backup og meta
Kategori
Tanya Dokter
Simpan
Cek Kondisi

Benarkah Program Bayi Tabung Lebih Berisiko Timbulkan Komplikasi?

Ditulis oleh dr. Caroline Tirtajasa, Sp.OG (K) · Kebidanan dan Kandungan · OMNI Hospital Pulomas


Tanggal diperbarui 31/08/2021

    Benarkah Program Bayi Tabung Lebih Berisiko Timbulkan Komplikasi?

    Program bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF) bisa menjadi pilihan bagi pasangan yang punya masalah kesuburan dan sulit hamil. Biasanya, program ini dipilih saat pasangan sudah melakukan berbagai cara agar bisa hamil, termasuk program alami dan inseminasi buatan. Namun, banyak yang ragu untuk melakukan bayi tabung karena program ini disebut dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan. Benarkah hal tersebut? Saya akan mengulas lebih lengkap untuk Anda.

    Mengenal program bayi tabung

    Bayi tabung atau IVF adalah serangkaian prosedur kompleks dengan menggunakan teknologi reproduksi berbantu (assisted reproductive technology (ART) untuk mendapatkan kehamilan

    Prosedur IVF dilakukan dengan menstimulasi indung telur (ovarium) untuk memperbesar dan mematangkan sel telur.

    Jika sudah besar dan matang, sel telur akan dipecah dan diambil untuk disimpan ke dalam tabung. 

    Pada waktu yang sama, suami mengeluarkan sampel sperma untuk kemudian diinjeksi ke dalam sel telur melalui prosedur intracytoplasmic sperm injection (ICSI).

    Penggabungan sel telur dan sperma dalam tabung ini kemudian menjadi embrio. 

    Pada hari ke-3, ke-5, atau setelah menjadi blastosis, dokter akan melakukan transfer embrio ke dalam rahim dan memantau perkembangannya.

    Jika berhasil, embrio akan berkembang di dalam rahim dan terjadilah kehamilan. 

    Adapun tingkat keberhasilan bayi tabung sebesar 30-50% untuk wanita yang berusia di bawah 35 tahun. Tingkat keberhasilan akan semakin menurun seiring pertambahan usia.

    Benarkah program bayi tabung lebih berisiko timbulkan komplikasi?

    Mencoba Program Inseminasi Hingga Bayi Tabung Demi Memiliki Buah Hati

    Jawabannya adalah tidak benar. Program bayi tabung tidak lebih berisiko menimbulkan komplikasi daripada kehamilan normal.

    Sebenarnya, risiko atau efek samping komplikasi pada kehamilan bayi tabung sama besarnya dengan kehamilan biasa.  

    Kehamilan melalui bayi tabung terkesan lebih berisiko alami komplikasi karena program ini lebih mungkin menghasilkan bayi kembar.

    Adapun kehamilan kembar lebih berisiko mengalami komplikasi seperti kelahiran prematur, kontraksi dini, ketuban pecah dini, hingga preeklampsia. 

    Kehamilan kembar ini umumnya terjadi karena proses stimulasi ovarium yang dilakukan pada program bayi tabung.

    Stimulasi ini menyebabkan sel telur lebih banyak dan besar sehingga kehamilan kembar lebih mungkin terjadi. 

    Namun, yang perlu ibu pahami, kehamilan kembar ini bukanlah tujuan dari program bayi tabung. Justru, ini merupakan efek samping dari program bayi tabung itu sendiri. 

    Selain faktor kehamilan kembar, program bayi tabung juga sering dilakukan oleh wanita yang sudah memasuki usia 35 tahun ke atas.

    Kehamilan pada usia lanjut lebih berisiko menimbulkan komplikasi. Sebab, semakin bertambah usia, tubuh seseorang sudah tak seprima dulu.

    Dengan demikian, penyakit lebih mungkin muncul yang bisa meningkatkan risiko komplikasi saat hamil, termasuk jika melakukan bayi tabung. 

    Oleh karena itu, menurut saya, bukan program bayi tabung yang memunculkan risiko komplikasi. Melainkan, kehamilan kembar dan faktor usia lanjut yang bisa menimbulkan komplikasi tersebut. 

    Program bayi tabung tidak meningkatkan risiko komplikasi cacat lahir

    Di sisi lain, yang perlu Ibu pahami pula, program bayi tabung tidak meningkatkan angka kecacatan pada bayi.

    Risiko cacat lahir pada bayi tabung juga sama besarnya dengan bayi yang tumbuh dalam kehamilan normal, yaitu di bawah angka 1 persen. 

