backup og meta

Panduan Mengajari Anak Penderita Autisme untuk Mengendalikan Diri

Panduan Mengajari Anak Penderita Autisme untuk Mengendalikan Diri

Salah satu tantangan terbesar dalam membesarkan anak dengan autisme adalah berkomunikasi secara efektif. Sering kali anak dengan autisme dikira sedang mengamuk (tantrum), padahal ia sedang mengalami meltdown. Sayangnya, mereka tidak bisa mengungkapkan emosi dan pikirannya dengan gamblang pada orangtua. Akibatnya, Anda dan anak pun malah jadi ribut karena sama-sama tidak paham. Lalu, bagaimana caranya mengajari anak dengan autisme supaya bisa mengendalikan diri saat meltdown? Ini dia tipsnya.

Mengenal meltdown pada anak dengan autisme

Meltdown berbeda dengan tantrum, yaitu amukan atau ledakan amarah anak pada umumnya. Pada kasus meltdown, anak-anak dengan autisme tidak mencari perhatian siapa pun. Mereka justru cenderung tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, meltdown terjadi karena anak dengan autisme merasa tak berdaya. Sedangkan tantrum terjadi karena anak merasa ia punya kekuatan dan cara agar keinginannya dikabulkan.

Pada anak dengan autisme, meltdown bisa terjadi karena berbagai hal. Misalnya karena ia tidak tahan dengan cahaya yang menyilaukan, suara bising, perubahan rencana, atau rasa makanan yang asing di mulut. Hal ini membuatnya jadi resah. Keresahan ini diungkapkan misalnya dengan cara menangis, menjerit-jerit, menggaruk kulit, memukul, menendang, atau menggigit kuku.

Tips mengajari anak penderita autisme untuk mengendalikan diri

Meltdown pada anak dengan autisme pada dasarnya bisa dicegah dan dikendalikan. Berikut tips-tipsnya.

1. Menetapkan batas waktu tertentu

Supaya anak merasa penuh kendali, sebaiknya jelaskan berapa lama waktu yang akan dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Anak mungkin jadi gelisah bila orangtua kelamaan belanja. Tenangkan anak dengan memberi tahu, “Lima belas menit lagi kita akan ke kasir”. Ini lebih ampuh daripada berulang kali menyuruh anak untuk sabar dan menunggu lebih lama.

2. Memberikan arahan yang jelas

Anak akan mulai meltdown ketika ia merasa bingung atau kaget. Jadi, usahakan untuk selalu memberi arahan yang jelas. Misalnya, “Sekarang kamu akan mandi. Baru setelah itu kita berangkat.” Jangan hanya berkata, “Cepat dong, jangan bermalas-malasan terus,” karena anak malah jadi bingung apa yang harus dilakukan.

3. Menyanjung perilaku baik anak

Bukan berarti orangtua harus memuji anak habis-habisan. Cukup beri tahu bahwa perilakunya yang baik patut dipertahankan. Dengan begitu, lama-lama anak dengan autisme akan membaca pola bahwa perilaku baik seperti itulah yang diharapkan darinya.

4. Gunakan bentuk kalimat positif

Saat meltdown, hindari kalimat negatif seperti, “Jangan menangis,” atau “Tidak boleh teriak-teriak.” Pasalnya, anak dengan autisme yang sulit berkonsentrasi mungkin hanya akan fokus pada kata-kata perintah seperti “menangis” dan “teriak-teriak”, bukan pada larangannya. Jadi sebaiknya gunakan kalimat yang positif. Misalnya, “Ayo tenang dulu,” atau, “Bicaranya pelan-pelan, ya.”

5. Ajari anak untuk mengungkapkan emosinya

Konsep abstrak seperti emosi memang sulit dipahami, apalagi saat anak sedang meltdown. Gunakan bantuan visual seperti ekspresi wajah dari gambar atau tokoh kartun favoritnya untuk mengungkapkan emosinya. Tanyakan pada anak apakah emosi tersebut yang sedang dirasakannya. Dengan belajar mengenali emosinya sendiri, anak bisa mengungkapkan perasaannya tanpa harus teriak-teriak atau menangis.

[embed-health-tool-vaccination-tool]

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Five Tips that Helped Improve My Child’s Behavior. https://www.autismspeaks.org/blog/2015/01/05/five-tips-helped-improve-my-childs-behavior Diakses pada 24 Maret 2017.

Eliminating Tantrums. http://www.tacanow.org/family-resources/tantrums-outbursts/ Diakses pada 24 Maret 2017.

Meltdowns. http://www.autism.org.uk/about/behaviour/meltdowns.aspx Diakses pada 24 Maret 2017.

Versi Terbaru

02/06/2021

Ditulis oleh Irene Anindyaputri

Ditinjau secara medis oleh dr. Yusra Firdaus

Diperbarui oleh: Ajeng Pratiwi


Artikel Terkait

Gagap

Berbeda dengan Autisme, Kenali Sindrom Asperger Beserta Gejalanya


Ditinjau secara medis oleh

dr. Yusra Firdaus


Ditulis oleh Irene Anindyaputri · Tanggal diperbarui 02/06/2021

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan