backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Shopaholic: Gangguan Mental atau Sekadar Hobi?

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan · General Practitioner · None


Ditulis oleh Adinda Rudystina · Tanggal diperbarui 07/09/2023

    Shopaholic: Gangguan Mental atau Sekadar Hobi?

    Shopaholic adalah orang yang memaksakan diri untuk berbelanja dan mungkin merasa dirinya tidak memiliki kontrol atas perilaku tersebut. Dengan kata lain, seorang shopaholic dapat kita sebut menderita kecanduan berbelanja.

    Berbagai jenis shopaholic

    Menurut ahli psikologi Terrence Shulman, shopaholic terdiri dari berbagai tipe perilaku, yaitu:

    • pembeli kompulsif (berbelanja untuk mengalihkan perasaan)
    • pembeli trofi (menemukan aksesoris sempurna untuk pakaian, dll, meskipun berupa barang kelas atas)
    • pembeli citra (membeli mobil mahal, dan barang lainnya yang terlihat oleh orang lain)
    • pembeli diskon (membeli barang yang tidak dibutuhkan hanya karena sedang banting harga atau bisa juga disebut pemburu diskon)
    • pembeli kodependen (membeli hanya untuk dicintai dan disukai oleh pasangan atau orang lain)
    • pembeli bulimia (membeli lalu mengembalikan, membeli lagi lalu mengembalikan lagi, mirip seperti bulimia)
    • pembeli kolektor (harus membeli satu set barang dengan lengkap atau membeli baju yang sama dengan warna yang beragam).

    Jika kita pikirkan secara matang, shopaholic bukan lagi sebuah hobi, namun ia dapat didefinisikan sebagai gangguan mental. Oleh karena itu, mari kita cermati lebih lanjut mengenai shopaholic di bawah ini!

    Apa yang menyebabkan seseorang menjadi shopaholic?

    Menurut Ruth Engs, seorang profesor ilmu kesehatan terapan dari Indiana University, beberapa orang menjadi shopaholic karena pada dasarnya mereka senang dengan apa yang dirasakan otak mereka saat berbelanja. Dengan berbelanja, otak mereka melepaskan endorfin (hormon kenikmatan) dan dopamin (hormon kesenangan), dan dari waktu ke waktu, perasaan ini menjadi sangat adiktif. Engs mengklaim bahwa 10-15% dari populasi cenderung telah mengalaminya.

    Pola pikir seorang shopaholic

    Menurut Mark Banschick M.D., seorang alkoholik dapat meninggalkan minuman keras, seorang penjudi dapat berhenti bertaruh, namun shopaholic merasa memiliki keharusan untuk berbelanja. Inilah yang membuat shopaholic atau oniomania disebut sebagai gangguan mental yang dapat merusak seseorang.

    Seperti yang dilansir dari verywell.com, inilah beberapa hal yang ada dalam pikiran seorang shopaholic sejati:

    1. Shopaholic akan terus berusaha disukai orang lain

    Menurut penelitian, seorang shopaholic biasanya memiliki kepribadian yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan subjek penelitian non-shopaholic, yang berarti mereka baik hati, simpatik, dan tidak kasar kepada orang lain. Karena mereka sering kesepian dan terisolasi, pengalaman berbelanja menyediakan shopaholic untuk berinteraksi secara positif dengan penjual dan berharap bahwa jika membeli sesuatu maka mereka akan meningkatkan hubungan dengan orang lain.

    2. Shopaholic memiliki harga diri yang rendah

    Harga diri yang rendah merupakan salah satu karakteristik yang paling umum ditemukan dalam studi mengenai kepribadian shopaholic. Menurut para shopaholic, berbelanja adalah cara untuk meningkatkan harga diri, terutama jika objek yang diinginkan terkait dengan citra (image) yang ingin dimiliki oleh pembeli. Namun, harga diri rendah juga dapat menjadi konsekuensi dari shopaholic, terutama banyaknya utang yang dimiliki dapat meningkatkan perasaan tidak mampu dan tidak berharga.

