backup og meta
Kategori
Tanya Dokter
Simpan
Cek Kondisi
Konten

Amniosentesis, Pemeriksaan untuk Cek Risiko Bayi Lahir Cacat

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Hillary Sekar Pawestri · Tanggal diperbarui 08/12/2023

Amniosentesis, Pemeriksaan untuk Cek Risiko Bayi Lahir Cacat

Selama kehamilan, wanita perlu menjalani pemeriksaan rutin untuk memantau tumbuh-kembang janinnya. Selain ultrasonografi (USG), dokter mungkin menyarankan Anda untuk menjalani pemeriksaan amniosentesis.

Lantas, apa yang membedakan amniosentesis dengan USG? Kapan tes ini perlu dilakukan? Simak jawabannya dalam uraian berikut.

Apa itu amniosentesis (amniocentesis)?

Amniosentesis adalah pemeriksaan kehamilan yang berfungsi untuk mendeteksi kelainan pada janin. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil sampel cairan ketuban.

Berbeda dengan USG, amniocentesis bukanlah pemeriksaan yang wajib dilakukan ibu hamil.

Tes ini umumnya hanya disarankan pada ibu hamil yang memiliki risiko melahirkan anak dengan kelainan kromosom atau genetik.

Berikut ini adalah beberapa kondisi yang bisa diketahui atau dideteksi melalui amniosentesis.

  • Kelainan genetik atau kromosom seperti Down syndrome, fibrosis kistik, spina bifida, dan sindrom Fragile X.
  • Infeksi bakteri pada ketuban atau korioamnionitis.
  • Perkembangan paru-paru janin.
  • Ketidakcocokan rhesus antara ibu dan janin.
  • Penumpukan cairan abnormal pada tubuh janin atau hidrops fetalis.

Selain mendeteksi risiko cacat genetik, tes ini juga dapat membantu dokter mengetahui jenis kelamin janin lebih awal dan digunakan sebagai penanganan untuk polihidramnion.

Amniosentesis biasanya dilakukan ketika usia kehamilan memasuki 16–20 minggu atau sekitar trimester kedua. Pada momen ini, janin diselubungi cairan ketuban sebanyak kurang-lebih 130 mililiter (ml). 

Kapan ibu hamil perlu menjalani amniosentesis?

sauna saat hamil

Pemeriksaan amniosentesis biasanya disarankan untuk ibu hamil yang memiliki kondisi seperti berikut.

  • Hamil di atas usia 37 tahun.
  • Punya riwayat kelainan kromosom atau genetik dalam keluarga, termasuk keluarga pasangan.
  • Pernah melahirkan anak dengan kelainan kromosom.
  • Hasil tes darah serum screen menunjukkan tanda tidak normal.
  • Pemeriksaan USG menunjukkan kelainan pada janin.

Sementara itu, ibu hamil dengan beberapa kondisi berikut biasanya diminta lebih berhati-hati sebelum menjalani amniocentesis.

  • Kekurangan cairan ketuban atau oligohidramnion.
  • Riwayat gangguan pembekuan darah.
  • Alergi obat bius atau bahan lateks.
  • Kelainan posisi plasenta.
  • Hamil dengan hepatitis atau HIV.

Tahukah Anda?

Seiring wanita bertambah usia, risiko memiliki anak dengan sindrom Down akan ikut meningkat. Risiko yang tadinya sebesar 1 banding 2.000 saat hamil pada usia 20 tahun menjadi 1 banding 100 jika ibu hamil berusia 40 tahun. 

Apa saja persiapan sebelum amniocentesis?

Tidak ada persiapan khusus yang perlu Anda lakukan sebelum amniosentesis.

Namun, Anda mungkin diminta untuk tidak buang air kecil beberapa jam sebelum tes karena terkadang tes lebih mudah dilakukan saat kandung kemih penuh.

Selain itu, dokter biasanya melakukan pemeriksaan USG sebelum dan selama amniosentesis.

Bagaimana prosedur amniosentesis?

Sebelum menjalani amniocentesis, Anda perlu melakukan pemeriksaan genetik terlebih dahulu. Jika ditemukan risiko, dokter bisa memberikan jadwal pemeriksaan.

Pada jadwal yang sudah ditentukan, dokter akan melakukan pengambilan sampel cairan ketuban dengan langkah‐langkah berikut.

  1. Pasien berbaring di tempat yang tersedia.
  2. Dokter mengamati posisi janin dan plasenta melalui pemeriksaan ultrasound (USG)
  3. Setelah menemukan lokasi penyuntikan, dokter akan membersihkan perut pasien dengan cairan antiseptik untuk mencegah infeksi.
  4. Jika dibutuhkan, dokter bisa menyuntikkan anestesi lokal ke dalam kulit perut pasien menggunakan jarum panjang dan tipis.
  5. Dokter mengambil 15–20 ml atau sekitar tiga sendok teh cairan ketuban. Proses ini biasanya hanya berlangsung selama 30 detik.

Setelah jumlah cairan yang diambil cukup, dokter akan menarik jarum keluar dari perut. Setelah itu, dokter akan mengoleskan cairan antiseptik dan menutup area suntikan.

Meski proses amniosentesis terbilang cepat, ada beberapa risiko kegagalan pengambilan sampel.

Cairan ketuban bisa saja bercampur darah atau gagal diperiksa. Pada kondisi seperti ini, dokter bisa menjadwalkan tes ulang.

Setelah amniocentesis

Secara keseluruhan, prosedur amniosentesis berlangsung selama 10–30 menit. Usai pemeriksaan, dokter akan memantau kondisi Anda untuk memastikan bahwa tidak ada efek samping.

Dokter biasanya juga melakukan pemeriksaan terhadap denyut jantung janin untuk memastikan bahwa janin tidak stres.

Amniosentesis biasanya tidak membutuhkan rawat inap. Namun, dokter mungkin menyarankan supaya Anda tidak langsung beraktivitas berat setelahnya, termasuk berhubungan seksual.

Hasil amniosentesis biasanya keluar setelah 1–2 minggu. Setelah mendapatkan hasil dari amniocentesis, Anda bisa menentukan penanganan terbaik bersama dokter.

Laman Cleveland Clinic menyebutkan bahwa keakuratan amniosentesis bisa mencapai 99% dalam mendeteksi kelainan genetik. Namun, pemeriksaan ini tidak bisa mengukur tingkat keparahannya.

Selain itu, tetap ada kemungkinan bahwa amniosentesis memberikan hasil yang salah. Pasalnya, jenis kelainan janin cukup beragam dan ada beberapa kasus yang membuatnya baru diketahui setelah bayi dilahirkan.

Risiko komplikasi amniosentesis

air Ketuban

Amniosentesis merupakan prosedur yang aman. Meski begitu, pada beberapa kasus, amniosentesis bisa menyebabkan berbagai komplikasi seperti berikut.

1. Cedera pada janin

Amniosentesis berisiko menyebabkan berbagai cedera pada janin, seperti club foot, gangguan paru-paru, hingga dislokasi pinggul.

Risiko ini meningkat jika amniocentesis dilakukan sebelum janin berusia 15 minggu.

2. Penyakit rhesus

Jika darah Anda memiliki rhesus negatif, tetapi darah janin Anda memiliki rhesus positif, Anda lebih berisiko mengalami sensitisasi.

Sensitisasi Rh terjadi saat darah janin masuk ke aliran darah ibu hamil. Kondisi ini mendorong tubuh ibu untuk memproduksi antibodi yang akan menyerang darah janin.

3. Keguguran

Belum diketahui secara pasti bagaimana amniosentesis bisa memicu persalinan prematur atau bahkan keguguran.

Namun, hal ini diperkirakan berkaitan dengan infeksi, perdarahan, atau kerusakan pada kantong ketuban.

Meski begitu, risiko keguguran karena amniosentesis relatif rendah, yaitu tidak mencapai 1 persen.

4. Kondisi lainnya

Selain berbagai risiko di atas, amniosentesis juga bisa menimbulkan efek samping berupa:

Jika Anda mengalami berbagai kondisi tersebut setelah menjalani amniocentesis, segeralah pergi ke dokter untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Ditinjau secara medis oleh

dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Hillary Sekar Pawestri · Tanggal diperbarui 08/12/2023

advertisement iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

advertisement iconIklan
advertisement iconIklan