WFH dan Peran Ibu
Hallo perkenalkan nama saya Desy, saya ibu satu anak berusia 13 bulan. Bekerja WFH sejak Maret 2020 dan mengurus anak tanpa bantuan pengasuh. Saya ingin sedikit cerita pangalaman saya mengurus anak selama pandemic ditambah juga harus melakukan pekerjaan kantor yang 80% dilakukan dari rumah. Sebagai wanita yang terbiasa sibuk beraktifitas menurut saya wfh dan benar-benar hanya berdiam diri di rumah saja sebetulnya sudah cukup membosankan, ditambah saya harus memulai sesuatu hal baru yang belum pernah saya lakukan sebelumnya yaitu mengurus anak.
Menurut saya mengurus anak, WFH dan mengurus rumah tangga adalah hal yang sangat melelahkan ditambah dengan segala kondisi yang tidak pasti ditengah pandemik seperti kondisi finansial yang cukup terdampak akibat pemberlakukan PSBB dan juga PPKM di Jakarta. Saya juga mengalami babyblues pada bulan-bulan awal pasca persalinan yang kemudian mengarah kepada gejala gangguan PTSD. Saat itu saya sempat mendapatkan beberapa kali sesi konseling yang dilakukan oleh profesional hingga akhirnya bisa dikatakan saya cukup bisa bertahan dengan kondisi dan situasi yang saya alami.
Mengurus anak yang saat itu terlahir prematur dengan berat badan yang sedikit kurang dan juga sempat mengalami penyakit kuning sempat membuat anak saya harus mendapatkan perawatan di ruang NICU selama 4 hari. Saat itu menjadi saat-saat yang cukup berat bagi saya karena harus bertarung melawan omongan-omongan yang menyakitkan yang kebanyakan datang justru dari keluarga terdekat. Saat itu banyak sekali sindiran yang secara terang-terangan ditujukan kepada saya karena dianggap tidak mampu mengurus anak, orang tua suami saya bahkan turut memaksa agar beliau dapat merawat anak saya di kampung halaman karena khawatir dengan kondisi anak saya yang menurutnya tidak terurus.
Ditambah saya juga harus benar-benar mengurus anak saya dari pagi hingga pagi lagi, belum lagi urusan rumah seperti bebersih. Saat itu kehadiran suami cukup membantu meski saya tetap merasakan alfa atas kehadirannya karena rasa kesal saya kepada kondisi yang ada. Kelelahan, kekurangan dukungan dan mommy shamming sebetulnya menjadi alasan utama ibu baru merasa sangat kelelahan dan mudah marah, membuat ibu baru merasa tak mampu dan tak pantas mengurus anaknya karena orang lain selalu merasa lebih pintar dari dia.
Menurut saya kehadiran suami harus menjadi faktor yang dominan untuk mencegah babyblues atau gejala PTSD pada ibu baru. Sebisa mungkin suami membantu istri dalam mengurus keperluan rumah tangga dan juga anak, dan terutama menurut saya untuk selalu membela dan menguatkan istri ketika orang lain sedang mencemooh atau menggurui dirinya. Sering kali menurut saya berdasarkan pengalaman, kekurangan dukungan dari keluarga terdekat seperti suami, orang tua dan mertua serta omongan-omongan yang sifatnya mengucilkan justru jadi pemicu ibu muda merasa tak pantas mengurus anaknya, tak merasa bahagia atas kehadiran anaknya dan merasa lelah atas apa yang sedang dijalani.
Menurut saya ibu muda juga harus menurunkan sedikit ekspektasinya terhadap kehidupan atau terhadap pola pikir “orang tua” yang sempurna. Karena bagaimanapun tak ada orang tua yang sempurna. Saya sendiri mulai menerima situasi dan kondisi setelah beberapa bulan menjalani sesi konseling, saya memulainya dengan mendahulukan apa yang membuat saya merasa lebih baik. Saya bangun siang, tidak peduli terhadap rumah yang berantakan dan memilih untuk membeli makanan jika saya merasa malas memasak, saya juga memilih menitipkan anak saya jika saya harus pergi untuk membeli keperluan rumah tangga atau sedang harus ke kantor, saya bahkan juga menitipkan anak saya ketika harus mengerjakan tugas atau sedang berkuliah (kebetulan saya sedang menempuh pendidikan S2).
Ahh iya, setelah usia anak saya 6 bulan saya juga berhenti memberikan tekanan kepada diri saya untuk tetap memberikan ASI kepada anak saya. Saya mencampur sufor dan ASI sejak usia anak saya 6 bulan dan hanya memberikan sufor setelah ia berusia 12 bulan. Saya berhenti memberikan beban kepada diri saya dengan pola pikir bahwa ASI adalah satu-satunya susu yang terbaik. Lagipula dengan kondisi pekerjaan, kuliah, pekerjaan rumah serta stres yang agak sulit saya kontrol membuat saya sulit menghasilkan ASI yang cukup bagi anak saya dan akhirnya saya menyerah dengan berkata “Sufor itu bukan racun, saya bekerja dan berkuliah juga demi masa depan anak saya.
Meskipun masalah akan tetap ada, saya masih terus mencoba untuk tidak memberikan banyak tekanan, ekspektasi juga rasa bersalah kepada diri sendiri. Peran suamik juga cukup mendukung, ia tak masalah dengan sufor, suami saya juga turut bergantian menjaga anak saya saat malam.