Seiring maraknya penggunaan media sosial, Anda mungkin akan makin sering melihat beragam post yang mengajak semua orang untuk selalu bersikap positif. Sikap optimis memang bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga, tapi sikap optimis tanpa empati bisa berubah menjadi toxic positivity.
Tidak hanya post di media sosial, fenomena toxic positivity pun kadang terlihat ketika Anda berkeluh-kesah kepada orang lain. Meski niat awalnya baik, toxic positivity malah dapat menimbulkan emosi negatif pada orang yang menerimanya. Lalu, sebetulnya apa perbedaan antara sikap optimis dan toxic positivity?
Apa itu sikap optimis?
Setiap orang memiliki cara yang berbeda saat menanggapi peristiwa dalam hidup. Ada yang menanggapi masalah dengan sikap positif, ada yang meresponsnya dengan sikap negatif, dan ada pula yang menanggapi masalah sebagaimana keadaan yang ada.
Mereka yang lebih sering menanggapi masalah dengan positif adalah orang-orang yang memiliki sikap optimis. Menurut sebagian besar psikolog, sikap optimis muncul karena seseorang yakin bahwa peristiwa yang dialaminya akan berakhir dengan baik.
Orang yang optimis biasanya juga berprasangka baik. Mereka percaya setiap peristiwa dalam hidupnya disebabkan oleh hal yang baik. Kalaupun tidak, mereka tetap yakin kegagalan dan pengalaman buruk yang menimpanya hanya berlangsung sementara.
Selain itu, mereka juga percaya bahwa pengalaman buruk tersebut tidak akan selalu terjadi dan bukan salah siapa pun. Cara berpikir ini membuat orang yang optimis lebih terbuka atas perubahan. Menurutnya, hal yang buruk bisa berubah menjadi lebih baik.
Sikap optimis dan toxic positivity sama-sama berprinsip dari pikiran yang positif. Akan tetapi, bukan berarti orang optimis tidak pernah berpikir negatif. Mereka pun merasakan amarah, rasa sedih, dan kekecewaan yang sama dengan orang lain.
Hanya saja, orang-orang yang optimis tidak membuang pikiran negatifnya begitu saja. Mereka sadar bahwa wajar untuk berpikiran negatif ketika tertimpa masalah. Bedanya, mereka memilih untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang lebih cerah.
Sebagai contoh, seorang teman Anda baru saja putus dari pasangannya. Ia merasa sedih dan kecewa, tetapi ia tidak mengabaikan perasaan tersebut. Teman Anda paham bahwa normal baginya untuk merasa sedih pada saat-saat seperti ini.
Walaupun sedih dan kecewa, teman Anda memilih untuk bersikap optimis. Ia yakin ada hikmah di balik semuanya dan pengalaman ini dapat membuatnya menjadi orang yang lebih baik lagi. Bahkan, ia mungkin bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik.
Bersikap optimis adalah pilihan. Sekalipun selama ini Anda selalu memandang masalah dari sisi negatifnya saja, Anda bisa berlatih untuk mengubah sudut pandang ini. Prosesnya tentu tidak singkat, tapi bukan berarti mustahil.
Apa bedanya sikap optimis dan toxic positivity?
Seperti namanya, toxic positivity merupakan sikap positif yang bersifat seperti racun. Toxic positivity muncul ketika seseorang percaya bahwa satu-satunya cara yang benar untuk menjalani hidup hanyalah dengan bersikap positif saja.
Ini berarti Anda hanya boleh fokus pada hal-hal positif dan membuang semua hal yang memicu emosi negatif. Padahal, sikap seperti ini justru menumpuk emosi negatif dalam diri Anda dan membuat Anda merasa lebih buruk.
Berbeda dengan sikap optimis, toxic positivity adalah sikap yang keliru dan memaksa Anda mengabaikan rasa sedih, kecewa, marah, dan emosi sejenisnya. Toxic positivity justru menyalahkan seseorang atas perasaan yang mereka alami.
Berikut beberapa contoh kata-kata toxic positivity yang mungkin pernah Anda dengar:
- “Jangan selalu jadi orang yang negatif.”
- “Jangan terlalu dipikirkan. Lihat dari sisi positifnya, kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih baik dari yang sekarang..”
- “Jangan menyerah, pokoknya kamu pasti bisa.”
- “Coba lebih banyak bersyukur. Masih banyak orang lain yang masalahnya lebih berat dari kamu.”
- “Nanti masalahmu juga akan selesai, kok.”
Orang-orang yang mengatakan ini sebenarnya memiliki niat baik. Hanya saja, mereka menyampaikannya dengan cara dan waktu yang kurang tepat. Mereka tak sadar bahwa ucapannya yang bertujuan positif malah membuat orang lain merasa lebih buruk.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Tidak ada yang salah dari menyebarkan pesan positif, baik lewat media sosial ataupun secara langsung saat seseorang curhat kepada Anda. Meski demikian, coba perhatikan waktu dan cara yang tepat untuk menyampaikannya.
Saat Anda bercerita kepada orang lain, tentu lega rasanya bila Anda dapat meluapkan segala jenis emosi. Jadi, biarkan orang lain melakukan hal yang sama ketika bercerita kepada Anda. Biarkan mereka meluapkan isi hatinya dengan leluasa.
Tidak ada emosi yang ‘baik’ ataupun ‘buruk’. Malah, emosi bisa membantu Anda dalam mengenali suatu masalah. Jika Anda sedih karena putus cinta misalnya, ini merupakan tanda bahwa hubungan Anda berharga dan Anda mampu bangkit untuk membangun hubungan baru yang sama berharganya.
Lantas, bagaimana bila teman dekat Anda yang menyebarkan toxic positivity? Mungkin tidak mudah untuk mengingatkannya tentang ini. Namun, jika hal ini mengganggu Anda, Anda dapat menjauhkan diri sejenak.
Anda berhak berkata, “Terima kasih sudah memberi saran, tapi saat ini saya masih sulit berpikir positif. Saya perlu waktu sendiri dulu sampai rasa sedih saya agak berkurang.”
Sikap optimis dan toxic positivity adalah dua hal yang berbeda. Sikap optimis bermanfaat agar Anda memandang pengalaman hidup dari sisi positif tanpa mengabaikan emosi negatif, sedangkan toxic positivity membuat Anda harus membuang semua perasaan buruk.
Bagaimanapun, emosi manusia selalu berubah-ubah dan ini sangatlah wajar. Dengan bersikap optimis tanpa menjadi toksik, Anda akan bisa memahami orang lain dengan lebih baik.