backup og meta

Hati-hati, Sembarangan Komentar "Gendut" Bisa Berdampak Fatal

Hati-hati, Sembarangan Komentar "Gendut" Bisa Berdampak Fatal

Di tengah masyarakat yang mengagung-agungkan bentuk tubuh tinggi ramping singset nan seksi, tidak mengherankan jika mencibir mereka yang tampak jauh dari kata “ideal” telah menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging. Entah itu bisik tetangga membicarakan ibu RT yang kata orang berat badannya justru makin subur setelah menikah, atau menuliskan kritik pedas di akun sosial media idola favorit Anda tentang tubuhnya yang sedikit lebih “chubby”. Suka tidak suka, sadar tidak sadar, mencibir dan memperolok sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

“Kapan diet?”

“Kok ngemil terus sih?”

“Kamu kalo kurusan pasti lebih cakep, deh!”

Banyak dari komentar ini yang sebenarnya bermaksud mulia. Mereka benar-benar percaya bahwa komentar seperti ini mampu mendongkrak motivasi orang-orang yang kelebihan berat badan atau obesitas untuk mulai memangkas lemak di perut. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Sejumlah bukti studi menegaskan bahwa komentar gendut yang bernada nyinyir tidak efektif dan malah bisa berakibat fatal. Ini alasannya.

Komentar gendut justru memicu mereka makan lebih banyak lagi

Orang-orang yang kelebihan berat badan dan obesitas yang tanpa henti menerima komentar gendut tentang bentuk tubuhnya, lebih cenderung mengalami kenaikan berat badan secara drastis daripada mereka yang menerima motivasi dan dukungan positif, dilaporkan oleh Tech Times.

Para peneliti percaya bahwa efek ini disebabkan oleh faktor penghiburan dan pembangkit mood yang mereka dapatkan dari “perlindungan” makanan setelah menerima kritikan. Stres yang mereka hadapi dalam menanggapi cibiran dan cemooh dapat meningkatkan nafsu makan terhadap makanan yang tidak sehat: tinggi gula dan kalori. Diskriminasi berat badan juga telah ditunjukkan membuat kepercayaan diri seseorang semakin menipis untuk terlibat dalam aktivitas fisik karena mereka takut menjadi bahan ejekan khalayak ramai.

BACA JUGA: Bagaimana Mencegah Diabetes Jika Saya Gemuk?

Peneliti dari University College London (UCL) menyelidiki hampir 3.000 pria dan wanita, berusia 50 dan lebih, dalam penelitian ini. Setiap subyek ditimbang dalam empat tahun terpisah. Mereka juga ditanyai tentang cibiran dan komentar “positif” yang mereka mungkin terima karena berat badan mereka.

Selama penelitian, orang-orang yang mengalami komentar gendut dan kritikan tajam mengalami kenaikan berat badan hingga lima belas kilogram dan enam kali lebih mungkin untuk menjadi obesitas daripada mereka yang tidak menerima komentar miring dalam bentuk apapun. Mereka yang tidak menerima kritikan tentang tubuhnya berhasil menurunkan berat badan rata-rata hanya sekitar 5 kilogram. Pria dan wanita melaporkan tingkat diskriminasi berat badan yang sama.

BACA JUGA: 5 Diet Penurunan Berat Badan yang Paling Berbahaya

Studi menunjukkan banyak orang yang obesitas memiliki gangguan fungsi hormon dan bahan kimia otak yang memengaruhi rasa lapar dan nafsu makan, menyebabkan makan berlebihan dan kenaikan berat badan. Ketika hormon ini dipicu, diikuti dengan porsi makan yang lebih banyak dari yang diperlukan untuk bahan bakar tubuh, pusat penghargaan di otak dirangsang, dan pola destruktif yang mirip dengan kecanduan narkoba menjadi menyala terang.

Tapi akibatnya tak selalu kecanduan makan.

