backup og meta

Usia 4 Bulan Kehamilan Janin Tidak Berkembang, Saya Harus Aborsi

Usia 4 Bulan Kehamilan Janin Tidak Berkembang, Saya Harus Aborsi

“Janin di dalam perut ibu tidak berkembang, jadi harus dibersihkan.” Begitu kira-kira ucapan dokter kepada saya dan suami waktu itu. Pengalaman janin tak berkembang itu terjadi di kehamilan pertama saya. 

Berita tersebut terdengar seperti gelegar petir yang menyambar tepat di jantung saya. Badan saya bergetar menggigil, tapi tak satu pun tetes air mata mengalir. Saya terkejut, bingung, tapi tak bisa menangis. Saya harus aborsi saat kehamilan memasuki usia 4 bulan.

Janin dalam kandungan tidak berkembang dan tak terdeteksi

pengalaman janin tidak berkembang

Sejak minggu awal kehamilan, saya tidak pernah sakit bahkan tidak merasakan mual-mual (morning sickness) seperti yang biasa dialami perempuan hamil kebanyakan.

Tak ada kecurigaan apapun saat itu. Apalagi setiap bulannya saya selalu memeriksa kehamilan ke bidan yang membuka praktik mandiri di dekat kompleks rumah.

Sampai bulan ketiga, bidan tersebut selalu bilang bahwa kondisi saya dan bayi sehat-sehat saja. Saya pun merasa kandungan saya baik-baik saja, tidak ada firasat buruk apapun.

Jika kini saya mengingat kembali pengalaman kehamilan pertama tersebut, seharusnya saya bisa menyadari adanya kejanggalan dalam kehamilan saya.

Selain tak mengalami mual, perut saya juga tak membesar atau berkembang sesuai usia kehamilan. 

Firasat buruk itu baru muncul ketika usia kehamilan memasuki bulan keempat. Saya mengeluarkan sedikit flek hitam.

Kondisi tersebut membuat saya cukup panik. Saya pun langsung mengabari suami dan memintanya untuk mengantar saya periksa ke bidan. 

“Ini flek biasa, memang sering terjadi,” ucap bidan itu mencoba menenangkan saya yang cemas. 

Saya mencoba untuk tak berpikiran buruk sama sekali. Ini kehamilan pertama dan saya merasa sehat-sehat saja. Kecemasan saya mungkin tak beralasan karena kurangnya pengetahuan. 

Selang lima hari kemudian, saya kembali mengalami flek hitam dengan intensitas yang jauh lebih dahsyat. Kondisi ini otomatis membuat saya ketar-ketir ketakutan.

Tanpa membuang banyak waktu saya segera pergi kembali mengunjungi bidan yang jadi langganan saya. 

Bidan tersebut segera mengarahkan saya untuk langsung periksa ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit saya diarahkan ke dokter kandungan dan melakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi). 

Tak lama, kabar duka itu menyambar. Semua rasanya terjadi begitu cepat, bahkan terlalu cepat. Saya harus menggugurkan kandungan tersebut karena janin saya tidak berkembang. 

Setelah suami saya mengurus dokumen persetujuan, saya pun masuk ruang operasi untuk melakukan aborsi dengan cara kuretase (kuret).

Prosedur ini katanya bertujuan untuk melepas lapisan rahim atau lebih sederhananya membersihkan dari sisa-sisa jaringan yang tertinggal di dalam rahim.

Caranya yaitu menggunakan semacam sendok yang dimasukkan ke dalam rahim, lalu dilakukan pembersihan. 

Proses tersebut tak terlalu lama, hanya sekitar satu jam. Tapi pikiran saya berkecemuk, saya belum bisa mencerna dan menerima apa yang sedang terjadi pada kehamilan saya.

Mengapa, apakah ada yang salah, dan sederet pertanyaan lain masih menggantung di benak saya. Saya bahkan tak bisa menangis. 

Saat itu dokter menjelaskan pada suami saya bahwa kondisi janin saya tidak berkembang. Kondisi tersebut, menurut dokter, cukup sering terjadi pada kehamilan pertama. 

Dalam bahasa medis, janin yang tidak berkembang itu disebut kehamilan kosong atau blighted ovum. Hal itu terjadi ketika sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim namun tak berkembang menjadi embrio. 

