Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada saat Anda jatuh cinta. Hanya sejenak berpikir bahwa akhirnya Anda telah menemukan jodoh sehidup semati yang selama ini Anda impi-impikan, bisa begitu mendebarkan. Anda merasa sangat bahagia seperti sedang mengambang di langit ketujuh. Namun di saat yang sama, cinta baru Anda dapat menguras energi, fokus, dan waktu Anda hingga ke titik dimana segala hal lain yang terjadi dalam hidup Anda terasa sebagai gangguan antara Anda dan si dia. Anda tidak bisa berhenti memikirkan kekasih Anda. Anda bangun dan pergi tidur terobsesi tentang hubungan ini dan seperti apa masa depan Anda akan terlihat bersamanya.
Jatuh cinta dapat membuat Anda merasa seperti Anda mengalami serangan kecemasan. Tiba-tiba Anda mengeluhkan sering pusing, sulit fokus, turun berat badan, tidak bisa tidur nyenyak berhari-hari, perasaan galau gundah gulana, perut mulas seperti diserbu oleh ribuan kupu-kupu.
Pernah bertanya-tanya mengapa cinta dapat menyibukkan Anda dengan kebahagiaan sekaligus kemurungan secara bersamaan? Ini alasannya.
Cinta tidak hanya soal perasaan, namun juga pengaruh hormon
Dilansir dari Today, tim peneliti gabungan dari Leiden University dan University of Maryland menunjukkan bahwa orang-orang yang jatuh cinta mungkin mengalami kesulitan menjalankan tugas kognitif umum (seperti multitasking dan pemecahan masalah) karena mereka menghabiskan sebagian besar energi mentalnya untuk memikirkan sang belahan jiwa.
Saat Anda jatuh cinta, Anda di bawah pengaruh hormon yang membuat Anda mengalami tiga ombak emosi sekaligus: euforia, terancam, dan kelelahan. Dilansir dari Psychology Today, tim peneliti dari University of Pisa menemukan bahwa pada tahap awal dari hubungan romantis, aktivitas pemancar saraf adrenalin, dopamine, oksitosin, norepineprine, dan phenylethylamine (PEA — amfetamin alami yang juga terdapat dalam cokelat dan ganja) bercampur aduk dan meningkat ketika dua orang tertarik satu sama lain, yang menempatkan aspek emosional diri mereka menjadi kewalahan.
Uniknya, selama fase euforia ini, efek relaksasi yang Anda dapatkan dari hormon “mood baik” serotonin akan menurun, tergantikan dengan obsesi terhadap pasangan Anda dan secara konsisten mengingat-ingat kembali pada kenangan romantis sebelumnya yang Anda habiskan bersamanya. PEA ini jugalah yang memiliki andil dalam membuat jantung Anda berdebar hingga merasa terengah, gemetar, dan keinginan yang amat sangat untuk bersatu dengan kekasih Anda.
Perubahan yang terjadi pada Anda saat jatuh cinta
Meskipun indah, fase euforia ini dapat memberantakkan Anda. Anda menambahkan hubungan romantis pada rutinitas normal yang sudah cukup menyibukkan Anda. Tanggung jawab di rumah dan pekerjaan kantor atau sekolah kini perlahan terpinggirkan, dikalahkan oleh kebutuhan bawah sadar Anda untuk mencurahkan segala energi demi menguatkan hubungan romantis Anda. Hal ini dapat membuat Anda lebih gugup dan cemas dari biasanya.
Selain itu, mencintai seseorang juga ‘memaksa’ Anda untuk menurunkan kewaspadaan dan lebih membuka diri — membuat Anda mampu untuk menangguhkan semua kritik dan keraguan terhadapnya — agar Anda bisa menyatukan kebutuhan dan hasrat Anda dengan milik si dia. Proses ini dapat mengancam eksistensi diri Anda dan membuat Anda merasa tidak aman. Ketakutan ini sangat gamblang dirasakan. Butuh waktu dan usaha ekstra bagi kedua belah pihak untuk dapat mulai mempercayai orang yang tadinya asing dan membangun hubungan yang lebih kuat untuk Anda berdua.
Banyak yang dirisikokan dalam membangun sebuah hubungan romantis. Anda mungkin secara tidak sadar menciptakan masalah emosional dan drama untuk menyuarakan kegalauan Anda dan membawanya ke permukaan.
Dengan semua perubahan hormon dan ketakutan yang berkecamuk dalam diri Anda, maka tidak mengherankan Anda mungkin merasa kelelahan di tahap-tahap awal percintaan Anda.
Aktivitas otak yang terjadi saat sedang jatuh cinta
Hubungan romantis adalah sebuah candu. Hal ini dapat dibuktikan oleh perubahan biokimia yang terjadi dalam seseorang yang jatuh cinta dengan mereka yang memiliki obsessive compulsive disorder, termasuk sulit tidur dan kehilangan nafsu makan. Fantasi mengenai sang pujaan hati mengisi hari-hari kita memenuhi mimpi malam kita; saat terpisah, kita merasa tidak lengkap. ‘Kekosongan’ hati ini juga akan mengarah pada obsesi dan obrolan konstan tentang obyek kasih sayang Anda yang jauh dari genggaman.
Alasan untuk ini cukup sederhana, namun sedikit mengejutkan: orang-orang yang sedang jatuh cinta memiliki banyak kesamaan dengan pecandu kokain. Pindaian MRI mengungkapkan bahwa nucleus accumbens otak sama-sama terlihat menyala aktif pada mereka yang sedang jatuh cinta dan pada pecandu kokain dan penjudi, saat mereka sedang sakau.
Putus cinta serupa dengan ‘sakau’
Perasaan ngidam yang terkait dengan cinta romantis adalah suatu fenomena nyata. Dilansir dari The Star, antropologis biologis Helen Fisher, menyatakan bahwa dilihat melalui pemindaian otak dari 17 orang yang baru saja dicampakkan oleh pasangannya, terdeteksi aktivitas dalam sistem otak — ventral tegmental dari otak tengah — yang terkait dengan perasaan cinta romantis mendalam untuk orang tersebut. Jadi, ketika Anda dicampakkan oleh sang pujaan hati, Anda masih tetap terus mencintainya. Ia juga menemukan aktivitas dalam area otak — orbitofrontal cortex — bagian dari sistem hormon dopamin yang terkait dengan ngidam dan keterikatan. Jadi, walaupun mereka telah mencampakkan Anda, Anda akan masih tetap merasakan keterikatan dalam dengannya. Terakhir, ditemukan pula aktivitas otak yang terkait dengan kecemasan yang berjalan selaras dengan penolakan tetapi juga terkait dengan rasa sakit fisik dan stres emosional.
Maka dari itu, orang-orang yang patah hati juga merasakan apa yang namanya galau. Kerinduan, kesedihan, kemarahan, malu, atau rasa bersalah merupakan emosi yang dapat timbul setelah hubungan romantis yang dipenuhi oleh kebahagiaan. Kecanduan menutupi rasa sakit dari hubungan sayang-dan-benci atau dari hilangnya kebahagiaan, dan mereka menyembunyikan hasrat kerinduan ini untuk dapat mengalami keadaan bahagia sekali lagi.
Pada mulanya, mereka akan berada di tahap penolakan — menolak bahwa cerita cintanya telah kandas dan tidak mau mengakui akhir dari hubungan tersebut. Dalam tahap protes, biasanya mereka akan mencoba untuk kembali merebut kembali hati sang pujaan. Mereka akan merayu, membuat janji-janji, meminta untuk bertemu dan berdiskusi untuk mempertahankan hubungan, hingga mengkonfrontasi pihak ketiga yang ‘mencuri’ pasangannya. Jika segala upaya ‘balikan’ ini tidak berhasil, pada akhirnya mereka akan tergelincir dalam kesengsaraan. Siapapun yang telah mengalami berakhirnya suatu hubungan tahu bahwa putus cinta dapat menyebabkan kecemasan, mudah tersinggung, kemarahan, dan perasaan putus asa atau ketidakberdayaan. Mereka mengurung diri, berbaring di tempat tidur dan menangis tanpa henti, dan tidak pergi sekolah/bekerja — semua ini menunjukkan gejala depresi.
Cinta juga bisa memicu depresi jika…
Dilansir dari Healthline, penelitian menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sikap yang kaku tentang pentingnya cinta romantis — “saya tidak akan lagi menemukan orang lain sebaik dia”, “hidup saya hancur tanpa dirinya”, atau “putusnya hubungan ini adalah salah saya” — adalah mereka yang lebih rentang untuk mengembangkan depresi klinis. Perasaan negatif saja sebenarnya tidak cukup untuk menyebabkan gangguan mood klinis, namun kombinasi dari kerentanan kognitif dan depresi ringan dapat menjebloskan seseorang ke dalam sumur depresi yang dalam.
Bagaimana seseorang menginternalisasi galau akibat cinta akan sangat menentukan apakah ia dapat bertahan melalui cobaan hidup ini atau apakah ia membutuhkan bantuan dari pihak luar. Fisher menemukan bahwa pada otak dari orang-orang yang dicampakkan, wilayah yang berhubungan dengan rasa ngidam dan keterikatan akan berangsur meredup seiring waktu. Jadi, waktu memang menyembuhkan. Anda dapat mulai merasa lebih baik, lebih independen dan tidak melulu terobsesi dengan mantan Anda, dan mulai bersosialisasi seperti semula.
BACA JUGA: