Pernahkah Anda mendengar mengenai retensi atau retensio plasenta? Pengertian retensio plasenta adalah kondisi saat plasenta tidak lepas dengan sendirinya dari rahim atau ada hal-hal yang menyebabkan plasenta sulit keluar dari tubuh.
Padahal, plasenta atau ari-ari seharusnya keluar sendiri dari tubuh ibu setelah melahirkan. Jadi, rahim masih berkontraksi meski persalinan telah selesai guna mengeluarkan plasenta.
Lantas, apa penyebab dan bagaimana penanganan retensio plasenta (placenta)? Untuk mengetahuinya lebih lanjut, simak ulasan berikut ini.
Apa itu retensio plasenta?
Normalnya, secara alami tubuh ibu akan mendorong plasenta keluar setelah bayi lahir.
Rahim ibu akan berkontraksi sehingga membuat membran plasenta yang menempel pada rahim terlepas dan akhirnya keluar.
Ini masuk ke dalam fase atau kala kehamilan ketiga dalam proses melahirkan normal.
Melahirkan normal biasanya punya beragam posisi persalinan yang bisa disesuaikan dengan keinginan ibu.
Namun, jika seluruh atau sebagian plasenta masih berada di dalam rahim setelah Anda melahirkan, ini disebut dengan retensi plasenta.
Pengertian retensi atau retensio plasenta adalah kondisi saat plasenta masih berada pada rahim dalam waktu 30 menit pasca persalinan.
Ibu juga dikatakan mengalami retensi plasenta bila plasenta tak kunjung keluar selama lebih dari 30 menit dengan cara yang dirangsang atau jika lebih dari satu jam dengan cara alami.
Retensio plasenta (placenta) adalah kondisi yang berisiko menyebabkan komplikasi seperti infeksi dan perdarahan berat.
Bahkan, komplikasi persalinan yang satu ini juga dapat berakibat fatal dan mengancam nyawa ibu bila tidak ditangani dengan baik.
Apa penyebab retensio plasenta?
Melansir dari laman American Pregnancy Association, retensio plasenta adalah komplikasi melahirkan yang terbagi menjadi beberapa jenis.
Pembagian masing-masing jenis retensio plasenta ini yang kemudian menjadi penyebab plasenta tidak mau keluar dari rahim.
Secara spesifik, penyebab dan jenis retensio plasenta adalah sebagai berikut.
1. Plasenta adheren (placenta adherens)
Plasenta adheren adalah penyebab paling umum dari retensio plasenta.
Plasenta adheren terjadi ketika rahim gagal untuk menghasilkan cukup kontraksi untuk mengeluarkan plasenta sepenuhnya.
Meskipun rahim sudah berkontraksi, seluruh atau sebagian plasenta tetap saja masih melekat pada dinding rahim.
Hal ini mengakibatkan plasenta tetap melekat di dinding rahim.
2. Plasenta yang terjebak (trapped placenta)
Sesuai namanya, plasenta yang terjebak adalah jenis retensi plasenta ketika plasenta berhasil lepas tetapi tidak bisa keluar dari dalam tubuh ibu.
Biasanya, plasenta terjebak terjadi saat leher rahim (serviks) mulai menutup setelah melahirkan bayi padahal plasenta belum keluar.
Plasenta yang terjebak ini kemudian tertinggal di dalam rahim.
3. Plasenta akreta (placenta accreta)
Plasenta akreta terjadi ketika plasenta menempel terlalu dalam pada lapisan otot dinding rahim, bukan pada dinding rahim.
Hal ini dapat membuat proses persalinan menjadi lebih susah hingga kerap menyebabkan perdarahan hebat.
Selanjutnya, proses pengeluaran plasenta usai melahirkan pun juga jauh lebih sulit.
Apa saja gejala retensio plasenta?
Menurut Pregnancy Birth and Baby, tanda atau gejala utama dari retensio plasenta adalah ketika plasenta gagal dikeluarkan sepenuhnya dari rahin sejak satu jam setelah kelahiran.
Bukan hanya itu, retensi plasenta kadang mungkin baru Anda sadari setelah beberapa jam selesai melahirkan.
Secara tidak sadar, terdapat sebagian kecil membran plasenta yang masih tersisa di dalam rahim ibu.
Sebagian kecil membran plasenta ini akan keluar dengan sendirinya dari tubuh Anda melalui vagina.
Ibu mungkin akan merasakan kram perut sebelum gumpalan darah ini keluar.
Jika sisa membran plasenta ini tak kunjung keluar setelah beberapa hari, berikut adalah berbagai gejala retensio plasenta yang mungkin juga ibu alami.
- Mengalami demam.
- Perdarahan berat.
- Kram atau nyeri perut yang tidak kunjung berhenti.
- Keputihan berbau tidak sedap.
- Keluar potongan jaringan berukuran cukup besar melalui vagina yang berasal dari plasenta.
Jika tanda-tanda ini terjadi pada Anda setelah melahirkan, sebaiknya segera kunjungi bidan atau dokter.
Bidan atau dokter akan mencari tahu penyebab dan penanganan lebih lanjut apakah ada kaitannya dengan retensi plasenta.
Siapa saja yang berisiko mengalami retensio plasenta?
Sebenarnya, ibu melahirkan mana pun bisa mengalami retensi plasenta.
Berikut adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko mengalami retensio plasenta (placenta).
- Usia kehamilan kurang dari 27 minggu atau sudah lebih dari 42 minggu.
- Jumlah anak terlalu banyak.
- Ibu mengalami malnutrisi.
Pengeluaran plasenta segera setelah melahirkan adalah langkah yang penting guna mencegah terjadinya retensio plasenta.
Selain dapat menghentikan perdarahan yang terjadi saat melahirkan, pengeluaran plasenta segera usai melahirkan juga dapat membuat rahim menutup dengan benar.
Jika plasenta tidak segera keluar dari rahim, pembuluh darah di mana plasenta masih menempel masih akan terus mengeluarkan darah.
Hal inilah yang kemudian bisa menyebabkan perdarahan, bahkan berisiko mengakibatkan perdarahan postpartum atau setelah melahirkan.
Bila ibu memiliki satu atau lebih faktor risiko di atas, pertimbangkan agar ibu hamil melahirkan di rumah sakit ketimbang melahirkan di rumah.
Tak lupa, pastikan ibu telah mengurus dan merapikan semua persiapan persalinan maupun perlengkapan melahirkan sejah jauh-jauh hari.
Jadi, saat nantinya tanda-tanda melahirkan muncul, ibu bisa segera pergi ke rumah sakit didampingi suami maupun doula.
Tanda-tanda persalinan meliputi kontraksi persalinan, air ketuban pecah, pembukaan lahiran, dan lainnya.
Namun, bedakan kontraksi persalinan asli dengan kontraksi palsu.
Bagaimana penanganan retensio plasenta?
Perlu diketahui bahwa pengeluaran plasenta yang memakan waktu lebih lama dari 30 menit dapat meningkatkan risiko perdarahan berat dan bisa jadi menyebabkan kematian ibu.
Penanganan retensio plasenta diperlukan bila proses pengeluaran plasenta memakan waktu lama atau masih ada sebagian plasenta yang terjebak di dalam tubuh ibu.
Berbagai metode yang biasanya dipakai sebagai penanganan retensio plasenta adalah sebagai berikut.
- Dokter mungkin berusaha mengeluarkan plasenta secara manual, tetapi hal ini berisiko mengakibatkan infeksi.
- Pemberian obat-obatan untuk mengendurkan rahim agar mampu berkontraksi guna membantu proses pengeluaran plasenta.
- Menyusui bisa dipertimbangkan sebagai penanganan retensio plasenta karena dapat membuat rahim berkontraksi sehingga bisa membantu mengeluarkan plasenta.
Jika penanganan dalam mengeluarkan plasenta dilakukan secara alami, prosesnya mungkin memakan waktu yang lebih lama sehingga berisiko membuat ibu mengalami perdarahan berat.
Itu sebabnya, dokter biasanya memberikan suntikan guna merangsang kontraksi rahim agar mendorong proses keluarnya plasenta.
Setelah disuntik, dokter akan menunggu sampai plasenta keluar sepenuhnya tanpa tersisa di dalam rahim.
Jika plasenta masih tertahan, mungkin dokter akan memberikan suntikan lainnya sesuai kondisi ibu.
Tindakan selanjutnya yakni dokter akan melihat apakah plasenta sudah terlepas seluruhnya atau hanya sebagian saja dari dinding rahim.
Jika hanya sebagian saja, dokter dapat menarik plasenta keluar secara perlahan.
Terkadang, bidan atau dokter perlu menggunakan tangan atau alat khusus untuk membersihkan sisa plasenta dari rahim ibu.
Kondisi ini mengharuskan ibu untuk menerima anestesi agar bagian tertentu di tubuh mengalami mati rasa.
Hanya saja, mengeluarkan plasenta dengan tangan dapat meningkatkan risiko ibu terkena infeksi.
Penanganan retensio plasenta dengan metode operasi
Penanganan untuk komplikasi retensi plasenta sebenarnya dapat dilakukan alami dengan cara rutin buang air kecil.
Ini karena kandung kemih yang penuh bisa menghalangi proses pengeluaran plasenta dari dalam rahim.
Namun, bila tidak kunjung berhasil, penanganan retensio plasenta perlu diambil dengan prosedur operasi.
Prosedur operasi dilakukan setelah ibu selesai melahirkan dengan pemberian epidural atau anestesi sehingga tidak merasakan apa pun.
Selanjutnya, dokter menggunakan alat bernama kuret untuk mengikis lapisan rahim dan membersihkan plasenta.
Dokter dan tim medis akan selalu mengawasi guna memastikan Anda tidak mengalami perdarahan hebat pascamelahirkan.
Apa kemungkinan komplikasi dari retensio plasenta?
Retensio plasenta adalah satu dari beberapa masalah melahirkan yang dapat menimbulkan komplikasi bagi ibu.
Komplikasi ini bisa berupa perdarahan hebat yang disebut sebagai perdarahan postpartum primer (PPH).
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Anda bisa menempuh jalan operasi sebagai penanganan retensio plasenta.
Hanya saja, prosedur operasi melibatkan pemberian obat anestesi sehingga berisiko mengalir bersama ASI.
Bicarakan dengan dokter untuk memastikan keamanan proses menyusui nantinya setelah ibu selesai menjalani operasi pengeluaran plasenta.
[embed-health-tool-due-date]