Ketika melihat laki-laki bertubuh six pack dengan bahasa tubuh lemah-lembut atau perempuan berpenampilan maskulin, beberapa orang mungkin akan berprasangka bahwa mereka adalah gay. Prasangka ini dikenal juga dengan istilah gaydar.
Stereotip yang didasarkan pada penampilan fisik ini bisa memberikan pemahaman keliru mengenai istilah gay dan LGBTQ+. Jadi, bisakah ciri-ciri fisik menentukan orientasi seksual seseorang?
Apa itu gaydar?
Gaydar adalah prasangka terhadap orientasi seksual seseorang berdasarkan ciri-ciri fisik dan perilakunya.
Gaydar juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali atau menebak orientasi seksual orang lain.
Penampilan fisik yang dimaksud bisa berupa potongan rambut, gaya berpakaian, dan bentuk tubuh. Sementara itu, perilakunya dapat dilihat dari bahasa tubuh, atau cara berbicara.
Prasangka ini muncul dari stereotip bahwa seorang laki-laki gay pasti bersifat feminin. Sementara itu, perempuan gay pasti diidentikan dengan sifat maskulin atau tomboi.
Gaydar diambil dari kata “gay” dan “radar”. Gay sendiri merupakan istilah populer untuk orang-orang yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama gender atau homoseksual.
Orientasi seksual ini bisa berupa ketertarikan secara seksual, emosional, dan intelektual. Gender dapat diartikan sebagai ekspresi identitas seseorang terlepas dari jenis kelaminnya.
Istilah gay bisa digunakan baik untuk laki-laki yang tertarik dengan sesama laki-laki maupun perempuan dengan sesama perempuan (juga dikenal dengan istilah lesbian).
Sementara untuk orang yang tertarik pada lawan jenis, istilah yang sering dipakai yaitu straight.
Orientasi seksual tidak bisa dilihat dari penampilan fisik
Pada abad ini, semakin banyak penelitian yang mempelajari homoseksualitas secara objektif.
Salah satunya yaitu apakah manusia memiliki gay radar atau kemampuan menebak orientasi seksual seseorang hanya dari ciri fisiknya.
Pada kenyataannya, menurut sejumlah penelitian yang telah dilakukan, tak ada bukti ilmiah yang membenarkan tampilan fisik menjadi penentu gay atau tidak.
Penelitian dalam Journal of Sex Research membuktikan, tampilan fisik tak bisa menjadi penentu apakah seseorang merupakan gay.
Dari eksperimen yang dilakukan, ratusan peserta diminta menebak orientasi seksual lebih dari 100 laki-laki asing (55 di antaranya gay) hanya melalui foto.
Pada eksperimen kedua, foto tersebut disertai dengan deskripsi singkat soal hobi atau profil mereka.
Namun, tanpa sepengetahuan peserta, deskripsi yang disertakan dalam foto tersebut bersifat asal-asalan.
Para peneliti secara acak dan asal mengarang keterangan seperti “Saya hobi belanja” atau “Saya pendukung tim sepak bola A”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para peserta tidak bisa menebak orientasi seksual laki-laki asing dengan benar hanya dari fotonya.
Sementara ketika mereka diberikan deskripsi asal-asalan, peserta cenderung menebak orang-orang yang hobi belanja atau pergi ke salon sebagai pria gay, padahal orang itu straight (heteroseksual).
Sebaliknya, peserta menebak bahwa penggemar sepak bola sudah pasti straight, padahal ternyata orang tersebut gay.
Penelitian di atas membuktikan bahwa ciri-ciri fisik semata seperti tinggi badan, bentuk tubuh, atau bentuk wajah tidak bisa membedakan antara orang-orang straight dan gay.
Benarkah gaydar ada?
Gay radar tidak benar-benar ada karena hanya didasari prasangka. Tebakan seseorang pada orientasi seksual orang lain justru kerap bersifat bias (tidak objektif).
Ini semua dipengaruhi oleh stereotipe tentang gender dan seksualitas yang dikaitkan dengan sifat maskulin dan feminin.
Stereotip tersebut merujuk pada laki-laki harus menunjukkan sifat maskulin (kuat, tegas, dan tidak emosional), sedangkan perempuan harus bersikap feminin (lemah-lembut, emosional, dan keibuan).
Jika tidak demikian, lantas dianggap ada penyimpangan dalam perilaku dan orientasi seksualnya.
Prasangka umum tersebut kerap berkembang dalam masyarakat yang belum sepenuhnya memahami konsep gender dan seksualitas.
Faktanya, seorang pria gay yang gemar membentuk otot tubuh belum tentu memiliki ciri-ciri wanita feminin seperti berperilaku lemah lembut dan suka berbelanja.
Begitu pula dengan wanita gay yang tak selalu tomboi atau cuek soal penampilannya.
Gaya hidup atau penampilan seseorang tidak bisa digunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan orientasi seksualnya.
Apa artinya bagi komunitas LGBTQ+ dan masyarakat luas?
Dari berbagai penelitian ilmiah yang sudah dilakukan, masyarakat seharusnya tidak dengan mudah melabeli orang lain sebagai gay hanya dari ciri-ciri atau stereotip tertentu.
Satu-satunya cara untuk mengetahui orientasi seksual seseorang yakni dengan mengenal orang tersebut secara mendalam, atau saat dia mengungkapkan identitas seksualnya kepada Anda.
Tanpa Anda sadari, mengkotak-kotakan orang tertentu yang belum Anda kenal dengan sangat baik bisa membuat pikiran semakin tertutup.
Jika tak memahami batasannya, kebiasaan tersebut bisa mengarah pada diskriminasi (xenophobia) atau perundungan (bullying) terhadap orang lain.
Kedua perilaku tersebut pada akhirnya berpotensi menyebabkan berbagai masalah, termasuk masalah kesehatan mental pada korban.