backup og meta

Orang yang Suka Baca Buku Hidup Lebih Bahagia

Orang yang Suka Baca Buku Hidup Lebih Bahagia

90 persen orang Indonesia tidak suka baca buku. Mengejutkan?

Membaca buku memang belum menjadi gaya hidup yang ditekuni oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada saat yang bersamaan, televisi lebih mudah diterima dan dijangkau oleh semua kalangan, merebut perhatian setiap orang, tanpa kontrol dan filter. Buku pun semakin terlihat tidak menarik dan tergeser dengan semarak hiburan layar kaca.

Padahal, bukan berita baru lagi bahwa membaca memiliki banyak manfaat. Yang mungkin Anda tidak ketahui, peran buku ternyata jauh lebih dalam dari sekadar memperkaya informasi dan pengetahuan baru.

Sains membuktikan, membaca meningkatkan aktivitas otak dan kemampuan analisis yang mencerminkan bagaimana seseorang berperilaku dan mengelola emosinya

Perbedaan aktivitas otak pada orang yang hobi membaca

Studi tahun 2013 di Emory University membandingkan hasil scan otak antara orang yang hobi membaca dan yang tidak, setelah sebelumnya meminta masing-masing partisipan untuk membaca buku literatur klasik. Terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua gambar tersebut. Partisipan yang hobi membaca menunjukkan aktivitas otak yang lebih giat di sejumlah area tertentu dalam otak mereka.

Secara khusus, peneliti menemukan hubungan yang meningkat di korteks temporal kiri, bagian dari otak yang biasanya terkait dengan pemahaman bahasa. Para peneliti juga menemukan konektivitas meningkat pada sulkus sentral dari otak, daerah sensorik primer yang membantu otak memvisualisasikan gerakan. Bayangkan Anda sedang menyelam di laut biru lepas, ditemani dengan ikan berwarna-warni dan dialasi oleh hamparan terumbu karang indah yang berdiri kokoh. Sensasi yang Anda rasakan (dan pikirkan) seperti Anda sedang benar-benar menyelam, bukan? Proses yang sama juga terjadi ketika Anda membayangkan diri Anda sebagai karakter dalam sebuah buku: Anda dapat berempati dengan emosi yang mereka rasakan.

Hal ini dibuktikan lebih mendalam pada sebuah studi oleh Matthijs Bal dan Martijn Verltkamp, masih di tahun yang sama. Keduanya menyelidiki transportasi emosional, yang bisa menunjukkan bagaimana seseorang bisa menjadi sangat sensitif terhadap perasaan orang lain. Bal dan Verltkamp menilai emosi yang terbawa dengan meminta para partisipan berbagi cerita yang dibaca bisa sampai sejauh mana mempengaruhi mereka secara emosional pada skala lima poin. Misalnya, bagaimana perasaan mereka ketika karakter utama mencapai suatu keberhasilan, dan bagaimana mereka merasa kasihan atau sedih untuk karakter.

Dalam studi tersebut, empati hanya tampak dalam kelompok orang yang membaca fiksi dan yang terbawa oleh alur cerita secara emosional. Sementara itu, kelompok partisipan yang tidak suka membaca menunjukkan penurunan empati.

Literatur klasik dan Harry Potter

Khususnya pada pembaca literatur klasik, otak mereka menunjukkan tingkat empati yang lebih tinggi saat dibandingkan dengan pembaca literatur modern.

Sastra klasik mengharuskan pembaca untuk membedah lebih dalam setiap karakternya, karena penulis klasik meramu tokoh dengan faktor-faktor penentu yang lebih kompleks, manusiawi, ambigu, dan lebih sulit untuk dipahami. Proses pemahaman karakter-karakter, emosi yang dibawa, dan motif yang melatarbelakangi setiap aksi mereka adalah sama dalam hubungan manusia dengan satu sama lain di dunia nyata.

Prinsip bawaan emosional yang ditemukan oleh Bal dan Verltkamp juga lebih lanjut diteliti dalam studi yang diketuai oleh Loris Vezalli tahun 2014. Ia bersama sejumlah peneliti lain menemukan bahwa penggemar buku seri Harry Potter cenderung menjadi orang yang lebih bijak dan toleran dalam kehidupan, menurut sebuah studi yang dimuat dalam The Journal of Applied Social Psychology (2014).

Setelah melakukan tiga penelitian berbeda dalam kelompok partisipan yang berbeda pula, peneliti dapat menyimpulkan bahwa buku-buku karya J.K Rowling ini berhasil mempertajam kemampuan pembacanya untuk memiliki perspektif yang lebih luas terhadap kasus-kasus imigran dan grup yang termajinalisasi, termasuk pemahaman dan empati yang lebih mendalam terhadap kelompok LGBT dan aksi-aksi kebencian (bigot) di dunia nyata yang dimuat di media mainstream.

Singkatnya, pembaca literatur fiksi adalah orang-orang terbaik untuk dijadikan teman, karena mereka cenderung lebih sensitif dan bisa terlibat dengan emosi orang lain.

Orang yang tidak suka baca berisiko memiliki penyakit otak

Ini adalah salah satu manfaat buku yang seringnya terlewati oleh mereka yang ogah baca buku.

Membaca bisa memberikan ketenangan dan menurunkan tekanan darah; menyajikan sebuah dunia imajiner alternatif sebagai pelarian sementara dari masalah dunia nyata. Oleh sebab itu, baca buku bisa mencegah seseorang mengalami stress dan depresi.

Selain itu, membaca sama saja dengan melatih kemampuan konsentrasi dan fokus seseorang sehingga bisa mempermudah mereka melakukan multitasking dan menajamkan kekuatan otak dalam kemampuan mengingat dan menganalisis. Maka dari itu, orang yang rajin membaca diketahui memiliki risiko yang jauh lebih rendah terhadap macam-macam penyakit otak, seperti dementia dan Alzheimer.

BACA JUGA:

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Science Shows Something Surprising About People Who Still Read Fiction http://mic.com/articles/104702/science-shows-something-surprising-about-people-who-love-reading-fiction#.kxLJ0OXLC

Psychologists Find a Surprising Thing Happens to Kids Who Read Harry Potter http://mic.com/articles/95236/psychologists-find-a-surprising-thing-happens-to-kids-who-read-harry-potter#.hdIbPIfCO

90 persen orang Indonesia tidak suka baca buku.  http://www.antaranews.com/berita/526116/90-persen-orang-indonesia-tak-suka-baca-buku

Versi Terbaru

31/01/2020

Ditulis oleh Ajeng Quamila

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Diperbarui oleh: dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.


Artikel Terkait

Disorientasi

9 Cara Menghilangkan Homesick Saat Tak Bisa Pulang


Ditinjau secara medis oleh

dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes.

Magister Kesehatan · None


Ditulis oleh Ajeng Quamila · Tanggal diperbarui 31/01/2020

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan