backup og meta

Bahaya Terlalu Banyak Mengonsumsi Garam Himalaya

Bahaya Terlalu Banyak Mengonsumsi Garam Himalaya

Himalayan salt atau garam Himalaya yang berwarna merah muda belakangan populer di kalangan masyarakat. Faktanya, kandungan garam Himalaya hampir serupa dengan garam dapur. Garam Himalaya memiliki banyak manfaat, tetapi juga mengandung bahaya. Sama seperti garam dapur biasa, jika dikonsumsi berlebihan. Simak ulasannya berikut ini.

Apa perbedaan garam Himalaya dan garam dapur?

Garam Himalaya adalah endapan garam batu pegunungan Himalaya yang dipanen dari tambang garam terbesar di dunia bernama Khewra Salt Mine di Pakistan. Garam tersebut pertama kali ditemukan pada 320 tahun sebelum masehi ketika seekor kuda menjilat garam. Belakangan, garam itu dimanfaatkan oleh pemerintah Mughal dan menjadi populer di dunia.

Warna merah muda garam Himalaya berasal dari sejumlah kecil kandungan oksida besi. Dikutip dari situs Harvard School of Public Health, garam Himalaya mirip dengan garam laut yang kurang diproses dan disuling. Itu sebabnya, kristal garam Himalaya tampak lebih besar. Selain itu garam merah muda ini juga mengandung sejumlah kecil mineral, termasuk zat besi, kalsium, kalium, dan magnesium.

Lebih detail, artikel yang dipublikasikan situs McGill University,  menyebut kandungan garam Himalaya terdiri dari 87% natrium klorida dan 13% mineral lainnya.

Sementara itu, garam dapur biasanya ditambang dari endapan garam bawah tanah. Garam ini lebih banyak diproses untuk menghilangkan mineral dan biasanya mengandung zat tambahan untuk mencegah penggumpalan. Kebanyakan garam ditambahkan yodium, nutrisi penting yang membantu menjaga kesehatan tiroid.

Garam dapur juga dikenal dengan sebutan natrium klorida (NaCl). Perasa makanan yang digunakan sebagai bahan pengikat ini terdiri dari 40% natrium dan 60% klorida. Garam juga berfungsi sebagai pengawet makanan, karena bakteri tidak dapat berkembang di dalam kandungan garam yang tinggi.

Apa saja bahaya mengonsumsi terlalu banyak garam Himalaya?

Situs Queensland Health menyatakan, garam jenis apa pun, termasuk Himalaya tetap memiliki bahaya. Jika Anda meningkatkan asupan garam dari jenis Himalaya demi mengais manfaat dari mineral yang terkandung di dalamnya, Anda justru menempatkan diri dalam bahaya.

Berikut adalah bahaya yang dapat mengintai Anda jika terlalu banyak mengonsumsi garam Himalaya:

1. Risiko penyakit

Terlalu banyak mengonsumsi garam, termasuk garam Himalaya, akan menimbulkan bahaya peningkatan jumlah natrium dalam sel dan mengganggu keseimbangan cairan. Peningkatan volume darah berarti membuat jantung bekerja dengan lebih keras.

Seiring berjalannya waktu, kerja dan tekanan ekstra dapat membuat pembuluh darah kaku, sehingga dapat menyebabkan penyakit seperti:

  • Tekanan darah tinggi
  • Serangan jantung
  • Stroke

Harvard School of Public Health menyebut terdapat banyak bukti yang melaporkan bahwa terlalu banyak mengonsumsi garam, termasuk garam Himalaya, bahaya untuk kesehatan jantung, pembuluh darah, dan ginjal. Garam juga mungkin buruk untuk kesehatan tulang.

2. Mengandung radioaktif yang buruk untuk tubuh

Garam Himalaya memang mengandung banyak mineral, tetapi jumlahnya hanya amat sedikit. Meski mengandung mineral yang bermanfaat bagi tubuh, mineral pada garam Himalaya juga bisa menjadi bahaya.

Sebagian dari mineral dalam garam Himalaya termasuk beracun dan radioaktif yang sebenarnya tidak berguna dan berpotensi membahayakan. Nutrisi tidak baik, seperti merkuri, arsenik, timbal, dan talium terkandung dalam garam Himalaya. Unsur radioaktif, seperti radium, uranium, polonium, hingga plutonium juga ada.

Seperti diketahui, radiasi dapat menyebabkan kanker, bahkan jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah sedikit. Namun, untuk kasus garam Himalaya ini, masih diperlukan penelitian lebih lanjut soal bahaya dari mineral dan radioaktf di dalamya.

