Pada akhir tahun 2013 kemarin, Organisasi Kesehatan Dunia alias WHO, menyatakan bahwa sekitar 3,2 juta anak hidup dengan AIDS. HIV atau Human Immunodeficiency Virus akan menyebabkan penyakit AIDS. ini merupakan kondisi kesehatan yang dapat mengancam nyawa, terlebih anak-anak yang masuk dalam kelompok rentan pengidap HIV. Bagaimana HIV menular? Adakah pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV pada anak? Simak jawabannya dalam penjelasan di bawah ini.
Bagaimana cara mengetahui adanya infeksi HIV pada anak?
Tes HIV pada balita dan bayi (usia 18 bulan atau kurang) umumnya berbeda dari tes HIV orang dewasa. Pada tes HIV orang dewasa, dokter akan memeriksa dengan tes antibodi HIV (protein khusus yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dan terinfeksi HIV). Namun, pada ada anak dan balita dokter akan melakukan pemeriksaan HIV menggunakan tes uji viral kualitatif.
Tes ini berbeda dari uji viral kuantitatif (viral load) yang digunakan untuk mengukur seberapa banyak HIV dalam darah seseorang. Sebaliknya, tes kualitatif fungsinya untuk mengetahui apakah virus HIV benar-benar ditemukan atau tidak pada anak.
Tes antibodi, yang umumnya digunakan untuk mendiagnosis HIV, tidak disarankan untuk dilakukan pada anak. Seperti namanya, tes ini mendeteksi antibodi yang diproduksi tubuh sebagai reaksi terhadap HIV. Pada bayi baru lahir, antibodi milik bayi masih bercampur dengan antibodi milik ibu. Karena alasan ini, tes antibodi bisa memberikan hasil positif bila antibodi ibu pada darah bayi terdeteksi sehingga memberikan hasil positif palsu. Dengan kata lain, hasil yang didapat tidak akurat.
Antibodi maternal (yang diturunkan dari ibu ke anak) ini perlahan-lahan akan hilang, rata-rata di usia anak sekitar 1 sampai 2 tahun. Untuk meminimalkan risiko infeksi HIV, bayi yang baru lahir umumnya diresepkan obat pencegahan (profilaksis) obat antiretroviral untuk jangka waktu 4 sampai 6 minggu.
Lalu, pemeriksaan HIV apa yang dilakukan pada anak bayi dan balita?
Biasanya, untuk pemeriksaan dalam rangka mendeteksi HIV pada anak bayi, dokter akan melakukan tes yang disebut uji polymerase chain reaction (PCR). Tes ini berfungsi untuk mendeteksi keberadaan DNA HIV, atau tes RNA assay, untuk mendeteksi adanya RNA HIV di dalam tubuh anak.
Bayi yang diduga terkena HIV sejak lahir dianjurkan untuk periksa dengan tes virologis paling awal pada usia 6 minggu. Pasalnya, pada saat bayi baru lahir dan mencapai usia 3 bulan, keakuratan tes umumnya mendekati 100 persen.
Tes PCR ini juga kemungkinan membantu untuk mendeteksi HIV pada bayi sebelum antibodinya yang terinfeksi berkembang. Jika hasil tes pertama dinyatakan positif mengidap HIV, maka dokter akan menganjurkan agar terapi antiretroviral (ART) segera dimulai.
Terapi ART dilakukan untuk menurunkan jumlah virus dalam darah (viral load), baiknya sampai pada tingkat virus tidak lagi terdeteksi. Selain itu, bayi juga akan dilakukan pengambilan sampel darah untuk tes virologis selanjutnya, yakni tes uji kualitatif (mendeteksi adanya virus) dan kuantitatif (mendeteksi seberapa banyak virus).
Bagaimana cara kerja tes PCR?
Pemeriksaan HIV pada anak dengan tes PCR ini dilakukan dengan menggunakan enzim tertentu. Enzim ini berfungsi untuk memperbanyak virus HIV yang diduga ada di dalam sampel darah.
Kemudian reaksi kimia akan menandai ada atau tidaknya virus HIV. Penanda adanya virus ini bentuknya seperti pita (band) yang diukur dan digunakan untuk menghitung jumlah virus. Hasil pengujian RNA biasanya memakan waktu beberapa hari sampai seminggu.
Hasil viral load HIV pada anak Anda bisa dikatakan tidak terdeteksi jika jumlahnya berada di bawah 40 sampai 75 kopi dalam satu kali sampel darah Anda. Angka tepatnya akan tergantung pada laboratorium yang menganalisa tes Anda. Ketika hasil viral load tinggi, maka tandanya ada banyak virus HIV di dalam tubuh anak. Ini juga menandakan bahwa sistem kekebalan tubuh anak gagal membasmi HIV dengan baik.
[embed-health-tool-ovulation]