yle=”font-weight: 400;”>Tidak hanya diagnosis covid-19, baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.
Sejak kemunculannya pada akhir 2019, COVID-19 telah menginfeksi lebih dari satu juta orang di sejumlah negara. Tenaga medis pun perlu berupaya ekstra agar tidak salah menentukan diagnosis, sebab COVID-19 memiliki gejala yang mirip dengan gangguan pernapasan pada umumnya.
World Health Organization (WHO) mengimbau setiap kalangan masyarakat untuk tidak mengabaikan gejala gangguan pernapasan dalam bentuk apa pun. Gejala merupakan petunjuk utama dalam diagnosis COVID-19 yang kini telah ditetapkan sebagai pandemi.
Mengenal gejala sebelum diagnosis COVID-19
Virus penyebab COVID-19, SARS-CoV-2, termasuk dalam kelompok besar coronavirus yang menyerang saluran pernapasan manusia dan binatang. Pada manusia, virus ini bisa menyebabkan gangguan pernapasan ringan hingga berat.
Gangguan pernapasan ringan akibat coronavirus biasanya berupa pilek biasa atau flu. Diagnosis terhadap kedua penyakit tersebut biasanya lebih mudah, tidak seperti COVID-19 yang baru-baru ini ditemukan.
Sejauh ini, ilmuwan telah menemukan enam tipe coronavirus yang menginfeksi manusia. Dua di antaranya adalah virus penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS).
SARS-CoV-2 adalah tipe virus terbaru sekaligus ketujuh yang ditemukan. Gejala infeksi SARS-CoV-2 mirip dengan penyakit SARS dan MERS, tapi dampak virus ini sangat tergantung pada kondisi tubuh pasien.
Sebelum melakukan diagnosis terhadap COVID-19, pasien dan tenaga kesehatan perlu mengenali gejalanya terlebih dahulu. Secara umum, infeksi coronavirus menimbulkan gejala berupa:
- demam tinggi
- batuk
- hidung meler
- sakit tenggorokan
- sakit kepala
- tidak enak badan
[covid_19]
Selain gejala tersebut, COVID-19 juga menimbulkan gejala khas berupa sesak napas. Ketika pasien diperiksa dengan rontgen dada, terdapat bercak pada paru-paru yang mirip dengan pneumonia.
Pasien yang telah mendapat diagnosis COVID-19 juga menunjukkan tingkat keparahan yang beragam. Beberapa pasien tampak mengalami sakit ringan seperti halnya penderita pilek, tapi ada pula yang menderita gejala parah hingga kritis.
Gejala yang umum tersebut membuat tenaga medis kesulitan dalam mengenali orang yang terinfeksi. Sebagai solusinya, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerbitkan kriteria pasien yang perlu diinvestigasi serta prosedur diagnosisnya.
Haruskah Anda mengikuti tes diagnosis?
Tes diagnosis awalnya ditujukan bagi orang yang mengalami gejala gangguan pernapasan atau pernah bepergian ke wilayah terdampak wabah. Mengingat tingginya risiko penularan di lokasi tes dan terbatasnya alat, tes diagnosis kini diprioritaskan bagi kelompok berikut:
1. Kelompok A
Kelompok ini terdiri dari Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang baru pulang dari zona merah, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) beserta keluarganya, dan tenaga kesehatan yang terpapar pasien selama perawatan.
2. Kelompok B
Kelompok ini berisikan orang-orang yang harus berinteraksi dengan orang banyak karena tuntutan pekerjaan. Mereka rawan tertular sehingga disarankan menjalani rapid test untuk diagnosis awal.
3. Kelompok C
Kelompok ini terdiri atas masyarakat yang tidak termasuk kelompok A ataupun B, tapi menunjukkan gejala mirip COVID-19.
Metode diagnosis COVID-19
Alur diagnosis COVID-19 terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yakni rapid test sebagai metode deteksi awal, sedangkan tahap selanjutnya adalah tes polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan sampel cairan tubuh pasien.
Berikut tahap-tahapnya:
1. Rapid test
Ini adalah metode skrining awal untuk mengetahui keberadaan antibodi dalam tubuh yang digunakan untuk melawan virus penyebab COVID-19. Petugas akan mengambil sampel darah dari jari pasien, lalu diteteskan ke alat.
Sampel darah pada alat rapid test lalu ditetesi kembali dengan cairan untuk mendeteksi antibodi. Setelah 10-15 menit, akan muncul hasil berupa garis pada alat tersebut. Jika hasilnya positif, artinya pasien pernah terpapar virus dan saat ini sedang terinfeksi.
Meski cepat, rapid test rentan memberikan hasil negatif. Ini disebabkan karena antibodi baru terbentuk setelah 6-7 hari sejak terpapar virus. Maka dari itu, pasien negatif perlu menjalani rapid test kedua pada 7-10 setelah tes pertama.
2. Real time polymerase chain reaction (RT-PCR)
RT-PCR merupakan tes diagnosis COVID-19 yang lebih akurat dari rapid test. Tes ini dilakukan dengan mempelajari susunan genetika virus dalam laboratorium untuk mengetahui keberadaan virus dalam tubuh.
Pertama-tama, petugas kesehatan akan mengambil sampel air liur serta cairan dari tenggorokan dan saluran pernapasan bawah. Sampel kemudian disimpan terlebih dulu dalam suhu dingin sebelum diperiksa.
Setelah sampel tiba di laboratorium, para peneliti akan mengeluarkan asam nukleat yang menyimpan genom virus. Mereka lalu memperkuat bagian genom yang hendak diteliti dengan teknik reverse transcription polymerase chain reaction.
Teknik tersebut membuat sampel virus menjadi lebih besar sehingga bisa dibandingkan dengan susunan genetik SARS-CoV-2. Ada 100 asam nukleat dan dua gen yang diteliti dari virus ini. Jika sampel virus pasien memiliki dua gen tersebut, hasil tes dinyatakan positif.
Jika hasil diagnosis menunjukkan infeksi COVID-19
Jangan panik apabila hasil tes Anda positif. Pasien positif mempunyai tiga kemungkinan, yaitu:
- Tetap sehat tanpa gejala apa pun
- Sakit ringan yang ditandai dengan demam ringan atau batuk serta masih mampu beraktivitas
- Sakit berat yang ditandai dengan demam tinggi, sesak napas, tidak bisa beraktivitas, serta menderita penyakit lain
Sebagian besar pasien COVID-19 mengalami sakit ringan atau tanpa gejala sama sekali. Pasien dengan kondisi ini disarankan untuk menjalani isolasi di rumah selama 14 hari. Jangan keluar rumah kecuali untuk pergi ke rumah sakit.
COVID-19 Menyebar Lewat Droplet Bukan Udara, Ini Penjelasannya