    Sama seperti penjelasan di atas, kasus kecacatan pada bayi, seperti Down syndrome, tidaklah terjadi akibat proses IVF yang dilakukan. Ini umumnya terjadi karena faktor usia lanjut saat program bayi tabung dijalankan. 

    Sebagai contoh, risiko bayi down syndrome biasanya meningkat bila Ibu mengalami kehamilan di usia 39 tahun ke atas.

    Oleh karena itu, saya kembali menegaskan, bukan program bayi tabung yang memunculkan risiko atau dampak negatif berupa komplikasi, tetapi kondisi masing-masing pasien lah yang menentukan. 

    Masing-masing kondisi pasien juga yang akan menentukan apakah kehamilan melalui bayi tabung bisa lahir secara normal atau harus menjalani proses melahirkan caesar

    Cara menurunkan risiko komplikasi pada pasien program bayi tabung

    tanda bahaya kehamilan

    Untuk mengurangi risiko komplikasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan bisa dilakukan sebelum dan saat program bayi tabung serta ketika kehamilan terjadi.

    Berikut adalah hal-hal tersebut.

    1. Sebaiknya dilakukan di bawah usia 35 tahun

    Sebaiknya, semua program hamil dilakukan sebelum grafik kesuburan makin turun, yaitu di usia 35 tahun ke atas.

    Sebab, semakin bertambahnya usia, kemungkinan munculnya komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan semakin tinggi. 

    Ini bisa terjadi karena kualitas dan kuantitas sel telur semakin menurun pada usia 35 tahun ke atas akibat proses penuaan.

    Hal ini juga menurunkan tingkat keberhasilan program hamil yang ibu lakukan. 

    Oleh karena itu, saya menegaskan, sebaiknya tidak menunggu hingga usia 35 tahun untuk melakukan program bayi tabung.

    Jika Ibu dan pasangan sudah melakukan berbagai cara cepat hamil, tetapi belum juga berhasil, sebaiknya segera pergi ke dokter untuk menentukan program yang tepat. 

    2. Single blastocyst transfer

    Untuk mengurangi kemungkinan kehamilan kembar, dokter umumnya melakukan single blastocyst transfer.

    Ini artinya, hanya satu embrio yang akan dokter transfer ke dalam embrio ibu. Dengan cara ini, hanya akan ada satu kehamilan atau janin yang terbentuk di rahim nantinya.

    Sementara sel telur lain yang telah diambil akan dibekukan dan disimpan untuk suatu saat bisa Ibu dan pasangan gunakan jika ingin melakukan program hamil kembali. 

    Meski demikian, single blastocyst transfer akan sulit dilakukan bila sel telur tidak banyak. Biasanya, kondisi ini umum terjadi pada wanita yang sudah berusia lanjut. 

    3. Menerapkan gaya hidup sehat

    Sama seperti kehamilan normal, ibu yang melakukan program bayi tabung juga perlu menerapkan gaya hidup sehat sejak sebelum, saat, dan setelah proses IVF serta ketika kehamilan terjadi. 

    Ibu setidaknya sudah mulai menerapkan pola hidup sehat sejak 3 bulan sebelum program bayi tabung.

    Pada masa ini, perbaikan kualitas sel telur mulai dilakukan, sehingga menerapkan gaya hidup sehat juga harus dimulai. 

    Ibu pun perlu mengonsumsi vitamin sebelum hamil dan saat kehamilan sesuai anjuran dokter.

    Ini termasuk mengonsumsi makanan sehat dengan gizi yang berimbang untuk memenuhi nutrisi sebelum hamil dan saat kehamilan. 

    4. Rutin kontrol ke dokter 

    Bila sudah hamil, jangan lupa untuk rutin kontrol ke dokter. Dokter akan memeriksa perkembangan janin dan kehamilan ibu hingga proses persalinan nantinya. 

    Selain itu, ibu dan dokter pun bisa mengantisipasi jika ada tanda-tanda bahaya dari kehamilan.

    Dengan demikian, dokter dapat segera memberi penanganan yang tepat untuk menyelamatkan Ibu dan bayinya. 

    Untuk mendapat informasi lebih lengkap mengenai program bayi tabung dan berbagai masalah kesuburan dan kehamilan, Ibu bisa melihatnya di akun Instagram saya @drcarolinetirtajasaspogk atau channel Youtube Dr Caroline Tirtajasa SpOGK.

    Semoga sehat selalu!

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditulis oleh

    dr. Caroline Tirtajasa, Sp.OG (K)

    Kebidanan dan Kandungan · OMNI Hospital Pulomas


    Tanggal diperbarui 31/08/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan