Masa kehamilan saya dimulai bersamaan dengan pekan ketika kasus COVID-19 terdeteksi di Indonesia pertama kali. Kondisi itu membuat saya tak melakukan banyak kegiatan di luar rumah selama hamil. Mengidam untuk makan di luar hingga keinginan untuk berkeliling belanja kebutuhan perlengkapan bayi saya tahan sebisa mungkin. Meski telah berusaha keras menghindari virus tersebut, pada akhirnya saya dinyatakan positif COVID-19 hanya beberapa hari sebelum melahirkan. Inilah kisah dan perjuangan saya melahirkan ketika terinfeksi COVID-19.
Positif COVID-19 saat usia kehamilan 34 minggu
Kamis, 10 Desember 2020, saya dinyatakan positif COVID-19. Mendengar kabar tersebut membuat saya syok dan was-was. Saat itu saya sedang hamil 9 bulan, hari perkiraan lahir (HPL) tinggal hitungan jari saja. Saya serasa ditubruk berbagai pikiran buruk.
Sebelumnya adik saya yang bertugas sebagai bidan memberi kabar bahwa dirinya positif COVID-19. Kabar tersebut membuat seisi rumah ikut menjalani tes, termasuk saya yang juga tinggal serumah dengannya. Ketika dinyatakan bahwa saya juga positif terinfeksi virus SARS-CoV-2, semua rencana kelahiran yang telah saya susun runtuh seketika.
Saya tak mengkhawatirkan penyakitnya. Sebab, dari yang saya baca, infeksi COVID-19 tak menular secara vertikal dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya. Saya percaya bahwa selama saya dalam kondisi sehat dan kuat menghadapi infeksi ini, maka bayi saya juga akan baik-baik saja.
Kondisi ini membuat saya sadar bahwa keinginan saya untuk bisa melahirkan dengan metode gentle birth kemungkinan batal. Saya sangat mungkin diminta melahirkan dengan cara operasi caesar.
Padahal untuk mempersiapkan kelahiran di kehamilan kedua ini saya telah mengikuti kelas yoga untuk ibu hamil, latihan pernapasan, latihan mengejan, hingga kelas prenatal. Walaupun sebagian besar kelas tersebut dilakukan secara online, saya dengan semangat menjalaninya. Saya berharap bisa melahirkan dengan lebih lancar tanpa ada drama menangis-nangis dan trauma psikologis.
Hal itu saya persiapkan juga karena rasa takut terhadap tindakan-tindakan operasi, apalagi caesar termasuk operasi besar.
Isolasi dan persiapan kelahiran di masa COVID-19
Selama 7 hari saya menjalani isolasi mandiri dengan pantauan ketat dari puskesmas dan bidan setempat. Secara rutin mereka menanyakan kondisi kesehatan dan kehamilan saya. Tiga hari sebelum hari perkiraan lahir (HPL), saya dijemput ambulans menuju Rumah Sakit Duren Sawit.
Tak ada siapapun yang bisa ikut menemani saya, termasuk suami. Saya sendirian bersama beberapa petugas yang mengenakan alat pelindung diri (APD) sehingga tak ada satu pun wajah yang bisa saya lihat.
Sesampainya di rumah sakit, saya melakukan serangkaian pemeriksaan mulai dari rekam jantung, rontgen paru, dan USG. Setelah itu, saya melakukan konsultasi dengan dokter obgyn. Ibu hamil yang positif COVID-19 sebenarnya bisa melahirkan dengan normal tanpa menularkan ke bayinya, hanya saja waktu itu saya belum juga merasa mulas.
Dokter memberi waktu sampai saya merasa ada tanda-tanda mulas. Sehari-semalam saya melakukan gerakan-gerakan induksi alami untuk memancing kontraksi. Tapi apa daya sampai waktu konsultasi kedua, kontraksi juga belum tiba.
Saat itu saya bisa saja memaksa untuk tetap menunggu rasa mulas, karena saya betul-betul ingin melahirkan secara normal. Tapi suami terus menguatkan dan mengingatkan untuk ikhlas jika memang jalannya harus operasi. Dokter juga bilang air ketuban saya sudah mulai sedikit dan dikhawatirkan tidak cukup untuk mendorong bayi keluar.
Dua hal itu membuat saya berserah mengikuti saran dokter untuk melakukan operasi caesar.
Operasi caesar, pilihan melahirkan di masa pandemi
Ruang operasi terasa begitu asing. Saya sendirian masuk, lagi-lagi tanpa ditemani suami. Sementara semua dokter dan suster mengenakan APD. Saya merasa sendiri dan sangat asing.
Proses operasi berjalan lancar, bayi saya lahir dengan kondisi sehat. Namun saya tidak bisa melihatnya sama sekali. Buah hati saya langsung dibawa ke ruangan berbeda segera setelah ia dilahirkan. Saya paham hal itu demi mencegah bayi saya terinfeksi COVID-19.
Tapi jauh di lubuk hati saya begitu ingin segera melihat dan menyentuh bayi saya, buah hati yang telah saya kandung 9 bulan. Bagaimana pun momen melahirkan seharusnya merupakan momen yang tak terlupakan. Momen di mana ibu akhirnya dapat berjumpa dengan si buah hati. Momen tersebut tak bisa saya peroleh karena kondisi memaksa si bayi harus segera dipisahkan dari ibunya yang terinfeksi COVID-19.
Saat kehamilan anak pertama, saya belum terlalu familiar dengan banyaknya informasi di internet. Tapi di kehamilan kedua ini saya banyak membaca artikel kesehatan, mengikuti akun dokter-dokter kandungan, dan ikut berbagai webinar. Saya tahu pentingnya skin to skin contact dan IMD (inisiasi menyusui dini).
IMD seharusnya dilakukan dalam waktu satu jam setelah bayi dilahirkan dengan proses skin to skin contact, meletakkan bayi di dada ibu. Hal tersebut membuat si bayi mencari dan menemukan puting susu dan secara naluriah bayi akan mulai belajar menyusu.
Saya percaya skin to skin contact yang dilakukan satu jam setelah melahirkan ini penting untuk membangun bonding (keterikatan) dan juga bisa meningkatkan daya tahan tubuh bayi karena menerima ASI pertama atau kolostrum. Saya selalu mendambakan skin to skin contact dan IMD yang lancar, tapi ternyata proses ini tidak bisa saya lakukan pada anak kedua.
Sendiri di ruang isolasi setelah melahirkan dan masih positif COVID-19
Setelah melahirkan, saya masih tetap menjalani isolasi. Sedangkan anak saya masuk ruang bayi. Hati saya begitu pedih karena saya harus berpisah dari bayi saya sekian lama hingga saya dinyatakan negatif COVID-19.
Berada di ruang isolasi pasca melahirkan menjadi pengalaman terberat dari semua proses kehamilan hingga melahirkan ketika positif COVID-19.
Ibu-ibu yang pernah melahirkan pasti tahu betapa kita butuh pendamping setelah melahirkan. Tapi saya harus menjalani hari-hari sendirian di ruang isolasi. Semakin hilang efek bius, jahitan bekas operasi terasa semakin sakit.
Saya harus ke kamar mandi sendiri, ganti baju sendiri. Rasanya berat sekali. Belum lagi rasa rindu ingin segera bertemu bayi.
Setiap malam saya tidak pernah tidur nyenyak. Tidak jarang saya memompa ASI sambil menangis karena besarnya keinginan untuk melihat dan menggendong bayi saya. Kadang saya memeluk dan mencium baju-baju bekas dipakai bayi saya. Saya menghirup aromanya, berharap ia ada di pangkuan saya, membayangkan bayi saya ada bersama saya. Beberapa bajunya tak saya masukkan tas cucian, tapi saya jadikan teman tidur.
Sesekali saya minta tolong perawat untuk memotret bayi saya ketika dia mengantar ASI. Tapi itu juga tidak bisa terlalu sering. Sungguh saya merasa tersiksa dengan rasa rindu kepada bayi saya.
Hari ketiga, bayi saya menjalani dua kali tes swab COVID-19 dan hasilnya negatif. Tapi saya masih belum diizinkan pulang. Selama 7 hari penuh saya menjalani perawatan setelah melahirkan sendirian di ruang isolasi karena positif COVID-19. Hari-hari yang terasa begitu panjang untuk dilalui.
Segera setelah saya diizinkan pulang, saya langsung berkemas siap pulang untuk memeluk dan menyusui bayi saya secara langsung.
Medina bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
Memiliki kisah dan pengalaman kehamilan yang menarik dan inspiratif? Mari berbagi cerita bersama para orang tua lain di sini.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]