Komentar gendut memicu risiko kelainan gangguan makan dan depresi

Tubuh manusia tidak semua terlihat sama persis dan mengejar keseragaman “idealitas” yang tidak realistis, bagi banyak orang hanya akan memicu gangguan makan berbahaya seperti bulimia dan anoreksia — yang saat ini memengaruhi lebih dari 5 persen wanita di seluruh dunia. Bukan berarti pria akan kebal dari kedua gangguan makan ini, namun bukti data yang mendukung angka kejadian ini masih sangat terbatas untuk dapat diketahui pasti.

Lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan pahit bahwa orang yang mengalami obesitas sering berbagi sikap dan opini yang sama dengan masyarakat pada umumnya terhadap persepsi tubuh gemuk. Orang yang gemuk sebenarnya mencap negatif dirinya sendiri, ungkap Dr Kimberly Gudzune dari Johns Hopkins University School of Medicine, dilansir dari NY Times. Mereka malu dan menyalahkan diri sendiri karena gemuk dan memiliki pemikiran yang sama tentang orang lain yang juga mengalami obesitas.

Kebencian terhadap diri sendiri‘ kata Dr. Gudzune, “bisa menjadi fitur yang menonjol’ dari obesitas. Oleh karena itu, masalah kesehatan mental menjadi lebih umum ditemukan pada mereka yang telah mengalami diskriminasi berat badan parah; risiko menjadi depresi hampir tiga kali lipat lebih tinggi, menurut sebuah studi dari Rudd Center for Food Policy and Obesity di Yale University, dikutip dari NCBI.

BACA JUGA: Panduan Menjalani Diet Mediterania, Diet yang Dianggap Paling Sehat

Untuk menyelidiki lebih lanjut hubungan antara pikiran-tubuh yang merusak ini Jean Lamont, Ph.D. dilansir dari Shape, berteori bahwa perempuan yang merasa malu karena tubuh mereka yang tidak ideal juga merasa malu akan fungsi tubuh alami mereka seperti menstruasi, berkeringat, dan makan. Hal ini kemudian menyebabkan wanita tidak memiliki kepercayaan diri dan menolak untuk merawat dirinya sendiri, membuat mereka sakit dalam prosesnya.

Apakah Anda pernah batal datang ke salon kecantikan karena Anda pikir Anda terlalu gemuk untuk berada di sana? Atau makan junk food dengan sangat kalap karena Anda benci dengan apa yang Anda lihat di cermin? Pada dasarnya, Lamont mengatakan bahwa jika Anda tidak menyukai tubuh Anda maka Anda tidak akan ingin mengurusnya — keadaan yang menyedihkan bahwa banyak dari kita telah alami secara langsung. Peluang untuk mengembangkan infeksi dan penyakit kronis juga meningkat karena kadar kortisol yang lebih tinggi, peningkatan berat badan, dan stres.

Bunuh diri menjadi risiko yang lebih besar dan fatal ketika depresi klinis hadir; satu penelitian dengan hampir 2.500 peserta melaporkan subyek penelitian yang dianggap “sangat gemuk” 21 kali lebih mungkin untuk menampilkan perilaku bunuh diri. Mereka telah mencoba bunuh diri 12 kali lebih sering.

Obesitas adalah penyakit, bukan sekadar kelalaian menjaga berat badan

Yang juga sering kali terlewati oleh masyarakat adalah bahwa kampanye kesehatan yang dimaksudkan untuk mencegah obesitas ternyata dapat memperkeruh stigma yang berputar di masyarakat, ungkap peneliti. Iklan-iklan masyarakat ini membawa pesan tersembunyi bahwa siapapun yang benar-benar kekeuh berusaha — dengan diet dan rutin olahraga — bisa kurus instan.

BACA JUGA: 6 Jenis Obesitas: Yang Manakah Anda?

