backup og meta
Kategori
Tanya Dokter
Simpan
Cek Kondisi
Konten

Penyebab Preeklampsia, Komplikasi Kehamilan yang Bisa Fatal

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 19/04/2023

Penyebab Preeklampsia, Komplikasi Kehamilan yang Bisa Fatal

Preeklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan serius yang ditandai dengan hipertensi atau tekanan darah tinggi. Kondisi ini paling sering menyebabkan kematian para ibu di negara berkembang. Lantas, apa yang menjadi penyebab preeklampsia?

Apa penyebab preeklampsia pada ibu hamil?

Para ahli meyakini bahwa penyebab preeklampsia pada ibu hamil adalah plasenta yang tidak berkembang dengan baik akibat gangguan pada pembuluh darah yang menyokongnya.

Plasenta merupakan organ yang menyuplai darah berisikan oksigen dan zat gizi dari ibu ke janin. Kotoran janin pun dikembalikan lagi ke ibu melalui organ ini.

Untuk mendukung pertumbuhan janin, plasenta membutuhkan pasokan darah yang besar serta terus-menerus dari tubuh ibu.

Dalam kasus preeklampsia, plasenta tidak mendapatkan pasokan darah yang cukup. Hal ini karena plasenta tidak berkembang dengan baik selama paruh pertama kehamilan.

Kerusakan pada plasenta juga akan memengaruhi pembuluh darah pada tubuh ibu. Kemudian, kondisi ini juga bisa menyebabkan tekanan darah tinggi atau hipertensi saat hamil.

Pada saat yang sama, gangguan pada ginjal dapat membuat protein penting dalam darah ibu bocor ke urine. Hal ini menyebabkan proteinuria, yakni kondisi adanya protein di dalam urine. 

Kedua kondisi inilah yang kemudian dapat menjadi penyebab preeklampsia pada ibu hamil. Pada umumnya, preeklampsia terjadi pada usia kehamilan 20 minggu.

Mengapa plasenta yang bermasalah bisa menyebabkan preeklampsia?

gejala preeklamsia

Seperti dijelaskan di atas, gangguan pada plasenta merupakan faktor utama penyebab preeklampsia.

Lantas, mengapa gangguan plasenta bisa menyebabkan preeklampsia? Nah, pada tahap awal kehamilan, sel telur yang sudah dibuahi menempel ke dinding rahim (uterus).

Sel telur tersebut lalu menghasilkan semacam serabut akar yang disebut vili untuk membantunya mengikatkan diri ke rahim. Di sinilah sel telur tumbuh menjadi janin.

Villi merupakan pembuluh darah yang mengantarkan zat gizi dalam rahim. Pembuluh darah ini akan tumbuh makin besar dan lebar seiring kehamilan hingga berubah menjadi plasenta.

Apabila pembuluh darah tidak berkembang dengan baik, kemungkinan besar plasenta tidak akan terbentuk sempurna. Hal inilah yang dapat menjadi penyebab preeklampsia.

Hingga saat ini, para peneliti masih belum bisa menjelaskan mengapa pembuluh darah tidak berubah sebagaimana mestinya sampai bisa menyebabkan preeklampsia. 

Kemungkinan hal ini dipengaruhi perubahan genetik yang terjadi secara turun-temurun dalam keluarga. Meski begitu, tidak semua penyebab preeklampsia didasari oleh genetik.

Apa saja faktor penyebab preeklampsia lainnya?

Beberapa faktor di bawah ini dapat meningkatkan risiko Anda untuk mengalami preeklampsia. Meski begitu, risikonya tidak terlalu signifikan bila Anda memiliki salah satu faktor risiko saja.

Namun, bila Anda memiliki dua atau lebih faktor berikut secara bersamaan, kemungkinan terjadinya preeklampsia akan menjadi lebih tinggi.

  • Memiliki riwayat atau masalah kesehatan lainnya, seperti, diabetes melitus, penyakit ginjal, tekanan darah tinggi, lupus, atau sindrom antifosfolipid (APS).
  • Memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, sebab sekitar 16% ibu yang pernah mengidap kondisi ini akan mengalaminya juga pada kehamilan berikutnya.
  • Hamil di atas 35 tahun atau kurang dari 18 tahun.
  • Mengalami kehamilan untuk pertama kalinya.
  • Kehamilan berikutnya terjadi lebih dari 10 tahun sejak kehamilan terakhir.
  • Mengalami kelebihan berat badan pada awal kehamilan (indeks massa tubuh 35 kg/m2 atau lebih).
  • Mengalami kehamilan bayi kembar dua, tiga, atau lebih.
  • Memiliki jeda kehamilan 10 tahun dengan kehamilan sebelumnya

Di samping itu, faktor risiko lain yang dapat menjadi penyebab preeklampsia antara lain faktor genetik, diet, gangguan pembuluh darah, dan gangguan autoimun.

Bagaimana cara menurunkan risiko preeklampsia?

Apabila seorang ibu dianggap berisiko tinggi mengalami preeklampsia, dokter biasanya akan menyarankannya untuk minum obat asam asetilsalisilat dosis rendah.

Dikutip dari situs American College of Obstetricians and Gynecologists, ibu hamil disarankan minum 81 miligram (mg) asam asetilsalisilat per hari untuk mengurangi risiko preeklampsia.

Obat ini sebaiknya mulai dikonsumsi antara usia kehamilan 12–28 minggu (paling baik sebelum usia kehamilan 16 minggu) dan dilanjutkan setiap hari hingga bayi lahir.

Namun, Anda tidak boleh sembarang mengonsumsi asam asetilsalisilat saat hamil. Selalu ikuti saran dari dokter Anda sebelum meminum obat apa pun selama kehamilan.

Jika Anda mencurigai tanda-tanda preeklampsia, misalnya hasil tensi lebih dari 140/90 mmHg, mengalami nyeri parah, dan pandangan kabur, segeralah hubungi dokter.

Dokter akan melakukan diagnosis lebih lanjut untuk mengetahui seberapa parah preeklampsia yang dialami. Hal ini akan menentukan jenis perawatan yang sesuai dengan kondisi Anda.

Risiko preeklampsia pada ibu hamil dan janin pun dapat dikurangi melalui pemeriksaan kandungan rutin. Sebaiknya, jangan malas memeriksakan kandungan Anda sejak awal kehamilan.

Kesimpulan

  • Plasenta yang tidak berkembang baik akibat gangguan pada pembuluh darah adalah faktor utama penyebab preeklampsia pada ibu hamil.
  • Faktor-faktor lain juga dapat meningkatkan risikonya yaitu riwayat keluarga dengan preeklampsia, hamil di atas usia 35 tahun, dan mengalami obesitas.
  • Berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, dan lahir mati (stillbirth) adalah beberapa bahaya preeklampsia bila tidak ditangani dengan baik.
  • Pastikan Anda memeriksakan kehamilan secara rutin untuk mendiagnosis preeklampsia lebih awal sehingga Anda bisa mencegah timbulnya komplikasi serius.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Ditinjau secara medis oleh

dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 19/04/2023

advertisement iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

advertisement iconIklan
advertisement iconIklan