Pola asuh otoriter kerap menjadi momok bagi sebagian besar anak. Pasalnya, penerapan gaya pengasuhan ini terbilang sangat ketat.
Orangtua akan bersikap keras dan tegas kepada anaknya untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Lantas, apa dampak pola asuh otoriter ini terhadap anak? Simak ulasannya berikut ini.
Apa itu pola asuh otoriter?
Authoritarian parenting atau pengasuhan otoriter adalah salah satu bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orangtua agar anak tunduk dan patuh.
Mengutip Michigan State University, orangtua dengan pola pendidikan otoriter biasanya mengharapkan anak-anaknya untuk mengikuti aturan tanpa diskusi atau kompromi.
Ia akan bersikap memaksa, keras, dan kaku. Selain itu, orangtua juga mengabaikan emosi sang anak.
Bahkan, ia akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkannya.
Banyak orangtua yang memilih gaya pengasuhan ini karena kebangsaan, budaya, atau latar belakang etika mereka yang suka mendikte.
Kemungkinan juga karena tidak ada pandangan lain terkait cara mendidik anak. Akhirnya, mereka percaya bahwa memerintah adalah cara terbaik untuk menjaga agar anak-anak tetap sejalan dan terkendali.
Oleh karena itu, gaya pengasuhan otoriter seringkali dianggap sebagai pola asuh yang bisa mengganggu perkembangan anak.
Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan fakta bahwa pola asuh otoriter bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak.
Akan tetapi, ada pula hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa pola asuh otoriter bisa memiliki dampak positif terhadap perkembangan moral anak.
Dalam kasus ini, orangtua bisa menetapkan aturan yang bersifat wajib, seperti melaksanakan salat.
Diharapkan orangtua bisa menerapkan pola asuh yang baik sesuai dengan kebutuhan anak agar perkembangannya dapat berjalan dengan baik tanpa ada pengekangan.
Ciri-ciri pola asuh otoriter
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pola asuh otoriter memiliki ciri adanya tuntutan yang tinggi terhadap anak untuk selalu patuh dan tunduk terhadap aturan.
Nah, berikut ini adalah ciri-ciri orangtua yang menerapkan pola pendidikan otoriter.
1. Tidak memiliki kesabaran ketika anak berbuat kesalahan
Orang tua yang otoriter biasanya tidak ingin membuang-buang energinya untuk menjelaskan alasan ia melarang anaknya untuk melakukan sesuatu hal.
Mereka juga tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan alasan mendasar kenapa aturan harus diikuti.
Ketika seorang anak melanggar aturan, orangtua cenderung mengingatkannya saja tanpa ada ruang untuk berdiskusi.
2. Kontrol tingkah laku anak sangat ketat
Alih-alih mengajar anak-anak untuk mengendalikan diri, orangtua dengan pola pendidikan otoriter justru akan mengendalikan anaknya.
Hal itu menyebabkan anak memiliki lebih sedikit pilihan dan kesempatan untuk mempraktikkan kedisiplinan diri dan rasa tanggung jawab.
Fokus dalam gaya pengasuhan ini adalah mematuhi aturan, tanpa memberikan ruang untuk mengembangkan bakat anak.
3. Tidak memahami perasaan anak
Orangtua otoriter biasanya bersikap sangat kritis. Mereka mungkin mengatakan hal-hal yang dapat mempermalukan anak di ruang publik.
Sering kali, orangtua dengan pola asuh ini tidak peduli terhadap perasaan dan harga diri anak.
Bahkan, mereka mungkin berpikir bahwa dengan mempermalukan anak di depan umum menjadi salah satu cara terbaik untuk memotivasinya agar berperilaku lebih baik pada kemudian hari.
4. Lebih suka memberikan hukuman
Kebanyakan orangtua yang menerapkan pengasuhan otoriter tidak percaya dan tidak akan memberikan hadiah atau sekadar memuji anak ketika mereka berperilaku baik.
Mereka beranggapan bahwa setiap anak harus berperilaku baik dan tidak perlu dipuji atau dihargai hanya karena telah menaati aturan. Namun, begitu aturan tersebut dilanggar, anak akan memperoleh hukuman.
5. Menjadi sering mengomel
Ciri orangtua dengan authoritarian parenting lainnya, yakni lebih cenderung sering mengomel atau membentak anak daripada ikut terlibat atau menghabiskan waktu bersama-sama.
Mereka hanya ingin anak-anaknya berperilaku tertib dan mendengarkan semua perintahnya sepanjang waktu.
6. Memiliki banyak aturan
Orangtua otoriter mengembangkan banyak aturan. Selain aturan rumah tangga, sering kali ada aturan tidak tertulis tentang bagaimana melakukan sesuatu dengan benar.
Mereka sering kali mengatur anak-anak untuk memastikan bahwa semua pekerjaan rumah telah dilakukan dengan cara yang orangtua mereka inginkan.
7. Tidak mempercayai anak
Orangtua otoriter biasanya memiliki harapan yang tinggi dari anak-anaknya.
Meskipun memiliki harapan yang tinggi, orangtua dengan pola asuh ini tidak memberikan kebebasan yang cukup bagi anak-anaknya untuk menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya.
Orangtua akan lebih sering menuntut dan melarang anaknya untuk berbuat kesalahan apa pun itu.
Dampak pola asuh otoriter terhadap perkembangan anak
Pada dasarnya, authoritarian parenting menerapkan gaya pengasuhan yang tegas. Terkadang, memang sikap tegas dari orangtua dibutuhkan untuk memberi batasan pada anak.
Namun, jangan sampai ketegasan orangtua tersebut memberi pengaruh yang tidak baik bagi anak.
Melansir StatPearls, berikut adalah sejumlah dampak negatif dari penerapan authoritarian parenting pada perkembangan anak.
- Menjadi agresif.
- Tidak kompeten secara sosial, anak menjadi pemalu.
- Tidak dapat membuat keputusan sendiri.
- Memiliki harga diri (self-esteem) yang buruk.
- Berpotensi memberontak terhadap figur otoritas ketika mereka lebih tua.
- Jarang belajar berpikir sendiri.
- Mengalami kesulitan menahan emosi dan mengelola amarah.
Pada gaya pengasuhan otoriter, aturan harus selalu ditegakkan untuk memberi batasan pada perilaku anak.
Ketika seorang anak melanggar aturan, itu seharusnya menjadi kesempatan bagi orangtua untuk mengajarkan pelajaran hidup, bukan malah menghukumnya dengan keras.
Memberi hukuman yang keras akan membuat anak lebih banyak berperilaku buruk, memberontak, dan menghasilkan perdebatan yang berkepanjangan.
Kesimpulan
Pola asuh otoriter ditandai dengan harapan yang sangat tinggi terhadap anak dengan kurangnya umpan balik dan respons dari orangtua.
[embed-health-tool-vaccination-tool]