Setelah Bolak-balik Rumah Sakit Jiwa, Saya Bisa Hadapi Skizofrenia
Penyakit mental tidak hanya depresi, kondisi mental kronis lainnya adalah skizofrenia dan saya adalah satu pengidapnya. Kurang lebih 15 tahun sudah saya bergelut dengan penyakit skizofrenia. Kini, saya bisa berdamai dengan kondisi tersebut dan dapat menjalani kehidupan bersama orang-orang yang saya cintai dengan baik. Berikut adalah pengalaman skizofrenia saya.
Dokter mendiagnosis saya mengidap skizofrenia
Perkenalkan nama saya Prahesworo Anantia Hadinoto, kerap dipanggil Jerrie. Sekarang ini saya disibukkan dengan berbagai aktivitas, seperti membantu usaha tanaman milik Ibu saya, menjual aksesoris, dan aktif di kepengurusan divisi internal KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) di Yogyakarta.
Jika dilihat dari aktivitas yang disebutkan, mungkin banyak yang mengira kalau saya adalah orang yang sehat. Namun pada kenyataannya, saya adalah pengidap skizofrenia dikenal juga dengan sebutan ODS (orang dengan skizofrenia).
Gejala awal dari penyakit ini mulai saya rasakan ketika masih menjadi mahasiswa Teknologi Industri Pertanian di Universitas Gadjah Mada tahun 1999. Pada saat itu, kondisi kesehatan saya menurun karena mengalami depresi sehingga saya memutuskan untuk cuti kuliah.
Setelah merasa lebih baik, saya pun kembali berkuliah. Sayangnya, lagi-lagi kondisi saya kembali memburuk. Timbul fase manik yang membuat suasana hati saya berubah tidak wajar. Kemudian, saya juga mengalami halusinasi, yakni mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak ada.
Kondisi ini terus memburuk dengan adanya delusi yang membuat saya kesulitan untuk membedakan antara khayalan dan kenyataan. Kemunculan gejala tersebut memperkuat diagnosis dokter bahwa saya mengidap skizofrenia.
Jujur saja, saat didiagnosis dokter dengan penyakit ini, saya tidak tahu apa-apa.
Berulang kali menjalani rawat inap di RSJ
Di tahun 2000, penyakit skizofrenia yang saya idap terus membuat saya overthinkingdan susah tidur. Saya menjadi agresif dan sempat berkelahi dengan orang lain, bahkan dipukuli masyarakat desa.
Pernah suatu waktu, saat delusi (waham) saya kumat, saya merasa bahwa saya adalah seorang walikota. Di waktu lain, saya juga merasa bahwa saya merupakan jajaran orang berpangkat sekelas jenderal. Kondisi ini kemudian kerap membuat saya jadi bahan cemoohan teman-teman sekitar.
Meskipun mereka tidak menyebut saya gila secara blak-blakan, tapi saya tahu betul gestur tubuh yang mereka tunjukkan. Jari telunjuk yang dimiringkan dan diletakkan di depan dahi. Ya, mereka menyebut saya gila dengan cara ini.
Melihat kondisi tersebut, orangtua saya prihatin. Akhirnya mereka memutuskan untuk membawa saya ke Rumah Sakit Jiwa Swasta Puri Nirmala di Yogyakarta. Pada perawatan pertama di rumah sakit ini, saya tidak bisa menerima kenyataan. Hati dan otak saya tetap bersikeras berkata bahwa, “Saya normal, saya baik-baik saja, kenapa saya dibawa ke rumah sakit jiwa?”
Walaupun hati dan pikiran saya menolak kenyataan tersebut, saya manut dalam mengikuti pengobatan yang dokter rekomendasikan selama masa perawatan.
Pengobatan yang menurut saya cukup ampuh efeknya saat itu adalah terapi electroconvulsive (ECT), yakni pemberian sejumlah kecil arus listrik ke otak. Terapi ini menghilangkan memori jangka pendek sehingga membantu mengatasi kekacauan di otak dan membuat saya jadi lebih tenang.
Sekarang ini, terapi ECT sudah jarang dilakukan karena prosedurnya yang cukup ruwet, seperti butuh anestesi dan pengawasan spesialis. Di lain sisi, pengobatan ini bisa digantikan dengan obat minum dan obat injeksi yang lebih praktis.
Selang lima tahun berikutnya, tepatnya di tahun 2005, saya kembali diopname di rumah sakit jiwa. Setelah sekian lama menolak kenyataan, barulah di pengobatan ini saya menerima bahwa saya memang sakit dan butuh pertolongan medis.
Terakhir, di tahun 2016, saya kembali masuk rumah sakit jiwa. Namun kali ini bukan karena kemauan orangtua atau dokter, tapi atas keinginan saya sendiri.
“Bu, saya kayaknya udah nggak nyaman lagi. Saya merasa overthinking, saya juga nggak bisa tidur”, ujar saya pada Ibu. Mendengar keinginan saya, Ibu saya pun mengiyakan.
