Baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.
Menteri Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok, Ma Xiaowei, mengatakan bahwa seseorang bisa terinfeksi COVID-19 tanpa menunjukkan gejala. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers hari Minggu (27/1). Menurutnya, orang-orang yang terinfeksi mungkin saja telah menyebarkan virus tanpa menyadarinya.
COVID-19 yang kini tengah merebak di seluruh dunia telah menginfeksi lebih dari satu juta orang dan mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dunia. Tanpa gejala yang spesifik, penyebaran virus dikhawatirkan dapat bertambah luas.
Silent carrier lebih berbahaya
Seiring dengan semakin besarnya jumlah kasus pasien yang positif terinfeksi COVID-19, WHO pun mendeklarasikan penyebaran virus ini sebagai pandemi. Dari banyaknya kasus yang dilaporkan, ternyata beberapa kasus positif di antaranya juga terjadi pada pasien-pasien yang tidak menunjukkan gejala.
Bahkan, mungkin saja masih banyak kumpulan kasus yang tidak terdeteksi. Hal ini tentunya membuat banyak orang mulai merasa khawatir bahwa banyak orang di sekitar atau dirinya sendiri yang sebenarnya memiliki virus namun tidak merasakan gejala penyakitnya.
Orang-orang tersebut dikenal dengan nama silent carrier. Kebanyakan para silent carrier tidak memiliki gejala saat menjalani tes, tapi lambat laun gejala mulai terlihat setelah beberapa hari setelahnya.
Ada juga yang merasakan gejala infeksi ringan dan membiarkannya karena merasa dirinya masih baik-baik saja dan tidak cukup sakit untuk sampai mencari bantuan medis. Terlebih banyak dari mereka yang lolos saat skrining umum seperti pemeriksaan suhu tubuh.
Nantinya, tanpa sadar mereka bisa menularkan virus pada orang-orang yang dekat atau sering berkontak. Jika telah terjadi, maka golongan yang paling berisiko seperti lansia atau orang-orang dengan penyakit lainnya akan menjadi golongan yang paling merasakan dampaknya.
[covid_19]
Bagaimana COVID-19 bisa menular tanpa gejala?
Peneliti dari berbagai belahan dunia hingga kini masih berupaya memahami penularan COVID-19, terutama terkait gejala yang ditimbulkannya. Pasalnya, infeksi virus berkode 2019-nCoV ini memiliki gejala yang mirip dengan gangguan pernapasan lain.
Pada awal kemunculannya, para petugas kesehatan menganggap virus penyebab COVID-19 sebagai airborne yang menyebar di udara. Namun, setelah melakukan pengamatan sedemikian rupa, WHO pun mengumumkan bahwa penyebaran virus terjadi melalui tetesan kecil yang keluar dari mulut atau hidung seseorang yang terinfeksi saat sedang berbicara, batuk, atau bersin.
Tidak ada perbedaan skema penularan COVID-19 di antara orang-orang yang menunjukkan gejala maupun yang tanpa gejala. Dua penularan yang paling sering terjadi adalah penularan antar manusia dan penularan dari benda-benda yang sudah terkontaminasi virus.
Penularan antar manusia bisa terjadi jika seseorang melakukan kontak atau berada di dekat orang yang terinfeksi dalam jarak kurang dari 2 meter. Tetesan yang keluar tersebut bisa mendarat di atas kulit, area hidung atau mulut, bisa juga terhirup sampai paru-paru.
Sedangkan penularan dari benda terjadi ketika seseorang menyentuh permukaan benda yang telah terpapar oleh virus. Meski demikian, penularan ini bukanlah cara penularan yang umum terjadi.
Infeksi COVID-19 sebenarnya bukan penyakit tanpa gejala. Dari pengamatan terhadap ratusan pasien, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah melaporkan gejala yang cukup bervariasi, antara lain demam, batuk, dan sesak napas.
Suhu tubuh menjadi indikator pemeriksaan di tempat umum
Otoritas kesehatan di sejumlah negara kini menjadikan gejala demam sebagai indikator saat melakukan pemeriksaan di pintu masuk negara. Pengunjung yang memiliki panas melebihi 38 derajat celsius akan mendapatkan Health Alert Card dan menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Kendati efektif mencegah penularan virus, cara ini ternyata masih memiliki kekurangan. Virus penyebab COVID-19 sama seperti virus lainnya yang memiliki masa inkubasi. Masa inkubasi adalah jangka waktu sejak seseorang terinfeksi hingga gejala pertama muncul.
CDC meyakini COVID-19 memiliki masa inkubasi selama 2-14 hari. Selama masa inkubasi, orang-orang yang terinfeksi akan tampak tanpa gejala. Mereka mungkin menjalani kegiatan seperti biasa tanpa menyadari bahwa tubuhnya membawa virus.
Penularan lebih mudah dicegah jika virus baru menyebar setelah gejala muncul. Inilah yang terjadi pada wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) tahun 2003 lalu. Sebelum virus sempat menular, tenaga medis sudah bisa mendeteksinya karena pasien mengalami kumpulan gejala.
Sebaliknya, ada pula penyakit yang dapat menular selama masa inkubasi, di antaranya flu, cacar, dan kemungkinan infeksi novel coronavirus. Pada kasus seperti ini, pasien tanpa gejala sekalipun mungkin telah menyebarkan virus ke banyak orang sekaligus.