Setelah menikah selama sebulan, saya tidak kunjung bisa berhubungan seksual dengan suami. Setiap berhubungan intim, rasanya seperti siksaan karena rasa sakit yang tidak tertahankan pada area vagina. Setelah konsultasi dengan psikiater, psikolog, dan dokter kandungan, kemudian saya tahu kalau kondisi ini adalah penyakit, yaitu vaginismus. Vaginismus merupakan otot-otot vagina yang mengencang saat penetrasi atau ketika penis berusaha masuk ke dalam vagina. Akibat otot yang mengencang ini, timbul rasa sakit saat berhubungan seksual. Perjalanan pengalaman pengobatan vaginismus saya pun dimulai.
Dokter umum menganggap saya hanya takut berhubungan intim, padahal ini adalah penyakit
Perkenalkan, saya Kimi, perempuan berusia 27 tahun yang menikah pada Juli 2020. Seperti pengantin baru lainnya, saya kira setelah menikah saya bisa langsung berhubungan, hamil, dan punya anak.
Ternyata, saya harus mengalami kondisi yang cukup menyakitkan. Aktivitas berhubungan seksual bukan hal yang menyenangkan seperti kebanyakan pasangan.
Saya justru merasa kegiatan itu adalah siksaan karena rasa nyeri yang tidak tertahankan.
Selang satu bulan setelah menikah, saya tak kunjung bisa berhubungan intim dengan nyaman.
Berbekal internet, saya mulai mencari tahu tentang kondisi ini sampai bertemu pada satu pembahasan, yaitu penyakit vaginismus.
“Jangan-jangan saya mengalami vaginismus?” gumam saya saat selesai membaca artikel tersebut.
Kemudian saya mengajak suami untuk kontrol ke dokter Puskesmas terdekat. Saat sesi konsultasi, saya bertanya pada dokter,
“Dok, saya baca-baca ada penyakit namanya vaginismus, benar nggak, sih, saya ini kena vaginismus?” saya bertanya untuk memastikan kondisi apa yang terjadi.
Dokter menjawab “nggak kok, kamu nggak kena vaginismus, ini kamu cuma ketakutan aja.”
Kalimat tersebut membuat saya merasa agak tenang menganggap tidak menderita vaginismus.
Sempat terkena covid, saya mengalami hipertensi karena depresi
Sekitar 10 bulan setelah menikah, tepatnya bulan April 2021, saya terkena Covid-19 yang cukup parah.
Ketika sudah sembuh, muncul kondisi baru, yaitu hipertensi dan sering sakit-sakitan.
Penasaran dengan kondisi ini, saya dan suami berobat kembali ke Puskesmas.
Sesampainya di sana, petugas Puskesmas menanyakan keluhan yang saya rasakan. Saat mengetahui saya mengalami hipertensi di usia 27 tahun, ia langsung merujuk ke psikiater.
“Kalau masih muda begini, hipertensi biasanya karena stres,” jelasnya.
Saat konsultasi ke psikiater, ia meminta untuk mengisi kuesioner dengan 30 soal, lalu melakukan wawancara. Hasilnya, saya menderita depresi.
Saat psikiater tahu faktor yang membuat saya depresi adalah rasa sakit saat berhubungan seksual, ia merujuk ke dokter kandungan.
Ini adalah pemeriksaan yang sangat parah, hanya untuk periksa vagina dengan memasukkan cocor bebek, proses ini butuh satu jam.
Saya berontak, teriak, dan menjerit kesakitan sampai 4 tenaga medis harus menenangkan. Psikiater, dokter kandungan, dan dua suster.
Hasilnya masih sama seperti pemeriksaan dokter umum saat awal perjalanan. Dokter kandungan hanya menganggap saya kurang rileks dan ketakutan.
Selanjutnya, dokter merujuk saya ke psikolog untuk menjalani hipnoterapi dan mendapat gambaran soal hubungan seksual.
Satu bulan setelah terapi, kondisi saya masih sama, tidak ada perkembangan yang berarti.
Mulai ada pencerahan setelah konsultasi ke psikiater dan dokter kandungan di rumah sakit
Tidak ada perkembangan yang berarti, membuat saya memutar otak lebih keras. Akhirnya, saya mencari psikiater rumah sakit yang bisa menangani pengobatan jangka panjang.
“Mbak tahu ada penyakit namanya vaginismus?” jelas psikiater kedua yang saya temui.
Titik terang seputar penyakit ini mulai terlihat. Berbeda dengan psikiater di Puskesmas, psikiater di rumah sakit paham tentang penyakit ini.
Sejak saat itu saya mulai mengerti penyakitnya dan mulai mencari pengobatan-pengobatan dan pengalaman orang lain untuk mengatasi vaginismus.
Kemudian psikiater merujuk saya ke dokter kandungan di rumah sakit.
Mengingat sudah menjalani terapi dengan psikolog dan mendapat berbagai obat, saya jadi lebih tenang saat pemeriksaan.
