung derajat gejala dan sesuai dengan fase lama perjalanan penyakitnya.
Berdasarkan waktu perjalanan penyakitnya, infeksi COVID-19 ada tiga fase yakni fase 1, fase 2A-2B, dan fase 3. Pada setiap fase ini pengobatan yang dibutuhkan berbeda-beda.
“Pada penyakit tipes, berapa pun lama masa infeksinya, obatnya tetap sama. Tapi pada COVID-19, obatnya berbeda-beda,” jelas Alkaff.
“COVID-19 ini adalah penyakit yang memerlukan kejelian dalam menentukan fase-fasenya karena terapinya tidak sama dari hari ke hari sesuai dengan kronologis fasenya. Misalnya obat anti peradangan, itu tidak boleh sama sekali diberikan pada pasien COVID-19 fase 1 dan 2,” terangnya.
Selain dibedakan menurut fasenya, pengobatan COVID-19 juga ditentukan berdasarkan derajat penyakitnya. Ada lima derajat gejala COVID-19 yakni tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, gejala berat, dan kritis. Pada setiap derajat gejala tersebut, obatnya berbeda-beda.
Tanpa gejala dan gejala ringan bisa melakukan isolasi mandiri di rumah tapi tetap dalam pemantauan. Sedangkan gejala sedang, berat, dan kritis harus diopname dan ada obat-obat yang hanya bisa diberikan di rumah sakit.
Penilaian gejala maupun fase penyakitnya bisa dilakukan oleh dokter agar pengobatan yang diterima sesuai dengan kebutuhan, baik itu jenis obat, dosis, maupun durasi minumnya. Hal ini terutama berlaku pada pasien dengan komorbid, karena obat-obatan tertentu bisa menjadi kontradiksi dengan penyakit penyerta yang diidapnya.
Kementerian Kesehatan telah menyediakan layanan telemedicine gratis bagi pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri di rumah. Layanan ini berlaku bagi pasien yang melakukan tes PCR di laboratorium yang telah terafiliasi dengan Kemenkes.
Mereka yang mendapatkan hasil positif akan otomatis menerima pesan WhatsApps berisi link dan kode voucher untuk registrasi telemedicine gratis. Layanan konsultasi online bisa dilakukan di salah satu dari 11 platform layanan telemecine yang bekerja sama dengan Kemenkes.
Setelah berkonsultasi secara online, pasien akan mendapatkan resep obat yang sesuai dengan kondisinya dan bisa ditebus di apotek Kimia Farma terdekat.