Bentuk hidung orang bisa berbeda-beda. Ada yang pesek, mancung, kecil, dan besar. Bentuk dan ukuran hidung seseorang umumnya tidak akan berubah sepanjang hidupnya karena dipengaruhi oleh genetik. Ketika hidung Anda terus membesar dan berubah bentuk, ini mungkin adalah pertanda rinofima. Di Indonesia, rinofima adalah istilah medis dari hidung jambu yang katanya bawa hoki. Hmm… Benarkah begitu?
Rinofima adalah masalah kulit langka
Rinofima adalah kondisi kulit langka yang menyebabkan hidung membesar dan membulat di tengahnya hingga berbentuk seperti bohlam.
Hidung jambu akibat rinofima bisa jadi cikal bakal kanker. Suatu penelitian melaporkan bahwa 3-10% kasus rinofima berkembang menjadi kanker karsinoma. Maka, kondisi ini tetap butuh diagnosis dini dan pemeriksaan dokter.
Apa penyebab seseorang punya hidung jambu?
Penyebab dari kondisi ini tidak diketahui pasti. Namun pakar kesehatan dunia sepakat bahwa pembesaran hidung akibat rinofima dapat dipicu oleh pembesaran pembuluh darah di hidung, sehingga membuat kulit hidung menebal.
Rinofima sempat dikaitkan dengan rosacea parah dan konsumsi minuman beralkohol berlebihan. Kedua hal ini memang dapat menyebabkan pembuluh darah melebar. Namun, kondisi ini bisa juga terjadi pada orang-orang yang tidak minum miras sama sekali dan yang tidak punya rosacea seumur hidupnya.
Rinofima lebih umum dialami oleh laki-laki paruh baya usia 50-70 tahun. Hal ini diduga karena ada kaitannya dengan hormon androgen pria. Orang-orang berkulit putih juga termasuk yang rentan mengalami rinofima.
Apa saja gejala yang muncul?
Gejala rinofima menyebabkan:
- Hidung membesar dan membulat bak bohlam atau jambu yang menggantung di batang hidung.
- Kulit hidung menebal, berminyak, dan bergelombang dengan pori-pori yang juga membesar.
- Kulit hidung memerah. Lama-lama ujung hidung akan berwarna merah tua hingga ungu gelap.
Seseorang yang memiliki kondisi ini akan merasa tulang hidung mereka seakan terus tumbuh. Anda juga akan mengalami pembengkakan pembuluh darah kecil di hidung dan pipi. Seiring waktu akan timbul jaringan parut pada hidung.
Rinofima kadang bisa didahului oleh jerawat di hidung. Setelahnya, Anda akan terus mengalami jerawat berulang di hidung seiring perkembangan gejalanya.
Bagaimana cara mengatasi rinofima?
Untuk mengobati hidung jambu, dokter akan lebih dulu memeriksa kondisi fisik Anda berdasarkan gejala yang muncul. Ia juga bisa melakukan biopsi pada hidung untuk memastikan rinofima yang Anda alami berpotensi kanker atau tidak. Selanjutnya, pengobatan rinofima akan disesuaikan dengan keparahan gejala dan penyebabnya.
Pakai obat
Pada awalnya, dokter mungkin akan meresepkan obat minum isotretinoin untuk mengurangi kemerahan dan mengecilkan kelenjar keringat. Obat ini adalah pilihan paling pertama jika gejalanya tidak parah.
Dalam beberapa kasus, dokter mungkin juga meresepkan salep atau krim antibiotik seperti tetrasiklin, metronidazole, erythromycin, atau asam azaleac mengurangi kemerahan atau peradangan di kulit hidung. Dokter juga akan merekomendasikan pelembab atau obat yang bisa membantu mencegah kulit mengering.
Bedah
Bedah seringkali jadi pilihan terakhir dan terbaik untuk mengatasi rinofima yang terjadi dalam jangka panjang. Pembedahan dibutuhkan ketika jaringan kulit hidung terus tumbuh dan dicurigai berpotensi kanker.
Ada beberapa pilihan perawatan bedah untuk rinofima, antara lain:
- Dermabrasi untuk menghilangkan lapisan kulit teratas.
- Cyrosurgery yang membekukan kemudian menghancurkan jaringan abnormal.
- Eksisi, mengangkat pertumbuhan atau jaringan yang berlebih.
- Laser karbondioksida. Menurut British Dermatology Association, risiko perdarahan lebih minim dengan metode ini tapi bisa menyebabkan perubahan warna kulit dan timbulnya jaringan parut.
Setiap pilihan bedah memiliki risiko masing-masing. Dokter akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan Anda mengenai semua kemungkinan komplikasi yang bisa terjadi sebelum menentukan prosedur yang tepat. Dokter juga bisa melakukan kombinasi dua teknik pembedahan.
Mengobati rinofima sedini mungkin dapat menghindari kerusakan permanen dan gejala yang berkepanjangan. Meski begitu, risiko kekambuhan masih sangat mungkin terjadi.