    3. Shopaholic memiliki masalah emosional

    Shopaholic memiliki kecenderungan untuk memiliki ketidakstabilan emosional atau perubahan suasana hati. Penelitian juga menemukan bahwa shopaholic juga sering menderita kecemasan dan depresi. Belanja sering digunakan oleh mereka untuk memperbaiki mood, meskipun hanya berlaku untuk sementara waktu.

    4. Shopaholic memiliki kesulitan untuk mengontrol impuls

    Impuls merupakan sesuatu yang alami, yang secara tiba-tiba mendorong Anda untuk melakukan sesuatu sehingga Anda akan merasa perlu untuk bertindak. Kebanyakan orang merasa cukup mudah untuk mengontrol impuls mereka kerena mereka telah belajar untuk melakukannya di masa kanak-kanak. Di sisi lain, shopaholic memiliki impuls berlebih dan tak terkontrol untuk berbelanja.

    5. Shopaholic selalu memanjakan fantasi

    Kemampuan shopaholic untuk berfantasi biasanya lebih kuat dibandingkan dengan orang lain. Ada beberapa cara yang membuat fantasi memperkuat kecenderungan untuk membeli terlalu banyak, yaitu shopaholic dapat berfantasi mengenai sensasi berbelanja ketika terlibat dalam kegiatan lain. Mereka dapat membayangkan seluruh efek positif dari membeli objek yang diinginkan, dan mereka dapat melarikan diri ke dunia fantasi dari kerasnya realita kehidupan.

    6. Shopaholic cenderung materialistis

    Penelitian menunjukkan bahwa shopaholic lebih materialistis dibandingkan dengan pembeli lain, namun mereka menunjukkan adanya cinta yang rumit terhadap harta benda. Secara mengejutkan, mereka sama sekali tidak memiliki ketertarikan untuk memiliki benda-benda yang mereka beli dan mereka kurang memiliki dorongan untuk memperoleh harta benda dibandingkan dengan orang lain. Hal itu menjelaskan mengapa shopaholic cenderung membeli hal-hal yang tidak mereka butuhkan.

    Jadi, apa yang menunjukkan bahwa mereka lebih materialistis dibandingkan dengan yang lain? Ada dua dimensi lain dari materialisme, yaitu rasa iri dan tidak murah hati, dan ini adalah kelemahan dari para shopaholic. Mereka jauh lebih iri dan kurang murah hati dibandingkan dengan orang lain. Hal yang mengejutkan adalah para shopaholic memberikan barang yang mereka beli untuk orang lain hanya untuk “membeli” cinta dan meningkatkan status sosial, bukan sebagai tindakan kedermawanan.

    Efek jangka pendek dan jangka panjang yang dialami shopaholic

    1. Efek jangka pendek

    Efek jangka pendek yang dialami oleh shopaholic adalah mereka akan merasa positif. Dalam banyak kasus, mereka mungkin merasa bahagia setelah selesai berbelanja, tapi perasaan itu terkadang tercampur dengan kecemasan atau rasa bersalah, perasaan itulah yang mendorong mereka untuk kembali berbelanja.

    2. Efek jangka panjang

    Efek jangka panjang yang dirasakan oleh shopaholic mungkin bervariasi. Shopaholic cenderung menghadapi masalah keuangan, dan mereka juga banyak yang kewalahan dengan utang. Dalam beberapa kasus, mungkin mereka hanya menggunakan kartu kredit hingga mencapai batas maksimal, namun dalam kasus lain mereka mungkin menunda biaya cicilan rumah dan kartu kredit bisnis mereka.

    Jika Anda menjadi shopaholic, hubungan pribadi Anda juga akan menderita. Anda mungkin berakhir bercerai atau menjauhkan diri dari keluarga, kerabat, dan orang-orang terkasih lainnya.

    BACA JUGA:

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Andreas Wilson Setiawan

    General Practitioner · None


    Ditulis oleh Adinda Rudystina · Tanggal diperbarui 07/09/2023

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan