Kekerasan tidak hanya bisa dilakukan secara fisik, tetapi juga emosional. Hanya saja, kekerasan emosional sering kali terabaikan karena tidak adanya bukti atau tanda yang “jelas”.
Meski begitu, perlu Anda ketahui bahwa efek kekerasan emosional sama berbahayanya dengan fisik. Oleh karena itu, penting untuk memahami apa itu kekerasan emosional dan cara menghadapinya.
Apa itu kekerasan emosional?
Kekerasan emosional atau emotional abuse adalah perilaku kekerasan non-fisik yang dilakukan dengan tujuan meremehkan, mengancam, menyudutkan, merendahkan, atau mengekang seseorang.
Emotional abuse juga dikenal dengan psychological abuse karena bisa memengaruhi kesehatan mental seseorang yang menerimanya.
Perilaku ini sering kali terjadi bersamaan dengan tindakan abusif lainnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan mental, seksual, dan fisik.
Pelakunya mungkin juga bisa melakukan kekerasan verbal dengan tujuan yang sama. Dengan atau tanpa kekerasan lain, emotional abuse tetap membahayakan.
Bukan hanya hubungan romantis, emotional abuse juga bisa terjadi pada hubungan pertemanan, rekan kerja, dan keluarga.
Tanda dan contoh kekerasan emosional
Emotional abuse sering kali sulit dikenali karena dapat dilakukan secara tersirat melalui perilaku manipulatif.
Selain itu, korban emotional abuse sering kali juga tidak sadar menyadari kondisinya sampai pada akhirnya mengalami “masa kritis” dengan gangguan mental.
Berikut adalah beberapa contoh kekerasan emosional di dalam hubungan.
1. Suka menghakimi
Dikritik oleh seseorang karena melakukan kesalahan tentu merupakan hal yang wajar, tetapi tidak demikian jika ini berubah menjadi perilaku menghakimi.
Jika seseorang harus memutarbalikkan fakta untuk membuat Anda terlihat bersalah, ini bisa menandakan bahwa Anda sedang mengalami kekerasan emosional.
Perlakuan itu bukan dilakukan untuk membuat Anda menyadari kesalahan, melainkan untuk mempermalukan Anda di mata orang lain.
2. Bercanda tidak tahu tempat
Beberapa orang mungkin menilai bahwa bercanda merupakan salah satu cara mencairkan suasana. Akan tetapi, candaan yang kelewat batas tentu bisa menyakiti orang lain.
Jika pasangan Anda sering menggunakan Anda sebagai bahan bercandaan dan keberatan saat diingatkan, pertimbangkan kembali untuk melanjutkan hubungan tersebut.
Salah satu kalimat yang sering muncul dari pelaku emotional abuse adalah, “Ah, aku kan cuma bercanda saja. Kamu jangan terlalu sensitif, deh.”
3. Posesif atau suka mengontrol
Membuat batasan dalam hubungan adalah hal yang wajar. Namun, lain halnya jika batasan tersebut sampai mengekang dan bahkan membuat Anda tidak memiliki ruang pribadi”.
Salah satu tindakan posesif yang banyak ditemui adalah meminta akses ke akun media sosial pasangan secara paksa. Perlu diketahui bahwa perilaku posesif berbeda dengan rasa cemburu.
Alih-alih membuat hubungan jadi harmonis, perilaku posesif justru bisa memicu konflik dan berujung menjadi kekerasan emosional.
Tahukah Anda?
Meminta akses media sosial orang lain, termasuk pasangan, secara paksa merupakan salah satu contoh perbuatan pelanggaran privasi.
4. Manipulatif
Pasangan yang manipulatif akan berupaya mengendalikan atau memengaruhi pasangannya demi keuntungan pribadi.
Ia mungkin terus-terusan membuat Anda merasa bersalah dan minta maaf, meremehkan Anda, dan balik menyalahkan Anda saat ada masalah.
Tindakan ini sering kali membuat korbannya merasa kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak berdaya.
5. Suka meremehkan
Pelaku kekerasan emosional biasanya akan mengecilkan perasaan Anda. Tujuannya tak lain agar mereka memiliki kekuasaan terhadap korban.
Contohnya, saat Anda baru saja memenangkan sesuatu, mereka justru akan menganggap bahwa itu adalah pencapaian kecil yang tidak perlu dirayakan.
Pasangan Anda mungkin berucap, “Ah, itu kan, sesuatu yang mudah didapatkan. Pantas saja kamu menang.” Padahal, ucapan yang tampak sepele tersebut tentu membuat perasaan Anda terluka.
6. Suka memberi ancaman
Tanda kekerasan dalam pacaran secara emosional yang paling mudah disadari adalah pemberian ancaman.
Bentuk ancaman ini bisa bermacam-macam, mulai dari meninggalkan Anda, membeberkan rahasia, dan lain sebagainya.
Ancaman tersebut secara tidak langsung akan membuat Anda tunduk dan bergantung dengannya. Kondisi ini tentu membuat Anda semakin rendah diri dan mengalami kekerasan emosional.
7. Isolasi
Seseorang yang sering melakukan emotional abuse biasanya akan menjauhkan korban dari teman atau keluarganya. Dengan begitu, korban akan semakin bergantung dengannya saja.
Saat dijauhkan dari orang lain, korban juga akan kesulitan meminta bantuan ketika mengalami bentuk kekerasan lainnya.
Dampak kekerasan emosional
Melansir dari laman National Society for the Prevention Cruelty to Children, berikut adalah beberapa dampak negatif yang dialami korban emotional abuse.
- Gangguan perilaku: terlalu bergantung pada seseorang, muncul perilaku berisiko seperti menindas, mencuri, dan lain sebagainya.
- Masalah kesehatan mental: depresi, gangguan kecemasan, hingga keinginan bunuh diri.
- Gangguan perkembangan emosi: kurangnya rasa percaya diri, perasaan tidak layak dicintai, dan kesulitan mengekspresikan emosi.
Cara mengatasi kekerasan emosional
Langkah pertama untuk mengatasi emotional abuse adalah menyadari bahwa Anda sedang mengalaminya. Setelah itu, Anda bisa menjauhi pelaku kekerasan emosional dengan cara berikut.
- Batasi hubungan dengan pelaku dan tumbuhkan keberanian untuk membela diri.
- Cari lingkungan yang lebih positif.
- Berhenti menyalahkan diri sendiri dan menganggap bahwa Anda layak diperlakukan dengan tidak baik.
- Percaya bahwa ada orang lain yang bisa lebih menghargai Anda.
- Fokus pada diri sendiri dengan mendahulukan kebahagiaan Anda.
Melepaskan diri dari seseorang yang memberi Anda kekerasan emosional bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, mereka akan membuat Anda hanya bergantung dengannya.
Oleh karena itu, penting untuk mencari dukungan emosional dari orang-orang terdekat saat Anda menghadapi perilaku abusif tersebut.
Jika Anda merasa tidak mampu menghadapi kekerasan emosional yang dilakukan pelaku, Anda pun bisa meminta bantuan dari psikolog atau psikiater.