Pernahkah Anda menjumpai kasus korban kejahatan yang disalahkan atas sesuatu yang baru saja menimpanya? Sebagai contoh, seseorang mengalami tindakan pelecehan seksual, lalu ia disalahkan karena dianggap mengundang pelaku dengan memakai pakaian terbuka. Fenomena ini dikenal sebagai victim blaming.
Meski kesannya sepele, tahukah Anda kalau perilaku ini bisa berdampak pada korban? Berikut uraian lebih lanjut untuk membantu Anda memahami fenomena victim blaming.
Apa itu victim blaming?
“Seharusnya kamu lebih berhati-hati!”
“Kenapa kamu tidak menyerang balik?”
“Siapa suruh mengenakan pakaian terbuka seperti itu?”
“Sudah dibilang, jangan keluar malam!”
Ungkapan di atas merupakan beberapa contoh victim blaming yang seringkali ditujukan pada korban. Namun, apakah Anda sudah mengenal apa itu victim blaming?
Victim blaming adalah sebuah fenomena ketika korban kejahatan atau tindakan kekerasan justru disalahkan atas apa yang telah menimpa dirinya.
Kejahatan yang dimaksud sering kali mencakup kasus pemerkosaan, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tindakan ini membuat orang-orang berpikir bahwa korban dan pelaku merupakan dua orang yang harus sama-sama disalahkan atas peristiwa buruk yang terjadi.
Padahal, kenyataannya, tindakan kekerasan merupakan keputusan yang secara sadar diambil oleh pelaku.
Kenapa orang melakukan victim blaming?
Sebenarnya, victim blaming merupakan reaksi umum masyarakat terhadap kasus kejahatan yang baru saja menimpa orang sekitarnya.
Reaksi ini bisa dilakukan dengan atau tanpa disengaja, baik itu lewat ucapan ataupun sikap yang ditujukannya pada korban.
Kebanyakan orang mungkin sadar bahwa siapa pun dapat mengalami hal-hal buruk. Namun, kadang orang tidak dapat berpikir jernih saat harus melindungi dirinya dari pelaku.
Ia mungkin merasa sangat takut hingga akhirnya hanya terdiam dan tidak melawan. Sikap yang demikian sebenarnya merupakan mekanisme perlindungan diri yang tanpa sadar dilakukan oleh banyak orang.
Untuk menjaga dirinya agar tetap aman, beberapa orang memiliki bias (kecenderungan pikiran) yang disebut “hipotesis dunia yang adil”.
Bias ini membuat seseorang tidak mau mengungkap kejahatan yang dialaminya. Mereka bahkan bisa saja memercayai anggapan yang sebenarnya bertentangan.
Sebagai contoh, ia percaya bahwa hal buruk yang menimpa dirinya atau korban merupakan imbas dari kesalahan yang pernah diperbuat di masa lampau.
Orang dengan masa lalu baik akan mempunyai masa depan yang baik, sedangkan orang dengan masa lalu yang buruk juga akan mengalami hal buruk di masa depan.
Saat teman, keluarga, atau orang lain bersikap netral terhadap kasus pelecehan seksual yang terjadi, secara tidak langsung mereka membiarkan si pelaku melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.
Dengan demikian, kemungkinan korban mendapatkan dukungan akan lebih kecil. Inilah salah satu contoh victim blaming yang paling nyata.
Apa dampaknya terhadap korban?
Dilansir dari GoodTherapy, tanpa disadari, dampak victim blaming dapat membuat korban merasa seolah-olah mereka diserang terus-terusan.
Hal ini akhirnya bisa berkembang menjadi gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Itu sebabnya korban kekerasan atau kejahatan lainnya harus menerima terapi psikologis guna mengatasi trauma yang mereka hadapi.
Tindakan victim blaming hanya akan mempersulit korban untuk melaporkan tindakan kejahatan atau kekerasan yang dialaminya.
Saat korban tahu ada banyak orang yang menyalahkannya, ia justru merasa tidak percaya diri untuk mengungkapkan kejahatan tersebut karena takut disalahkan dan dihakimi.
Sikap menyalahkan korban juga cenderung memperkuat taktik manipulatif si pelaku untuk tidak disalahkan dalam kejadian ini.
Ini artinya orang yang menyalahkan korban turut berkontribusi mendukung kejahatan sebagai budaya yang dapat ditoleransi.
Peluang ini dapat digunakan si pelaku untuk melakukan hal yang sama kembali, baik itu terhadap korban yang sama atau lainnya.
Begitu pun saat kasus tersebut sudah ditangani oleh pengadilan, terlebih jika victim blaming dilakukan oleh hakim. Ini membuat korban tak bisa melakukan apa-apa.
Saat disalahkan, korban mungkin tidak akan menuntut karena sudah dihantui rasa takut dan bersalah. Sementara itu, pelaku akan mendapatkan keringanan atau bahkan penangguhan hukuman.
Agar hal tersebut tidak terjadi, saat Anda mengetahui bahwa seseorang mengalami pelecehan seksual atau kejahatan lainnya, sebisa mungkin hindari mengajukan pertanyaan kepada korban meski sebenarnya Anda penasaran.
Kadang dengan terlalu banyak bertanya, ini memberikan kesan bahwa Anda sedang bersikap victim blaming.
Sebagai gantinya, berikan dukungan untuk korban kekerasan sesuai kemampuan Anda. Jadilah tempat yang aman bagi korban untuk bercerita dan dengarkanlah ia sebaik yang Anda bisa.