Kerusakan rahim termasuk kerusakan leher rahim, perlubangan (perforasi) rahim, dan luka robek pada rahim (laserasi). Namun sebagian besar kerusakan ini bisa tidak terdiagnosis dan tidak terobati kecuali dokter melakukan visualisasi laparoskopi.
Risiko perforasi rahim meningkat pada wanita yang sebelumnya telah melahirkan dan bagi mereka yang menerima anestesi umum pada saat aborsi. Risiko kerusakan serviks akan lebih besar pada remaja yang melakukan aborsi sendiri pada trimester kedua, dan ketika praktisi aborsi gagal memasukkan laminaria untuk dilatasi serviks.
5. Infeksi peradangan panggul
Infeksi peradangan panggul (PID) adalah penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan risiko kehamilan ektopik dan mengurangi kesuburan perempuan di masa depan. Kondisi ini berpotensi mengancam nyawa. Sekitar 5% perempuan yang tidak terinfeksi oleh infeksi lain sebelum kehamilan dan selama aborsi dapat mengembangkan PID dalam waktu 4 minggu setelah aborsi pada trimester pertama.
Risiko PID meningkat pada kasus aborsi spontan karena adanya peluang untuk jaringan kehamilan terperangkap dalam rahim serta risiko perdarahan hebat. Keduanya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri; Selain itu, pada wanita yang sudah mengalami anemia sedang hingga berat sedari awal, kehilangan darah lebih lanjut akan meningkatkan kemungkinan infeksi. Pada aborsi yang diinduksi (baik legal maupun ilegal), instrumen dan manipulasi eksternal juga meningkatkan kemungkinan infeksi.
6. Endometritis
Endometritis adalah kondisi peradangan pada lapisan rahim, dan biasanya karena infeksi. Endometritis adalah risiko efek aborsi yang mungkin terjadi pada semua, namun lebih terutama untuk remaja. Remaja perempuan dilaporkan 2,5 kali lebih mungkin untuk mengalami endometritis setelah aborsi dibandingkan wanita usia 20-29.
Infeksi yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi pada organ reproduksi, masalah kesuburan, dan masalah kesehatan umum lainnya.
7. Kanker
Perempuan yang pernah sekali menjalankan aborsi menghadapi risiko 2,3 kali lebih tinggi terkena kanker serviks daripada perempuan yang tidak pernah aborsi. Perempuan yang pernah dua kali atau lebih menjalani aborsi memiliki peningkatan risiko hingga 4,92.
Risiko peningkatan kanker ovarium dan kanker hati juga terkait dengan aborsi tunggal dan ganda. Peningkatan kanker pasca-aborsi mungkin disebabkan oleh gangguan hormonal tidak wajar sel kehamilan selama dan kerusakan leher rahim yang tidak diobati atau peningkatan stres dan dampak negatif dari stres pada sistem kekebalan tubuh.
Sementara itu berbanding terbalik dengan mitos masyarakat, tidak ada hubungan antara aborsi dan peningkatan risiko kanker payudara.
8. Kematian
Perdarahan hebat, infeksi parah, emboli paru, anestesi yang gagal, dan kehamilan ektopik yang tidak terdiagnosis merupakan beberapa contoh penyebab utama dari kematian ibu yang terkait aborsi dalam seminggu setelahnya.
Studi tahun 1997 di Finlandia melaporkan bahwa perempuan yang aborsi berisiko empat kali lipat lebih mungkin untuk meninggal akibat kondisi kesehatan di tahun berikutnya daripada wanita yang melanjutkan kehamilan mereka sampai cukup umur. Penelitian ini juga menemukan bahwa perempuan yang melakukan aborsi mengalami peningkatan risiko kematian yang lebih besar dari bunuh diri dan sebagai korban pembunuhan (oleh anggota keluarga maupun pasangan), daripada perempuan yang melanjutkan hamil hingga 9 bulan.
Penting untuk dipahami bahwa sejumlah efek aborsi di atas jarang terjadi dan beberapa risiko juga tampak mirip dengan komplikasi persalinan bayi. Yang penting adalah bahwa Anda menyadari risikonya sementara Anda berusaha membuat keputusan penting tentang kehamilan Anda.