backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan
Konten

Hyperarousal

Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa · General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 10/01/2023

Hyperarousal

PTSD (post-traumatic stress disorder) dapat menimbulkan dampak yang parah, termasuk membuat tubuh seseorang menjadi sangat waspada saat mengingat trauma. Di dalam dunia psikologi, kondisi tersebut disebut sebagai hyperarousal.

Apa itu hyperarousal?

Hyperarousal adalah satu dari tiga dampak yang dialami oleh pengidap PTSD (post-traumatic stress disorder), selain dari gangguan mood dan kecemasan. 

Kondisi ini membuat seseorang mendadak menjadi sangat siaga dan waspada karena teringat akan trauma yang telah dialaminya.

PTSD sendiri merupakan gangguan mental serius yang bisa dialami oleh seseorang yang pernah mengalami atau menyaksikan kejadian yang menyebabkannya trauma. 

Pengidap PTSD bisa mengalami stres dan kecemasan karena trauma yang pernah dialaminya meski hal tersebut sudah berlalu dan lingkungan sekitarnya baik-baik saja.

Hyperarousal tidak terbatas pada orang dewasa. Anak-anak yang memiliki trauma juga bisa mengalami hyperarousal, yang jika tidak ditangani mungkin menyebabkan gangguan mental serius ketika dewasa.

Tanda dan gejala hyperarousal

Tanda dan gejala hyperarousal

Selain tubuh yang tiba-tiba menjadi waspada, hyperarousal pada pengidap PTSD juga disertai dengan gangguan lain, meliputi:

  • kesulitan berkonsentrasi,
  • merasakan kehampaan (numb),
  • mudah marah atau bersikap agresif,
  • mengalami emosi yang meledak-ledak atau impulsif,
  • mudah merasa takut dan panik,
  • mengalami serangan panik,
  • muncul perilaku berisiko yang belum pernah ada sebelumnya, seperti ngebut di jalan atau mengonsumsi alkohol berlebihan,
  • merasakan atau menunjukan sikap bersalah maupun malu,
  • selalu terlihat bersikap siaga seakan-akan sedang mengalami bahaya (hypervigilance),
  • mudah merasakan sakit atau nyeri, hingga
  • merasa jantung selalu berdebar-debar.

Sebuah artikel dalam jurnal Neuroendocrinology Letters (2014) menyebutkan bahwa gangguan tidur merupakan gejala utama yang sering ditemukan pada sebagian besar pengidap PTSD. 

Banyak pengidap PTSD juga mengalami mimpi buruk. Kondisi ini membuat kualitas tidur terganggu karena Anda terus-menerus membayangkan peristiwa traumatis.

Penyebab hyperarousal

Hyperarousal terjadi saat respons tubuh dan kecemasan meningkat karena seseorang melihat atau terpapar hal-hal yang memicu kilas balik (flashback) trauma. 

Hal yang menyebabkan trauma bisa bermacam-macam, seperti mengalami kekerasan fisik dan seksual, tekanan mental saat konflik atau peperangan, kecelakaan, hingga bencana alam.

Meski demikian, tidak semua kejadian trauma atau kondisi PTSD menyebabkan hyperarousal

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih mudah mengalami hyperarousal. Berikut ini beberapa contohnya.

  • Mengalami kejadian yang menyebabkan trauma berkepanjangan.
  • Kejadian traumatis dialami saat masih berusia sangat muda, seperti kekerasan pada masa kanak-kanak hingga remaja.
  • Bekerja pada bidang pekerjaan yang cenderung menyebabkan trauma, seperti tentara, pemadam kebakaran, atau tenaga medis yang mengatasi kegawatdaruratan.
  • Memiliki riwayat masalah kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan dan depresi.
  • Pernah melakukan penyalahgunaan zat, termasuk alkohol dan obat-obatan.
  • Tidak adanya dukungan sosial (support system) yang memadai dari teman dan keluarga.
  • Memiliki riwayat gangguan kesehatan mental dalam keluarga.

Dampak jangka panjang hyperarousal

Dampak jangka panjang hyperarousal

Hyperarousal sendiri sebenarnya merupakan dampak dari PTSD. PTSD yang tidak tertangani membuat pengidapnya menjadi siaga dan waspada secara berlebihan, bahkan ketika tidak ada ancaman.

Kebanyakan pengidap PTSD akan menanggung perasaan malu dan bersalah atas trauma yang mereka alami. Hal ini dapat mengganggu kesehatan mental dan fisiknya.

Orang tersebut lebih berisiko mengalami depresi dan ketergantungan alkohol atau narkoba. Trauma berkepanjangan juga bisa menyebabkan gangguan makan hingga kecenderungan untuk bunuh diri.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Affective Disorders (2021) melibatkan lebih dari 3,1 juta partisipan di Swedia untuk mengetahui risiko bunuh diri akibat PTSD.

Hasilnya, PTSD menyumbangkan angka kasus bunuh diri sebesar 0,6% pada pria dan 3,5% pada wanita.

Cara mengatasi hyperarousal

Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi intensitas hyperarousal yakni dengan menjalani terapi untuk mengurangi stres dan kecemasan akibat PTSD.

Dokter mungkin juga meresepkan obat-obatan untuk mengurangi stimulus emosi dan antidepresan jangka panjang untuk mengurangi gejala hyperarousal

Selain pengobatan, prosedur psikoterapi melalui terapi perilaku kognitif  juga diperlukan untuk mencegah rangsangan trauma yang berlebihan. 

Penanganan melalui terapi juga cenderung lebih efektif dan banyak digunakan karena metode tersebut bekerja dengan beberapa cara, yaitu:

  • meningkatkan kepercayaan diri pengidap PTSD,
  • membantu menumbuhkan pandangan positif pada kehidupan,
  • mengajarkan kemampuan coping untuk menghadapi pemicu trauma atau mengatasi gejala PTSD ketika muncul, dan
  • mengatasi isu lainnya yang berkaitan dengan PTSD, mulai dari depresi hingga ketergantungan zat tertentu.

Perlu disadari bahwa PTSD merupakan gangguan mental yang cenderung bertahan seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan sepenuhnya. 

Hal ini membuat efek trauma perlu ditangani dan dikontrol secara berkelanjutan.

Kesimpulan

  • Hyperarousal adalah salah satu dampak yang bisa dirasakan oleh pengidap PTSD.
  • Gejalanya yaitu tubuh menjadi sangat siaga saat Anda mengingat atau memikirkan peristiwa traumatis yang pernah dialami.
  • PTSD bisa berdampak serius bagi kesehatan fisik dan mental, seperti meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, hingga perilaku bunuh diri.
  • Pengobatan PTSD melibatkan konsumsi obat-obatan dan psikoterapi dengan psikolog atau psikiater.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Ditinjau secara medis oleh

dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 10/01/2023

advertisement iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

advertisement iconIklan
advertisement iconIklan