Sebagai orang dewasa, orang-orang yang kelebihan berat badan dan obesitas kerap banting tulang mencoba berbagai macam program penurunan berat badan. Ini dipicu oleh anggapan masyarakat yang saklek mempertahankan sikap dan opini bahwa kemauan untuk memangkas sejumlah besar berat badan ada dalam kekuasaan orang obesitas jika mereka benar-benar berusaha.

“Opini publik ini menyiratkan bahwa menjadi orang yang gemuk adalah kesalahan mereka sendiri dan berat badan adalah masalah kemauan,’ kata Judith Matz, psikoterapis dan penulis. Sayangnya obesitas tak sesederhana itu. Percayalah. Kalau saja mereka bisa jadi kurus, dengan segala keteguhan hati dan niat, mereka mau. Mereka tentu tidak ingin gemuk. Obesitas anak dengan sangat keras kepala menolak perbaikan dengan kedua cara tersebut, tandas para pakar obesitas.

BACA JUGA: Berat Badan Turun, Bukan Berarti Lemak Tubuh Berkurang

Dr Michael Rosenbaum, seorang peneliti obesitas di Columbia University, menjelaskan bahwa gagasan bahwa obesitas adalah penyakit belum dimengerti benar oleh sebagian besar masyarakat. Obesitas adalah suatu kondisi medis yang lebih kompleks daripada yang Anda duga. Gagasan bahwa sekali Anda telah menurunkan berat badan artinya Anda sembuh adalah salah. Obesitas adalah penyakit yang terus berkembang. Jadi, komentar gendut hanya akan memicu perilaku tak sehat yang selama ini dikambinghitamkan: “makan melulu” dengan tambahan rasa bersalah, malu, dan putus asa.

Saatnya untuk berhenti sembarang berkomentar miring tentang bentuk tubuh orang lain dan menyebarkan kebencian. Selain terbukti sangat tidak efektif untuk mencapai tujuan penurunan berat badan, komentar gendut justru bisa memperburuk kesehatan tubuh secara keseluruhan. Daripada bersikeras menggunakan pendekatan yang nyinyir dan pasif agresif, yang hanya akan membawa malapetaka daripada kebaikan, mendorong perubahan gaya hidup atas dasar bahwa lebih baik untuk menjadi sehat dan bugar adalah kunci utamanya — tak peduli ukuran dan besar tubuh Anda.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

What’s Wrong With ‘Fat Shaming?’ https://www.psychologytoday.com/blog/wiring-the-mind/201501/whats-wrong-fat-shaming accessed Dec 19 2016

What exactly is fat shaming and why you should be aware of it http://bodynutrition.org/fat-shaming/ accessed Dec 19 2016

‘Fat shaming’ doesn’t encourage weight loss https://www.eurekalert.org/pub_releases/2014-09/ucl-sd091014.php accessed Dec 19 2016

The Shame of Fat Shaming http://www.nytimes.com/2016/10/02/sunday-review/the-shame-of-fat-shaming.html accessed Dec 19 2016

Fat Shaming Could Be Destroying Your Body http://www.shape.com/lifestyle/mind-and-body/fat-shaming-could-be-destroying-your-body accessed Dec 19 2016

‘Fat shaming’ obese people more harmful than good: Study – See more at: http://www.techtimes.com/articles/15404/20140912/fat-shaming-obese-people-harmful-good-study.htm#sthash.hlGZI1be.dpuf accessed Dec 19 2016

Puhl, R. M., & Heuer, C. A. (2010). Obesity Stigma: Important Considerations for Public Health. American Journal of Public Health, 100(6), 1019-1028. doi:10.2105/ajph.2009.159491 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2866597/ accessed Dec 19 2016

Versi Terbaru

22/09/2020

Ditulis oleh Ajeng Quamila

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Diperbarui oleh: Desya Nur Fitriyani


Artikel Terkait

Spotlight Effect

Mobbing, Kekerasan di Tempat Kerja yang Jarang Disadari


Ditinjau secara medis oleh

dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Magister Kesehatan · None


Ditulis oleh Ajeng Quamila · Tanggal diperbarui 22/09/2020

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan