Beberapa orang punya kebiasaan untuk segera mencari makanan enak saat merasa sedih atau marah. Meski kesannya sepele, hal ini bisa menjadi pertanda emotional eating. Lantas, apa yang dimaksud dengan emotional eating? Simak pembahasan selengkapnya di bawah ini.
Apa itu emotional eating?
Emotional eating atau makan emosional adalah sebuah kondisi ketika seseorang menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi emosi, bukan makan karena lapar.
Apabila merasa marah, sedih, atau stres, Anda mungkin mencari makanan untuk menenangkan emosi. Makanan biasanya akan menjadi pengalih perhatian.
Saat merasa emosional, Anda akan memilih untuk makan saja agar mendapatkan kenyamanan daripada harus memikirkan masalah atau kondisi yang sedang dialami.
Emotional eating umumnya dikaitkan dengan emosi negatif, seperti ketika Anda sedang merasa kesepian, sedih, gelisah, takut, marah, atau bosan.
Emosi ini membuat Anda makan lebih banyak tanpa berpikir makanan apa saja atau sudah berapa banyak Anda makan.
Apabila dilakukan secara terus-menerus, tidak menutup kemungkinan gangguan makan ini bisa memengaruhi berat badan dan kesehatan tubuh Anda secara keseluruhan.
Penyebab emotional eating
Penelitian dalam jurnal Minerva Endocrinologica (2014) menyebutkan bahwa sekitar 40% orang cenderung makan lebih banyak saat stres.
Sementara itu, sekitar 40% lainnya dapat makan lebih sedikit dan 20% sisanya tidak mengalami perubahan jumlah makanan saat mengalami stres.
Hormon kortisol meningkat ketika Anda stres. Pada saat ini, Anda juga merasakan peningkatan nafsu makan sebagai cara tubuh menyediakan energi yang dibutuhkan untuk merespons stres.
Hasilnya, stres membuat Anda makan berlebihan karena tubuh sebenarnya berusaha memberikan kenyamanan untuk Anda.
Emotional eating mungkin juga terbentuk secara tidak langsung sedari kecil dari kebiasaan yang dibangun oleh orangtua.
Contohnya, orangtua menawarkan makanan saat Anda sedih atau marah untuk menenangkan Anda. Contoh lainnya adalah memberikan makanan favorit sebagai hadiah atas pencapaian Anda.
Oleh karena itu, beberapa orangtua mungkin memilih tidak menjadikan makanan sebagai “hadiah” untuk mencegah anaknya menjadi seorang emotional eater.
Perbedaan emotional eating dan binge eating
- Emotional eating: makan dalam porsi normal atau besar untuk merespons emosi, seperti stres, sedih, atau, bosan meski sedang tidak lapar.
- Binge eating: makan dalam porsi sangat banyak dalam waktu singkat yang kerap disertai kemunculan perasaan bersalah setelahnya.
Cara mengatasi emotional eating
Makanan yang dikonsumsi oleh emotional eater cenderung tinggi kalori, seperti es krim, biskuit, cokelat, permen, makanan ringan, hingga junk food.
Belum lagi, perubahan nafsu makan karena stres juga membuat Anda bisa makan lebih tiga kali dalam sehari dengan porsi yang besar.
Hal inilah yang dapat menyebabkan kenaikan berat badan. Jika terus dibiarkan, kondisi ini tentu bisa menimbulkan masalah kesehatan yang lebih serius.
Karena dampaknya tersebut, penting untuk mengatasi emotional eating lewat beberapa langkah di bawah ini.
1. Belajar mengenali rasa lapar
Sebelum Anda mulai makan, sebaiknya tanyakan pada diri sendiri apakah Anda makan karena benar-benar merasa lapar atau hanya karena dorongan emosi semata.
Biasanya, saat Anda merasa lapar, Anda akan merasakan sejumlah tanda, seperti perut keroncongan, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah.
Jadi, jika belum merasa benar-benar lapar, mungkin ada baiknya Anda menunda makan hingga waktunya nanti.
2. Sediakan camilan sehat di rumah
Kebiasaan makan emosional tidak bisa hilang begitu saja. Saat emosi memicu keinginan untuk makan, punya camilan sehat di rumah tentu menjadi pilihan yang lebih baik.
Buah potong, yoghurt dingin, atau kacang-kacangan tidak hanya lebih bergizi, tetapi juga dapat membantu Anda merasa kenyang lebih lama.
Lama-kelamaan, hal ini dapat mengurangi keinginan Anda untuk makan ketika sedang emosi.