Keputusan yang saya ambil saat itu, bukan cuma menimbang kondisi pikiran saya yang kacau. Akan tetapi, juga sebagai cara tepat untuk meminimalisasi interaksi dengan orang lain yang mungkin bisa membebani pikiran saya.
Walaupun waktu itu stigma yang berkembang mengenai rumah sakit jiwa masih negatif, karena selalu dikaitkan dengan “orang gila” tapi saya tahu bahwa saya membutuhkan pengobatan. Jadi, saya mantap menjalani dua minggu pengobatan di rumah sakit jiwa untuk memulihkan kesehatan saya.
Saya beruntung memiliki keluarga yang sangat mendukung
Selama bergulat kurang lebih 15 tahun dengan penyaki skizofrenia, ada beberapa penyesalan yang saya rasakan.
Penyakit ini membuat saya sulit untuk beraktivitas dengan normal di usia-usia produktif. Saya dua kali gagal menyelesaikan pendidikan, pertama di UGM dan kedua di Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA. Saya juga tidak mampu bekerja dengan baik serta selalu gagal menjalin asmara dengan orang yang saya sayangi.
Namun dibalik kekecewaan tersebut, saya mendapatkan banyak kasih sayang, pengertian, dan dukungan dari orangtua, teman, dan orang-orang di sekitar. Keberadaan orangtua dan keluarga sangatlah berarti bagi saya, karena mereka yang mengarahkan saya untuk mendapatkan pengobatan di tangan yang tepat.
Apalagi, sekarang saya juga menjadi bagian dari KPSI. Bagi saya, KPSI seperti rumah kedua, yang membantu saya untuk menerima diri saya jauh lebih baik lagi. Saya juga senang dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dengan kesehatan mental dan orang yang memang sama kondisinya seperti saya.
Dalam organisasi ini juga lahir sebuah buku yang berjudul “Supaya Kamu Mau Kenalan Denganku” , yang digagas, diedit, dan didistribusikan oleh saya dan beberapa teman KPSI.
Saya merasa bangga dengan prestasi ini, karena bisa bertahan menghadapi berbagai tekanan dari mulai menggagas ide hingga bisa menjadi buku yang utuh. Apalagi juga bisa memberikan edukasi bagi orang yang membacanya, saya merasa bangga.
Sekarang ini, saya masih menjalani perawatan di rumah. Dokter masih meresepkan psikofarmaka dosis rendah sebagai perawatan untuk menekan gejala, meskipun obat-obatan yang saya minum kerap kali membuat tubuh lemas, kaku, dan mengantuk.
Sebenarnya, saya sempat menghentikan pengobatan selama 2-3 bulan, tapi sayang gejalanya kembali kambuh sehingga saya membulatkan tekad untuk terus meminum obat agar kondisi saya terkontrol.
Di samping meminum obat, saya juga menjalani psikoterapi, terapi konseling dengan psikolog, sosialisasi, terapi kerja, dan menerapkan praktik mindfullness, dalam meditasi. Sebagai pengganti terapi ECT, dokter meminta saya untuk bangun pagi, mandi pagi, beribadah, olahraga sampai berkeringat, dan melanjutkan aktivitas.
Semua kegiatan tersebut saya lakukan secara rutin untuk membantu saya jadi lebih produktif.
Berkat pengobatan yang saya jalani dengan tekun, kondisi saya semakin membaik. Bulan Desember 2021 lalu, saya pun membuat keputusan besar dalam hidup, yakni menikah dengan wanita yang saya cintai.
Wanita yang kini menjadi istri saya ini merupakan seorang pengidap gangguan bipolar. Meski kami dihadapkan dengan tantangan besar, saya dan istri yakin bisa menghadapinya karena kami saling mengerti dengan kondisi yang diidap.
Pesan saya untuk pasien skizofrenia lainnya
Skizofrenia memberikan dampak negatif di berbagai aspek kehidupan, seperti yang saya dan ODS lainnya rasakan.
Sebagai pejuang skizofrenia, saya banyak menemui pasien yang tidak menerima kenyataan bahwa dirinya itu sakit. Hal inilah yang akhirnya menjadi penghalang pasien untuk segera mendapatkan pengobatan. Memang menerima kondisi ini membutuhkan waktu, tapi jangan sampai membuat pasien menunda-nunda perawatan.
Saya juga berharap kisah saya yang bisa berdamai dengan skizofrenia, bisa memberikan pandangan baru bagi masyarakat mengenai penyakit ini.
Di samping itu, saya juga mengharapkan masyarakat mendapatkan edukasi mengenai penyakit mental terkait penyakit ini lebih banyak, sehingga jika ada keluarga, teman, atau tetangga di sekitar yang mengidap skizofrenia tidak lagi menutupi atau mengucilkan, tapi membantu dan merangkul mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Catatan
Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.
Versi Terbaru
26/09/2022
Ditulis oleh Aprinda Puji
Ditinjau secara medis olehdr. Nurul Fajriah Afiatunnisa