Ada berbagai penyebab depresi yang bisa dengan mudah menyerang seseorang. Mulai dari mengalami peristiwa yang traumatis, konsumsi obat-obatan yang berlebihan, hingga karena mengidap penyakit kronis yang serius. Namun di samping itu, banyak penelitian yang mengaitkan penyebab depresi dengan faktor keturunan. Benarkah demikian?
Benarkah faktor keturunan bisa menjadi penyebab depresi?
Shizhong Han, Ph.D., seorang profesor psikiatri dan ilmu perilaku di Johns Hopkins Medicine berpendapat bahwa seseorang yang memiliki anggota keluarga dengan riwayat depresi punya kemungkinan sekitar 20-30 persen untuk ikut mengalami depresi.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya sebuah studi yang meneliti seberapa sering depresi yang dialami oleh anak kembar bisa saling memengaruhi satu sama lain. Hasilnya menunjukkan bahwa sepasang anak kembar yang tidak identik, cenderung mengalami depresi berat pada tingkat 20 persen. Sedangkan pada sepasang anak kembar identik, yang memiliki jenis gen sangat mirip, mengalami depresi pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu hingga 50 persen.
Kondisi ini diyakini karena efek melihat perilaku anggota keluarganya yang menderita depresi. Seperti dilansir dari Healthline, ketika seseorang memerhatikan tingkah laku anggota keluarganya yang depresi, maka tanpa sadar ia juga akan lebih rentan untuk mengalami depresi karena seolah-olah seperti merasakan hal yang sama.
Sebenarnya, bagaimana pengaruh depresi terhadap gen?
Selanjutnya, mungkin Anda akan bertanya-tanya, bagaimana caranya depresi bisa memengaruhi gen dalam suatu keluarga. Padahal, selama ini diketahui bahwa depresi hanya dirasakan oleh masing-masing orang saja alias tidak bisa menular.
Begini, adanya interaksi yang dilakukan oleh anggota keluarga yang mengalami depresi dengan yang tidak, akan membuat orang yang tidak depresi menjadi lebih “peka” terhadap berbagai hal pemicu stres di lingkungannya. Itu sebabnya, ketika seseorang lebih rentan mengalami stres, akhirnya ia juga akan lebih mudah untuk mengembangkan depresi.
Uniknya lagi, Michael J. Meaney, Ph.D., dari McGill University mencoba menelusuri mekanisme depresi yang berasal keturunan dan lingkungan seseorang. Penelitian ini masuk ke dalam bidang epigenetika, yakni studi tentang proses di mana lingkungan atau eksternal mampu mengaktifkan dan menonaktifkan gen, tanpa mengubah struktur gen dalam DNA.
Menurut Michael, ada bagian dari otak seseorang yang peka terhadap adanya perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Aktivitas di bagian otak inilah yang kemudian bisa memengaruhi perasaan seseorang hingga mengarahkannya pada depresi.
Selain keturunan, masih ada faktor lain yang jadi penyebab depresi
Meskipun faktor keturunan tampak memiliki pengaruh yang cukup besar, ternyata bukan inilah faktor terbesar penyebab depresi. Dr. Wade Berrettini, Ph.D., seorang dosen di Parelman School of Medicine University of Pennsylvania menerangkan bahwa untuk mengembangkan depresi Anda harus mewarisi puluhan variasi gen dari anggota keluarga yang memiliki depresi, serta setidaknya harus berada di lingkungan yang bisa memicu munculnya depresi.
Jadi, bisa dikatakan kalau genetika hanya menyumbang sekitar 40 persen sebagai penyebab depresi, sementara 60 persen sisanya berakar dari lingkungan dan gaya hidup Anda.
Mudahnya, berbagai situasi yang berhubungan dengan penyakit, kehilangan pekerjaan, kematian orang dicintai, tekanan dari rekan kerja, dan peristiwa lainnya bisa seketika mengubah suasana hati Anda, sehingga memicu peningkatan hormon stres, dan pada akhirnya berkembang menjadi depresi.
Selain itu, kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol juga bisa memengaruhi komponen gen di dalam tubuh, yang kemudian akan mengarah pada perubahan tertentu di otak. Akhirnya, proses ini akan memengaruhi suasana hati Anda, yang berujung pada serangan depresi.