Baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.
Awal September lalu, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 meminta untuk melakukan redistribusi pasien karena kapasitas rumah sakit rujukan sudah hampir penuh. Juru bicara satgas mengatakan, 7 dari 67 rumah sakit rujukan telah penuh 100 persen, baik itu kamar rawat maupun ruang ICU.
Provinsi Bali menjadi wilayah dengan persentase keterpakaian tempat tidur dan ruang isolasi tertinggi, disusul kemudian DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah. Sedangkan, persentase keterpakaian ICU tertinggi berada di provinsi DKI Jakarta, lalu Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Kalimantan Selatan.
Kebanyakan rumah sakit di Jakarta yang menjadi rujukan kasus COVID-19 kini kondisinya sudah diambang batas penuh. Penuhnya kapasitas rumah sakit dan sulitnya mencari rujukan bagi pasien COVID-19 mendapat ruang ICU dikeluhkan banyak tenaga kesehatan.
Apa yang terjadi jika seluruh rumah sakit dan ruang ICU rujukan COVID-19 terpakai 100 persen?
Apa yang terjadi kalau ruang perawatan dan ruang ICU untuk pasien COVID-19 penuh?
Dalam kondisi normal, ICU biasanya berjalan pada kapasitas sekitar hingga 70%. Hal ini agar menyisakan ruang agar unit dapat mempertahankan sumber daya yang cukup dan memungkinkan ruang jika ada pasien tambahan.
Rumah sakit dapat meningkatkan kapasitas ICU mereka untuk mengakomodasi lonjakan, seperti yang disebabkan oleh COVID-19. Tapi masalah lain ada pada ketersediaan sumber daya dan tenaga yang kurang mencukupi dan mulai kelelahan.
“Jika jumlah kasus COVID-19 terus meningkat, kemampuan rumah sakit yang hampir penuh atau yang sudah penuh akan semakin menipis. Kondisi ini dapat menghambat layanan perawatan yang diberikan ke semua pasien,” kata dr. Alan Jones, dokter yang menangani pasien COVID-19 di University of Mississippi Medical Center, saat ruang ICU mereka penuh sejak beberapa bulan lalu.
“Orang-orang mengantri di luar dan mereka tidak bisa masuk, rumah sakit bahkan menyediakan perawatan di tempat parkir. Itu situasi yang sangat menakutkan untuk dilihat,” kata Jones memberikan contoh kondisi yang dihadapi beberapa rumah sakit di Kota New York.
Di Indonesia, kasus positif COVID-19 terus meningkat dengan rata-rata penambahan 4000 kasus per hari. Hari ini, Selasa (6/10), total sudah mencapai 307.102 kasus. Jakarta masih menjadi provinsi dengan laju penambahan infeksi tertinggi, 1000-an kasus per hari.
Untuk menangani kenaikan kasus yang masih terus berlangsung, menambah kapasitas ICU rumah sakit atau ruang rawat tidak bisa dilakukan begitu saja. Sebab, tak hanya butuh ruangan, tapi hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah tenaga kesehatan.
Dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan, Erlina Burhan, mengatakan keterisian ruang ICU kini terpaksa meningkat dari 70 persen menjadi 92 persen. Menurutnya, angka keterisian di atas 90 persen membuat tenaga kesehatan kerepotan dan kelelahan.
“Kita masih siap untuk menangani pasien, hanya saja kita membutuhkan tenaga khusus yang terampil untuk ICU,” ucap Alsen Arlan, direktur pelayanan MKP RSUP Persahabatan, (1/9).
[covid_19]
Menekan angka penularan
Menekan angka penularan COVID-19 menjadi solusi lain yang harus dilakukan untuk menjaga kemampuan layanan rumah sakit. Beberapa negara, seperti Taiwan, telah berhasil memerangi virus melalui tracing (pelacakan) dan testing (pengetesan) yang agresif.
Korea Selatan, meskipun awalnya terjadi penularan masif dari kasus superspreader, kini mereka telah berhasil mengurangi penyebaran dan minimnya kematian.
Sebuah studi di Italia menunjukkan apa yang dipertaruhkan kita bersama jika kita gagal menekan laju penularan. “Pertambahan angka kasus dapat mengubah keadaan darurat kesehatan menjadi krisis,” tulis studi tersebut.
Ahli epidemiologi Indonesia dr. Panji Hadisoemarto mengatakan robohnya sistem kesehatan Indonesia dalam menangani pandemi COVID-19 bukan hanya dilihat dari jumlah rumah sakit dan ruang ICU yang penuh. Tetapi kapasitas pelacakan dan pengetesan yang dilakukan untuk menemukan kasus-kasus baru secepat mungkin sebelum lebih banyak menularkan.
[mc4wp_form id=”301235″]