Cancel culture adalah fenomena yang banyak terjadi di Indonesia, terutama sejak kemunculan media sosial. Dampak dari fenomena ini sangat beragam, terkadang positif tetapi tidak jarang juga berefek buruk bagi kesehatan mental korban.
Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa · General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro
Cancel culture adalah fenomena yang banyak terjadi di Indonesia, terutama sejak kemunculan media sosial. Dampak dari fenomena ini sangat beragam, terkadang positif tetapi tidak jarang juga berefek buruk bagi kesehatan mental korban.
Simak pembahasan di bawah ini untuk mengetahui lebih jauh mengenai apa itu cancel culture.
Cancel culture adalah tindakan memboikot atau tidak lagi memberikan dukungan kepada orang yang dianggap melakukan hal buruk, baik melalui perilaku maupun ucapan.
Korban dari fenomena ini umumnya adalah public figure, seperti selebritas dan politisi, yang melakukan pelecehan seksual, rasisme, hingga merendahkan gender tertentu.
Beberapa orang melakukan aksi boikot ini secara pribadi. Namun, tidak jarang juga mereka bisa mengajak orang lain untuk ikut berpartisipasi.
Tujuan dari hal ini adalah untuk memberi efek jera yang lebih parah kepada para public figure tersebut.
Sejumlah contoh cancel culture di Indonesia adalah sebagai berikut.
Selain di Indonesia, beberapa kasus cancel culture di luar negeri juga tidak kalah ramai menjadi bahan perbincangan dunia. Berikut di antaranya.
Meski dapat memberikan efek jera, cancel culture juga memiliki dampak negatif bagi banyak pihak. Berikut beberapa contohnya.
Tujuan utama cancel culture yakni untuk memberikan efek jera pada seseorang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Meski terlihat baik, tak jarang fenomena ini berujung bullying atau perundungan secara massal. Tindakan ini bisa membuat orang yang terdampak merasa sendiri dan terisolasi.
Menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal BMC Psychiatry (2017), kondisi tersebut berpotensi meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, hingga bunuh diri.
Sebagian orang tidak masalah membuka luka lama untuk memperjuangkan kebenaran. Namun, tidak sedikit juga yang memilih menguburnya karena ingin menghilangkan trauma.
Apabila fenomena ini terjadi secara luas, trauma korban dari orang yang terkena cancel culture dapat kembali lagi.
Terlebih lagi bila orang tersebut dipaksa untuk membuka kembali traumanya di depan publik.
Risiko bullying dan efeknya terhadap kesehatan mental dapat membuat orang-orang ketakutan untuk menyampaikan pendapat yang berbeda.
Saat memiliki pendapat yang berseberangan, mereka khawatir akan menjadi korban cancel culture.
Akibatnya, banyak orang yang kemudian memilih untuk diam. Hal tersebut tentunya membuat komunikasi hanya berjalan satu arah tanpa adanya perspektif yang berbeda.
Melihat dampak yang mungkin dapat ditimbulkan, tentu saja cancel culture merupakan tindakan yang tidak sepenuhnya baik untuk dilakukan.
Sebagai alternatif, beberapa tindakan berikut bisa Anda lakukan untuk terhindar dari budaya ini.
Melihat segala sesuatunya tidak dari satu sudut pandang saja dapat menghindarkan Anda dari cancel culture.
Dengan begitu, Anda bisa memberikan penilaian secara lebih netral karena orang yang tertuduh belum tentu melakukan kesalahan.
Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat. Oleh karena itu, Anda perlu menghargainya.
Tidak menjadi masalah bagi Anda untuk punya yang pendapat berbeda, tetapi jangan sampai Anda memaksakannya pada orang lain.
Asumsi sering kali menimbulkan kesalahpahaman dan membuat cancel culture salah sasaran.
Hindari menyimpulkan segala sesuatunya atas penilaian sendiri. Carilah pendapat atau sudut pandang lain untuk membantu Anda mendapatkan fakta yang sebenarnya.
Agar tidak berasumsi, tanyakan atau mintalah klarifikasi pada orang yang dianggap bersalah jika memungkinkan.
Hal tersebut dapat membantu Anda bersikap lebih netral dan tidak melihat segala sesuatunya dari satu arah saja.
Apabila Anda adalah salah satu pelaku cancel culture, tidak ada salahnya untuk menghentikan kebiasaan ini mulai dari sekarang.
Namun bila Anda menjadi korban, konseling dengan psikolog atau psikiater bisa dipertimbangkan bila perlakuan yang Anda terima mulai berpengaruh terhadap kesehatan mental dan fisik Anda.
Catatan
Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.
Ditinjau secara medis oleh
dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa
General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar