Januari 2007 merupakan tahun di mana aku memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan berumah tangga. Seperti layaknya pengantin baru pada umumnya, bulan madu menjadi hal yang ditunggu-tunggu setelah melangsungkan pernikahan.
Malam pertama yang awalnya membuat hati deg-degan karena akan melepaskan masa lajang, ternyata tak semudah yang dipikirkan. Aku dan suami tidak bisa berhubungan seksual. Ah… mungkin karena masih baru pikirku.
Aku pun mencoba di lain hari. Ternyata kondisiku masih belum bisa melakukan hubungan seksual layaknya pasangan normal. Intinya penis suami tidak bisa masuk ke vaginaku. Beberapa bulan berlalu dan kami mulai cekcok karena hal tersebut. Entah siapa yang salah.
Rasa penasaran dengan kondisi tubuh ini akhirnya memutuskanku untuk memeriksakan diri ke SpOG. Dari awal dokter memintaku untuk rileks dan mengontrol napas dengan benar. Dokter pun lantas melakukan pemeriksaan vagina.
Entah kenapa, aku sudah menuruti arahan dokter namun tetap saja sulit. Sulit dalam artian sepertinya vaginaku ‘menolak’ untuk diperiksa. Akhirnya dokter melakukan pemeriksaan secara paksa dengan memasukkan jarinya ke dalam vaginaku.
Sontak akupun menjerit kesakitan. Rasa sakit langsung muncul begitu jari dokter menembus clitoris. Ibarat kuku tajam yang dipaksakan ditusuk di kulit kita. Ya seperti itu rasanya, namun ini terjadi di daerah kewanitaanku.
Selesai pemeriksaan, dokter menyarankanku untuk memeriksakan diri ke psikolog. Tidak cukup sampai di situ, akupun dibawa ke ‘orang pintar’ untuk diperiksa, bahkan sampai ke beberapa tempat ritual, namun tetap tak membuahkan hasil. Penetrasi seksual tetap tidak bisa dilakukan. Vaginaku tetap menolak penis suami.
Mulai terdengar suara-suara tak menyenangkan dari mertua, ipar yang semakin membebaniku karena tak kunjung memiliki momongan layaknya pasangan normal.
Bukannya mencari jalan keluar, suami malah menyalahkan kondisiku yang tidak bisa berhubungan seksual secara normal. Aku pun dianggap sudah tidak mencintainya lagi, dan ia begitu mudahnya menyerah dengan kondisi ini.
Akhirnya hal yang selama ini aku khawatirkan tiba. Saat usia pernikahan kami menginjak dua tahun, suamiku mengajukan talak tiga. Pengadilan agama mengabulkan perceraian kami.
10 tahun selang perpisahan kami, aku diberikan jodoh lagi. Kami pun melangsungkan pernikahan di bulan April 2019. Tapi, mimpi buruk itu datang lagi ke kehidupan rumah tanggaku. Akupun masih tetap tidak bisa melakukan penetrasi seksual. Sedih rasanya, karena takut akan ditinggal untuk yang kedua kali.
Aku percaya Tuhan selalu memberikan jalan bagi umatnya. Di luar dugaan, suami keduaku mau menerima kondisiku apa adanya. Ia adalah sosok yang sabar dan selalu mencari solusi setiap permasalahan. Ia senantiasa mendukungku untuk mencari jalan keluar, hingga akhirnya aku tahu bahwa ternyata aku menderita penyakit bernama Vaginismus.
Akupun mulai mencari tahu lebih detail mengenai penyakit tersebut. Aku mulai mengerti sekarang, aku bukanlah terkena guna-guna, tapi menderita kaku otot pada vagina yang menyebabkan tidak dapat terjadi penetrasi, baik itu penetrasi seksual maupun pemeriksaan medis.
Setelah mendapatkan informasi detail mengenai Vaginismus, titik terang ada di depan mata. Dokter pun mengajarkan cara untuk melatih otot-otot vagina agar bisa mulai berfungsi secara normal. Latihan itu disebut dilatasi.
Aku melakukan dilatasi mandiri di rumah sejak Desember 2019. Keajaiban pun tiba. Akhirnya aku berhasil melakukan penetrasi seksual pada Januari 2020 dengan suami. Sujud syukur kuucapkan kepada Sang Pencipta karena aku berhasil melalui cobaan hidup bernama Vaginismus.
Alhamdulillah… perjuangan tenyata tidak mengkhianati hasil. Melalui tulisan ini kuucapkan terimakasih kepada suamiku yang sudah sabar dan selalu mendampingiku untuk sembuh.
Cerita oleh: Anonymous-Jogja, Vaginismus selama 13 tahun.
Selama berapa bulan/tahun terapinya dan berapa biaya yang dikeluarkan selama terapi?
Dilatasi mandiri nya seperti apa kalo boleh tau kak?
Apakah dilatasi itu sakit kak? Sy juga mnderita vaginismus