Gangguan makan rupanya tidak selalu berkaitan dengan obsesi terhadap jenis makanan tertentu. Kondisi ini juga bisa terjadi dengan sendirinya dan tanpa alasan tertentu, salah satu contohnya adalah gangguan ruminasi.
Gangguan ruminasi membuat seseorang menelan kembali makanan yang sudah sempat dikeluarkannya. Lantas, bagaimana hal ini bisa terjadi?
Apa itu gangguan ruminasi?
Rumination disorder atau gangguan ruminasi adalah kondisi ketika seseorang mengeluarkan sebagian atau seluruh makanan yang sudah ditelan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Makanan yang sudah tercerna sebagian tersebut kemudian akan kembali ditelan atau dimuntahkan (regurgitasi).
Regurgitasi bisa terjadi berkali-kali setiap seseorang sedang makan. Makanan yang keluar biasanya tidak terasa asam atau pahit karena belum melalui proses pencernaan yang sempurna dengan asam lambung.
Oleh karena itu, pengidapnya akan terlihat biasa saja ketika memuntahkan makanannya karena mereka tidak mengalami mual.
Gangguan ruminasi paling banyak ditemukan pada anak-anak. Meski begitu, gangguan makan ini bisa dialami oleh siapa saja.
Saat dewasa, rumination disorder lebih banyak ditemukan pada mereka yang memiliki tingkat stres tinggi.
Tanda dan gejala rumination disorder
Rumination disorder sering disalahartikan sebagai muntah karena keduanya membuat makanan yang sudah ditelan kembali keluar, padahal keduanya merupakan hal yang berbeda.
Berbeda dengan muntah, kondisi ini justru jarang disertai dengan rasa mual. Berikut beberapa gejala yang dapat menyertainya.
- Keinginan mengeluarkan makanan setelah menelannya.
- Bau mulut.
- Kerusakan pada gigi.
- Bibir pecah-pecah.
- Penurunan berat badan secara tiba-tiba.
- Gangguan pencernaan seperti sakit perut.
- Cepat merasa kenyang.
Jika tidak segera ditangani, gangguan ruminasi bisa menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti kekurangan gizi, pneumonia, dan infeksi saluran pernapasan.
Penyebab gangguan ruminasi
Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebab gangguan makan ini. Namun, ada dugaan bahwa rumination disorder disebabkan oleh peningkatan tekanan di dalam perut.
Saat perut mendapat tekanan berlebih, katup kerongkongan bagian bawah akan mengalami relaksasi sehingga makanan kembali naik ke mulut.
Mengutip laman Cleveland Clinic, seseorang dengan gangguan mental atau stres berat memiliki risiko lebih besar mengidap rumination disorder.
Anda pun berisiko lebih besar untuk mengalami kondisi ini jika memiliki masalah pada saluran pencernaan, seperti sembelit kronis.
Rumination disorder juga kerap disalahartikan sebagai bulimia nervosa atau GERD, padahal ini merupakan kondisi yang berbeda.
Pada kasus bulimia nervosa, pengidapnya memuntahkan makanan setelah makan dalam jumlah banyak karena takut mengalami kenaikan berat badan.
Diagnosis gangguan ruminasi
Seseorang akan didiagnosis dengan sindrom ruminasi jika memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) berikut.
- Regurgitasi yang terjadi minimal selama satu bulan.
- Kebiasaan mengeluarkan makanan tidak didasari pada masalah pencernaan seperti GERD atau pyloric stenosis.
- Tidak terjadi secara bersamaan dengan anoreksia nervosa, bulimia nervosa, binge eating, atau gangguan makan lainnya yang membuat seseorang membatasi jenis makanan tertentu.
Jika dibutuhkan, dokter akan memastikan hasil diagnosis melalui beberapa tes berikut.
- Tes pengosongan lambung untuk menghitung waktu yang dibutuhkan makanan untuk berpindah dari lambung ke usus kecil.
- Endoskopi atau pemeriksaan kerongkongan dan lambung melalui tabung kecil yang dimasukkan ke tenggorokan.
- Rontgen untuk memeriksa bagian dalam kerongkongan dan perut.
Pengobatan gangguan ruminasi
Setiap orang yang mengalami rumination disorder mungkin mendapatkan pengobatan yang berbeda karena dokter perlu mencari tahu penyebab yang mendasarinya.
Berikut merupakan beberapa metode pengobatan yang paling sering diberikan.
1. Terapi perilaku
Pengobatan ini diberikan pada pengidap rumination disorder yang tidak memiliki masalah kesehatan lainnya dan akan berfokus pada latihan pernapasan diafragma atau pernapasan perut.
Pernapasan diafragma bisa dilakukan untuk mengenali saat regurgitasi akan terjadi sehingga hal tersebut dapat dicegah. Teknik pernapasan ini perlu dilakukan sebelum makan.
Proses terapi perilaku juga kerap disertai dengan biofeedback atau teknik untuk mengontrol beberapa fungsi tubuh.
2. Obat-obatan
Jika regurgitasi sudah menimbulkan peradangan pada kerongkongan, dokter Anda mungkin akan meresepkan obat-obatan tertentu seperti esomeprazole atau omeprazole untuk melindungi lapisan esofagus.
Selain itu, dokter mungkin memberikan obat-obatan tambahan berdasarkan dengan penyebab utama regurgitasi. Selalu ikuti anjuran perawatan yang diberikan oleh dokter.
Gangguan kesehatan mental mungkin tidak bisa langsung sembuh dengan sekali pengobatan karena diberikan dalam bentuk terapi untuk mengubah kebiasaan.
Kesimpulan
- Gangguan ruminasi adalah kondisi saat makanan yang sudah ditelan kembali dikeluarkan untuk dimuntahkan atau ditelan lagi.
- Tidak ditemukan penyebab pasti yang mendasari kondisi ini. Namun, seseorang dengan tingkat stres yang tinggi lebih rentan mengalaminya.
- Diatasi dengan terapi perilaku atau pemberian obat tertentu.
- Dapat menimpa siapa pun tanpa mengenal usia.