Seksualitas bukan hanya reaksi fisik tubuh, tapi juga berkaitan dengan aspek psikologis, seperti perasaan dan pengalaman masa lalu. Konsep ini disebut dengan psikoseksual. Telusuri lebih dalam bagaimana psikologi bisa memengaruhi perkembangan seksual seseorang.
Apa itu psikoseksual?
Psikoseksual adalah istilah yang merujuk pada hubungan antara aspek psikologis dan seksualitas seseorang. Seksualitas sendiri berkaitan dengan ketertarikan dan orientasi seksual.
Konsep ini menekankan bahwa seksualitas tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis, seperti anatomi atau hormon, tetapi juga faktor psikologis, seperti perasaan, kepribadian, dan pengalaman masa lalu.
Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh cara mereka mengelola dorongan seksual di setiap tahap kehidupan.
Sigmund Freud membagi tahapan perkembangan psikoseksual menjadi 5 tahap, dimulai sejak bayi hingga dewasa.
- Tahap oral (0 – 1 tahun). Sumber kesenangan pada tahap oral dimulai melalui mulut. Bayi akan merasa senang saat menyusu atau menggigit sesuatu.
- Tahap anal (1 – 3 tahun). Pada tahap anal, anak mulai belajar untuk mengontrol dan menahan dorongan untuk buang air.
- Tahap phallic ( 3 – 6 tahun). Pada fase phallic, anak mulai merasa ingin tahu tentang tubuhnya dan mulai sadar dengan perbedaan gender.
- Tahap laten (6 – 12 tahun). Anak akan lebih fokus pada perkembangan keterampilan sosial, hobi, dan pendidikan. Pada masa ini, anak akan belajar untuk berteman dan bermain dengan anak-anak lainnya.
- Tahap genital (12 tahun ke atas): Pada tahap ini, seseorang sudah matang secara seksual dan muncul ketertarikan dengan lawan jenis.
Pengaruh psikologi terhadap seksualitas
Berikut ini beberapa contoh bagaimana faktor psikologis dapat memengaruhi seksualitas dan perkembangan kepribadian seseorang.
1. Pola asuh dan pengalaman masa kecil
Dikutip dari Simply Psychology, Freud mengungkapkan bahwa 5 tahun pertama kehidupan sangat penting dalam membentuk kepribadian seseorang saat dewasa.
Pola asuh dan pengalaman masa kecil memainkan peran besar dalam proses ini. Anak yang tumbuh di lingkungan yang aman dan terbuka tentang pendidikan seks, cenderung memiliki persepsi yang baik tentang seksualitas.
Pola asuh yang keras atau peristiwa traumatis yang dialami anak, seperti kekerasan seksual, dapat menciptakan persepsi negatif terhadap tubuh, kedekatan, dan hubungan seksual.
2. Kesehatan mental
Faktor psikologis, terutama kesehatan mental, juga membentuk persepsi terhadap seksualitas dan kepribadian seseorang.
Kesehatan mental yang baik memunginkan seseorang menjalin hubungan yang sehat, mengenali batasan pribadi, dan merasa nyaman dalam mengeksplorasi aspek-aspek seksual secara positif.
Sebaliknya, gangguan psikologis, seperti stres berkepanjangan, kecemasan, atau depresi bisa memengaruhi dorongan seksual dan kualitas hubungan intim.
Kondisi ini bisa menghambat kedekatan emosional dan kesulitan untuk membangun hubungan yang harmonis.