“Iya benar kamu kena vaginismus, tetapi vaginismus yang tidak terlalu parah, ini masih ringan. Tinggal latihan saja,” penjelasannya membuat saya sedikit tenang.
Dokter kandungan mengenalkan saya pada komunitas pejuang vaginismus. Bergabung dengan komunitas ini membuat saya merasa ada teman senasib.
Psikiater dan dokter di rumah sakit membuat saya nyaman saat konsultasi. Kalau saya tidak bertemu dengannya, mungkin sampai sekarang saya masih mencari ahli yang tepat.
Konsultasi ke dokter Boyke semakin membuat saya semangat untuk sembuh
Pada satu titik, saya sempat merasa remuk dan lelah dengan keadaan.
Merasa tidak sanggup untuk terus melakukan pengobatan dan terapi vaginismus yang menjadi pengalaman melelahkan.
Lelah fisik, mental, sampai finansial yang membuat saya ingin berhenti. Namun, saya sadar, keadaan harus berubah dan kondisi ini bisa saya perjuangkan.
Kemudian dokter kandungan menyarankan saya untuk konsultasi ke dokter Boyke, spesialis kandungan yang juga seorang seksolog.
Tentu biayanya tidak murah, saya harus merogoh kocek sampai Rp5,8 juta untuk satu kali kunjungan.
Meski begitu, saya merasa harga segitu wajar karena memang pemeriksaannya sangat menyeluruh.
Durasi konsultasi dengan dokter Boyke sekitar 45 menit dan ia mengatakan kalau kondisi vaginismus saya ini bagus.
Artinya, derajatnya sudah tidak tinggi lagi sehingga bisa lebih cepat untuk pengobatan.
Tidak hanya konsultasi, saat berobat ke dokter Boyke, saya menjalani terapi spa untuk melancarkan peredaran darah di sekitar selangkangan.
Saat konsultasi, dokter boyke menjelaskan tentang pemakaian dilator, alat bantu untuk mengendurkan otot vagina.
Saat mendengar penjelasan tentang dilator, saya langsung ingat dengan grup pejuang vaginismus yang sharing tentang cara menggunakannya.
Ternyata, tata cara yang ada teman-teman bagikan dalam grup sama dengan penjelasan dokter sehingga saya belajar sendiri bermodalkan teman-teman grup.
Pengalaman pengobatan vaginismus, mulai dari senam sampai pemakaian dilator
Awal bertemu dengan alat ini, saya merasa canggung dan aneh.
Bagaimana bisa saya memasukkan benda ini ke dalam vagina? Rasa takut menyelimuti perasaan dan ingatan tentang rasa sakit terdahulu.
Dilator memiliki nomor 1-6 sesuai dengan ukuran, nomor satu ukuran dilator paling kecil sampai nomor 6 yang paling besar.
Latihan memakai dilator harus urut dari nomor satu sampai enam.
Durasi pemakaian tiap nomor biasanya hanya 5 menit, tetapi untuk dilator 6 saya sering mendiamkan dalam vagina selama satu jam.
Saat mencoba dilator pertama, ternyata ketakutan saya tidak terbukti. Prosesnya terbilang lancar sampai dilator tiga.
Mulai merasakan ada hambatan saat dilator empat karena ukurannya lebih besar.
Namun, hambatan ini tidak terlalu mengganggu dan menjadi pengalaman menarik selama pengobatan vaginismus.
Latihan memasukkan dilator berbarengan dengan senam dan yoga yang saya lakukan setiap hari.
Hambatan saat memakai dilator 4 bisa saya atasi karena rutin melakukan yoga setiap hari, yakni pagi dan malam.
Senam ini sangat membantu dalam melenturkan otot paha dan selangkangan sehingga saat memakai dilator, vagina jadi tidak tegang.
Saat ini saya sudah bisa menggunakan dilator 6 yang paling besar. Pada saat inilah saya mulai berani mengajak suami untuk berhubungan.
Namun, perjuangan saya masih belum selesai. Saya masih harus berjuang untuk memasukkan penis sepenuhnya karena sekarang hanya bisa setengahnya.
Arti berhasil bagi pejuang vaginismus bukan hamil, tetapi kenyamanan saat berhubungan seksual
Pengalaman pengobatan ini mengajarkan saya kalau bagi pejuang vaginismus, berhasil adalah kata yang mengandung banyak arti.
Ada dokter yang menganggap bisa memasukkan dilator 6 adalah keberhasilan bagi penderita vaginismus.
Namun, untuk saya, arti kata berhasil bukan berbentuk kehamilan karena anak adalah rezeki. Jadi, saya tidak ingin memaksakan kehendak-Nya.
Saya hanya ingin sembuh dari vaginismus, bisa melayani suami dengan baik, dan berhubungan seksual yang nyaman, itu saja.
Kimi bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
[embed-health-tool-ovulation]