Namun, kami tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai penyebabnya, mengapa kondisi itu terjadi pada saya. 

Hamil kosong kali kedua?

Gagal pada kehamilan pertama membuat saya merasa takut untuk kembali merencanakan kehamilan. Berbulan-bulan saya dan suami tak sekali pun membicarakan soal rencana kehamilan berikutnya. 

Tak hanya enggan untuk membicarakan rencana hamil, saya pun tak pernah lagi mengecek jadwal menstruasi atau masa subur seperti sebelumnya.

Barangkali itu merupakan cara saya menghindari rasa takut dan kenangan buruk akan kehamilan yang masih terus menghantui. 

Hingga suatu hari saya menyadari bahwa tiga bulan terakhir ini saya tak menstruasi. Esoknya saya membeli test pack dan memberanikan diri untuk mengeceknya. Dua garis, benarkah saya positif hamil? Sulit untuk percaya. 

Perasaan kami, saya dan suami, tak karuan. Rasa takut dan percik bahagia bercampur. Namun akhirnya saya bertekad untuk menjalani kehamilan dengan sehat. Kami pun pergi ke dokter untuk memastikan kondisi kehamilan ini. 

Harapan yang sempat timbul ketika menunggu hasil USG berakhir kandas. Kabar buruk kembali menimpa kami. 

“Ini kemungkinan kehamilan kosong,” kata dokter menjelaskan apa yang dia lihat dalam foto USG.

Dada saya sesak mendengarnya, seolah-olah palu besar telah menghantam saya. Beneran? Lagi? Kenapa bisa? Pertanyaan itu rasanya ingin saya teriakkan, tapi tenggorokan saya rasanya tercekat. 

Saya tak bisa berkata apapun lagi. Suami saya diam mendengarkan dan memeluk saya yang kembali terpukul dan kebingungan. Air mata yang tertahan selama di ruang dokter itu tumpah sejadi-jadinya di mobil sepanjang perjalanan pulang. 

Selama seminggu lamanya saya gelisah, harapan dan putus asa silih berganti. Namun, akhirnya kami memutuskan untuk mencari second opinion. Kami memberanikan diri untuk pergi ke dokter yang berbeda dan mencari opini lain. 

Dokter tersebut justru menyatakan bahwa kondisi janin saya sehat dan berkembang dengan baik. Saya bersyukur atas keputusan yang kami ambil untuk mencari pendapat dokter lain. 

Menjalani masa kehamilan dengan rasa was-was

pengalaman janin tidak berkembang

Kabar bahwa kehamilan saya ternyata berkembang dengan baik ternyata tidak serta-merta menghapus rasa cemas. Setiap kali buang air, saya kerap merasa ketakutan.

Bagaimana jika sewaktu-waktu saya kembali keguguran? Pikiran tersebut datang dan pergi setiap harinya. Pengalaman janin tidak berkembang di kehamilan pertama itu seperti mimpi buruk yang terus menghantui. 

Sebelum mengguyur toilet saya selalu memberanikan diri untuk melihat terlebih dulu apakah ada darah atau flek hitam yang keluar. Rasa cemas berlebih itu baru luntur ketika usia kehamilan sudah 5 bulan. 

Saat itu detak jantung bayi mulai terasa dan saya mulai merasakan ada gerakan kehidupan di perut. Rasa bahagia meluap-luap. Kami bertekad menjaga kehamilan ini dengan sehat dan sebaik mungkin. 

Alhamdulillah, putra pertama kami lahir sehat dengan tinggi dan berat badan cukup.

Mirna Mulyana (27) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.

Memiliki kisah atau  pengalaman kehamilan yang menarik dan inspiratif? Mari berbagi cerita bersama para orang tua lain di sini

[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Wawancara dengan Mirna Mulyana 17/7/2020.

Versi Terbaru

16/03/2021

Ditulis oleh Ulfa Rahayu

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Diperbarui oleh: Rina Nurjanah


Artikel Terkait

Pengalamanku 3 Kali Menjadi Ibu Hamil dengan Thalasemia

Tanda-Tanda Keguguran yang perlu Diwaspadai Bumil


Ditinjau secara medis oleh

dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Magister Kesehatan · None


Ditulis oleh Ulfa Rahayu · Tanggal diperbarui 16/03/2021

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan