Pada cabang olahraga tertentu, menjadi atlet memang harus dimulai sejak anak-anak, sejak balita hingga usia sekolah dasar. Di usia itu, anak sedang dalam masa keemasannya untuk berlatih dan mengembangkan kemampuan fisiknya.
Tapi memulai jadi atlet dari usia belia bukan berarti pilihan cabang olahraga harus berdasar keinginan orang tua semata tanpa mempertimbangan keinginan anak. Menjadi atlet di bidang olahraga tertentu bisa saja merupakan pilihan anak sejak muda belia.
Bagaimana pilihan menjadi atlet di mata atlet cilik?
1. Rachel dan olahraga bulutangkis
Rachel Allessya Rose adalah salah satu atlet muda bulu tangkis yang saat ini berusia 15 tahun. Rachel pertama kali dikenalkan bulu tangkis oleh ayahnya. Sejak usia balita, ayah Rachel sering membawanya ke tempat bermain bulu tangkis.
Saat duduk di bangku kelas dua SD, Rachel mencoba bermain bulu tangkis dalam pertandingan resmi untuk pertama kalinya. Dalam turnamen bulu tangkis tingkat provinsi DKI Jakarta itu ia berhasil mendapatkan juara pertama.
Ayahnya pun bertanya, “Mengapa tidak diseriusi saja (menjadi atlet bulu tangkis). Rachel akhirnya memilih untuk lanjut menekuni olahraga bulu tangkis dengan lebih serius.
Ia mendapatkan jadwal latihan lebih banyak dan lebih rutin daripada sebelumnya. Akhirnya di usia 9 tahun, ayahnya mendaftarkan Rachel ke klub Exist Jakarta.
Sejak menyeriusi bulu tangkis, kegiatan lain menjadi nomor dua. Rachel latihan setiap hari, pagi dan sore, rasa capek dan linu-linu sudah menjadi makanan sehari-hari. Ia sadar menjadi atlet itu harus melewati batas-batas kemampuan diri.
Tidak jarang orang tuanya meminta Rachel untuk terus berlatih, main semakin hebat, dan menang dalam pertandingan. Tapi ia tidak pernah merasa ucapan orang tuanya itu sebagai beban dan tekanan.
“Pernah orang tau sampai keras berkata, ‘Ayo, kamu harus menang’. Tapi aku tahu sih itu cuma dorongan saja. Aku nggak pikir itu sebagai tekanan, tapi justru kaya tantangan. Karena aku suka sesuatu yang menantang dan itu seru menjalaninya,” kata Rachel kepada Hello Sehat di Pelatnas Cipayung.
Pada tahap ini Rachel kecil memiliki ambisi yang sama dengan ambisi Rachel orang tua. Keduanya seimbang dan berdampak bagus bagi bagi anak dalam menjadi atlet dan menjalani olahraga sebagai pilihannya.
Sekarang Rachel masuk dalam binaan pelatihan atlet nasional bulu tangkis Indonesia di pelatnas Cipayung.
“Harapannya bisa terus naik level dan dalam waktu dekat ini target ikut kejuaraan dunia bulu tangkis junior yang digelar tahun depan,” kata Rachel.
2. Agung dan olahraga gulat
Agung kecil tidak pernah menonton pertandingan gulat, baik itu secara langsung atau melalui televisi. Hingga saat usia 9 tahun, kakak sepupunya yang juga seorang pelatih gulat mengajaknya ke arena latihan.
Di arena latihan tersebut Agung diperkenalkan apa itu gulat. Atas restu dari orang tua Agung, sepupunya yang pelatih itu mengajarkan Agung teknik-teknik bergulat.
“Tapi nggak dapet juara satu, orang tua nampak kesal. Tapi saya belum tahu kalau kalah bertanding itu sedih, malah saat itu senang karena kan sudah juara dua,” kata Agung diiringi tawa saat bercerita kepada Hello Sehat lewat panggilan Zoom.
Setelah berhasil meraih juara, Agung sempat merasa bosan dan capek latihan. Ia diam-diam bolos latihan tanpa diketahui orang tuanya. Tapi akhirnya ia dibujuk untuk kembali berlatih, orang-orang terdekat dan pelatih mengatakan Agung memiliki bakat dalam bergulat.
“Katanya saya punya bakat dalam bergulat dan kalau menang turnamen itu bisa sekolah di asrama atlet di Jakarta,” kata Agung.