3. Lebih mahal daripada garam dapur

Bahaya garam Himalaya selanjutnya mungkin tidak akan secara langsung memengaruhi kesehatan Anda. Namun, Anda bisa jadi mengeluarkan biaya tambahan untuk garam yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari garam dapur biasa.

Bagaimana panduan mengonsumsi garam untuk kesehatan?

Berikut rekomendasi Badan Kesehatan Dunia soal konsumsi garam:

  • Untuk orang dewasa: Konsumsi garam kurang dari 5 gram (satu sendok teh) per hari
  • Untuk anak-anak: Konsumsi garam untuk anak-anak disesuaikan dengan asupan garam maksimal orang deasa untuk anak-anak berusia 2-15 tahun, berdasarkan kebutuhan energi mereka.
  • Semua garam yang dikonsumsi, baik garam Himalaya atau yang lain, harus diberi kandungan yodium atau “diperkaya’ dengan yodium, yang penting untuk perkembangan otak yang sehat pada janin dan anak kecil, serta memaksimalkan fungsi mental orang pada umumnya.

Kandungan natrium yang terdapat pada garam Himalaya ataupun garam dapur dapat berakibat buruk untuk kesehatan Anda, salah satunya peningkatan tekanan darah.

Beberapa tips mengurangi konsumsi garam, termasuk garam Himalaya, yang dapat Anda lakukan, antara lain:

  • Hindari makanan olahan. Apa pun yang instan dan berlabel “cepat dan mudah’ dapat berisi natrium.
  • Makanlah lebih banyak buah dan sayuran. Saat membeli buah atau sayuran beku, pilihlah yang tanpa tambahan garam atau saus tambahan.
  • Jika Anda makan di restoran, mintalah garam terpisah. Sebaiknya Anda tidak menambahkan garam pada makanan yang telah dibumbui.
  • Selalu baca label. Perhatikan kemasan makanan olahan, seperti daging burger atau hot dog, karena makanan tersebut dikemas dengan natrium.
  • Beli makanan ringan bebas garam. Sebaiknya konsumsi camilan yang tidak mengandung garam.
  • Tambahkan rempah-rempah pada makanan, daripada garam. Hal ini untuk menghindari dampak buruk yang ada pada kandungan garam, baik garam Himalaya atau garam yang lain. Rempah-rempat tidak akan meningkatkan tekanan darah dan memiliki banyak manfaat anti-peradangan.
  • Cari pengganti garam lainnya untuk memberi rasa pada masakan Anda. Pengganti garam tertentu lebih banyak mengandung kalium daripada natrium.
  • Pengganti garam tertentu mungkin tidak baik untuk penderita penyakit ginjal. Karena itu, selalu diskusikan dengan dokter tentang pengganti garam yang tepat untuk Anda.

[embed-health-tool-bmi]

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Sea salt vs. table salt: What’s the difference?. (2020). Retrieved 13 May 2020, from https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/nutrition-and-healthy-eating/expert-answers/sea-salt/faq-20058512

Salt reduction. (2020). Retrieved 13 May 2020, from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/salt-reduction

Salt and Sodium. (2013). Retrieved 13 May 2020, from https://www.hsph.harvard.edu/nutritionsource/salt-and-sodium/

Sea Salt vs. Table Salt. (2020). Retrieved 13 May 2020, from https://www.heart.org/en/healthy-living/healthy-eating/eat-smart/sodium/sea-salt-vs-table-salt

Is Himalayan Pink Salt Better For You?. (2020). Retrieved 13 May 2020, from https://www.mcgill.ca/oss/article/health-and-nutrition-quackery-you-asked/himalayan-pink-salt

Shaking the Salt Habit to Lower High Blood Pressure. (2020). Retrieved 13 May 2020, from https://www.heart.org/en/health-topics/high-blood-pressure/changes-you-can-make-to-manage-high-blood-pressure/shaking-the-salt-habit-to-lower-high-blood-pressure

Do Sea Salt, Kosher Salt and Pink Salt Beat Table Salt?. (2016). Retrieved 13 May 2020, from https://health.clevelandclinic.org/do-sea-salt-kosher-salt-and-pink-salt-beat-table-salt/

Shaking Out the Facts About Salt – American Chemical Society. (2020). Retrieved 13 May 2020, from https://www.acs.org/content/acs/en/education/resources/highschool/chemmatters/past-issues/2015-2016/february-2016/salt-facts.html

Versi Terbaru

07/09/2023

Ditulis oleh Fajarina Nurin

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

Diperbarui oleh: Atifa Adlina


Artikel Terkait

8 Manfaat Semangka Kuning yang Sayang Dilewatkan

Mengenal Gula Alkohol, Apakah Lebih Sehat dari Gula Biasa?


Ditinjau secara medis oleh

dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Fajarina Nurin · Tanggal diperbarui 07/09/2023

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan