Pendidikan seksual hingga saat ini belum masuk secara utuh ke dalam kurikulum pendidikan secara resmi di sekolah-sekolah di Indonesia. Pembahasan yang diberikan masih lah amat sangat terbatas. Padahal edukasi seksual pada anak remaja sangat penting untuk menjaga remaja dari kehamilan yang tidak diinginkan serta pencegahan penularan penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.
Bahasan terkait kesehatan reproduksi seksual kerap masih dianggap tabu dan tak layak dibicarakan apalagi terhadap anak usia remaja, padahal informasi ini sangat penting untuk diketahui. Sekolah, guru, dan orang tua memegang peran penting dalam memberikan pemahaman ini.
Edukasi seksual pada remaja
Jumlah remaja yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Kementerian Kesehatan mencatat angka infeksi HIV paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif 25-49 tahun, diikuti kelompok usia 20-24 tahun. Fakta ini menjadikan pendidikan seksual termasuk mengenai risiko penularan penyakit menular seksual sangat penting dimulai sejak usia anak.
Studi yang dilakukan Universitas Padjadjaran tahun 2018 mengatakan, ketidaktahuan menjadi salah satu pemicu peningkatan angka infeksi penyakit menular seksual ini di kalangan remaja.
Data Kemenkes dan KPAI mencatat ada 62% remaja telah melakukan hubungan seks di luar nikah. Fakta lainnya, 20% perempuan hamil di luar nikah berasal dari usia remaja, di mana 21% di antaranya pernah melakukan aborsi.
Selain itu, Data Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2018-2019 mencatat rata-rata pekerja seks komersial (PSK) melakukan seks vaginal dan anal pertama kali di usia 18 tahun, dengan usia termuda yakni 14 tahun dan paling tua pada umur 20 tahun.
Dengan melihat data-data tersebut, kebutuhan akan edukasi terkait kesehatan alat reproduksi menjadi penting. Sebab edukasi seks dapat memainkan peran penting dalam persiapan anak remaja untuk kehidupan aman, produktif, terhindar dari penyakit menular seksual (IMS), kehamilan yang tidak diinginkan, dan kekerasan berbasis gender.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan pendidikan seksual agar dirancang dapat membantu siswa memahami aspek seksualitas dan kesehatan reproduksi. Materi pendidikan juga diharapkan berisi soal menghormati batasan orang lain, etika hubungan remaja atau etika pacaran, hingga penggunaan media sosial.
Fokus pendidikan seksual ini untuk memberdayakan dan mempersiapkan anak dan remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan mampu membangun hubungan yang sehat.
Dengan tidak mengajari anak perihal kesehatan reproduksi bukan berarti menjauhkan anak dari perilaku seks yang berisiko. WHO menyarankan agar panduan pendidikan seksual di sekolah menengah harus membantu remaja untuk memahami argumen kenapa ada aktivitas seksual dan bagaimana konsekuensinya.
Orang tua adalah bagian dari pendidikan seks
Pendidikan seksual pada remaja sebaiknya dimulai melalui obrolan antara orang tua dan anak. Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang tua di Indonesia tidak membicarakan seksualitas dan kesehatan reproduksi kepada anak-anak mereka.
Padahal di era keterbukaan informasi ini, keterlibatan orang tua dan komunitas lebih dibutuhkan dari sebelumnya.Penelitian di Inggris mengatakan bahwa sekolah dasar kerap harus memberi tahu orang tua tentang materi dan metode pendidikan seksual. Studi ini merekomendasikan untuk membentuk kolaborasi antara guru dan orang tua terkait materi kesehatan reproduksi seksual agar selaras.
Bagaimana cara orang tua dalam memberikan edukasi seksual pada anak?
Dokter spesialis kulit dan kelamin, Yudo Irawan Sp.KK (K), memberi beberapa tips yang perlu diperhatikan orang tua dalam menyampaikan pendidikan seksual pada anak.
“Jangan membiasakan memberikan kata-kata istilah lain dalam menyebut genital, itu kebiasan yang sudah terlanjur mengakar,” kata Yudo dalam acara webinar bertema Perkuat Kolaborasi, Tingkatkan Solidaritas pada Senin (30/11). Webinar tersebut diselenggarakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia dan Durex Eduka5eks PT. Reckitt Benckiser Indonesia.
Yudo menekankan agar orang tua menyebut nama asli dari organ tersebut, misalnya dengan menyebut langsung penis daripada menggantinya dengan istilah sosis atau burung atau menyebut vagina, bukan kue apem.
“Itu sudah merupakan edukasi seksual sejak dini. Orang tua perlu memberitahu mereka apa fungsinya, bagaimana cara menjaganya, dan bertanggung jawab terhadap organ-organ tersebut,” jelas Yudo.
Dalam menyampaikan edukasi seksual pada anak remaja, orang tua harus pandai berkomunikasi secara dua arah dan memberi anak ruang untuk berdiskusi.
“Orang tua biasanya mendikte dengan nada curiga. Coba kembali lagi ke cara komunikasi ibu dan anak, mereka lebih senang diajak ngobrol, diajak diskusi seperti tagline kita itu #obrolinaja,” tambah dr. Helena Rahayu, Project Director Reckitt Benckiser Indonesia.
[embed-health-tool-ovulation]