Ia pun tergoda untuk kembali berlatih sebagai pegulat. Apalagi ia ingat bahwa dengan menjadi atlet hebat ia bisa bepergian naik pesawat. Sebab, atlet yang hebat akan punya banyak pertandingan di luar kota dan luar negeri. Keinginannya agar bisa naik pesawat itu muncul karena rumahnya berada tak jauh dari bandara.
“Sebetulnya, seandainya waktu kecil dikenalkan bulu tangkis dan gulat, saya akan lebih memilih bulu tangkis,” ucap Agung sambil tersenyum. Meski begitu, ia telah meneguhkan diri akan menjadi atlet gulat profesional dan bisa bertanding hingga masuk olimpiade.
Agung Hartawan saat ini berusia 15 tahun, ia bersekolah di sekolah atlet Ragunan, Jakarta sebagai atlet gulat junior yang menjanjikan.
3. Faiz Ihsanul Kamil dan olahraga sepak bola
Faiz tidak ingat kapan pertama kali mengenal sepakbola. Ia sudah menyukai sepak bola sejak bisa bermain di luar rumah bersama teman-teman. Masuk sekolah TK, Faiz mulai ikut pertandingan-pertandingan futsal bersama teman-teman kelompok usia di atasnya 2-3 tahun.
Kelas tiga SD, Faiz mulai masuk ke sekolah sepak bola di daerahnya melalui jalur seleksi di salah satu turnamen sepak bola antar sekolah.
Di usia 10 tahun, Faiz menjadi salah satu pemain terpilih untuk masuk ke sekolah sepak bola binaan Real Madrid di Indonesia yang dibiayai Real Madrid Foundation (RMF).
Orang tua Faiz tidak pernah intervensi pilihan olahraga anaknya. Menjadi atlet sepak bola betul-betul keinginan Faiz sendiri sedari kecil.
“Kalau main bola itu cuma senang saja, semua pikiran lainnya yang bikin nggak senang itu hilang,” kata Faiz.
“Iya latihan fisik itu capek banget lah. Tapi kalau pikiran, ‘Ah, sudah nggak mau sepak bola karena capek,’ itu nggak pernah terlintas sama sekali,” tuturnya. Bahkan selama pandemi ini pun Faiz tetap berolahraga dan latihan sendiri demi menjaga kebugaran tubuhnya sebagai atlet di masa pandemi.
Sekarang Faiz masuk dalam tim elite pro klub PSS Sleman Yogyakarta dan bermain sebagai kiper.
“Minta izin sama orang tua untuk serius jadi atlet, orang tua sangat mendukung, beliin sepatu bola, kebutuhan main bola lainnya yang nggak disediakan sekolah. Gizi juga diperhatiin sesuai arahan dari pelatih,” kata Faiz.
Saat ditanya kenapa ingin memilih posisi kiper sejak kecil, Faiz menjawab, “Waktu kecil kiper itu kelihatan bagus ya, terbang-terbang terus jatuh begitu.”
Targetnya dalam waktu dekat adalah terpilih masuk timnas U-16 tahun depan.
Perbedaan porsi latihan olahraga untuk hobi dan untuk menjadi atlet
Pola latihan setiap anak tidak sama. Porsi latihan, terutama latihan fisik itu harus personal dan sesuai dengan tingkat kemampuan. Dokter spesialis olahraga Michael Triangto mengatakan, ada perbedaan cara pandang porsi latihan anak dalam berolahraga untuk kesehatan dan untuk menjadi atlet muda atau demi prestasi.
“Kalau berlebihan kita akan memaksakan otot-otot yang kecil ini bekerja terlalu keras yang mungkin saja mencetuskan suatu cedera dan mungkin saja cedera itu tidak akan sembuh untuk selamanya,” jelasnya.
Baik itu di tingkat profesional maupun untuk penyaluran hobi, pertimbangan pemilihan olahraga untuk anak sebaiknya adalah keinginan anak bukan keinginan orang tua. Cedera lebih dapat dihindari jika si anak menyukai olahraga tersebut sebab ia tahu betapa fisiknya itu berharga.
Dokter Michael berpesan agar orang tua lebih jujur terhadap dirinya sendiri dan dalam melihat kemampuan olahraga anaknya. Jika anak memang tidak mampu menjadi atlet maka sudahi saja. Berikan anak saran untuk menjalankan rencana-rencana selanjutnya sesuai dengan kemampuannya.
Semakin orang tua memaksakan anak menyukai satu jenis olahraga, semakin hal tersebut menggerus keinginan anak menjadi atlet.
[embed-health-tool-vaccination-tool]