Normal bagi korban kejahatan merasa sedih, marah, tidak bahagia, dan putus asa. Depresi dan menyalahkan diri sendiri merupakan isu kesehatan mental serius dan tidak menandakan kelemahan, serta bukan pula sesuatu yang diharapkan akan sembuh dengan sendirinya semudah membalikkan telapak tangan. Lima cara depresi dan menyalahkan diri dapat merusak seseorang: minimnya motivasi untuk mencari bantuan, kurang empati, mengisolasi diri dari orang lain, kemarahan, dan agresi— termasuk melukai diri sendiri dan/atau upaya bunuh diri.
2. Sindrom Trauma Perkosaan
Sindrom trauma perkosaan (Rape Trauma Syndrome/RTS) adalah bentuk turunan dari PTSD (gangguan stres pasca trauma), sebagai sesuatu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan — muda dan dewasa — dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dipandang oleh wanita sebagai situasi yang mengancam nyawa, memiliki ketakutan umum akan mutilasi dan kematian sementara serangan terjadi.
Segera setelah perkosaan, penyintas sering mengalami syok. Mereka cenderung merasa kedinginan, pingsan, mengalami disorientasi (kebingungan mental) gemetar, mual dan muntah. Pasca insiden, umum bagi korban mengalami insomnia, kilas balik, mual dan muntah, respon mudah kaget dan terkejut, sakit kepala tensi, agitasi dan agresi , isolasi, dan mimpi buruk, serta gejala disosiatif atau mati rasa dan peningkatan rasa takut dan kecemasan.
Meski beberapa dari gejala ini dapat mewakili deskripsi gejala yang timbul pada veteran perang, korban perkosaan dan kekerasan seksual mengalami masalah unik setelah serangan, seperti nyeri bagian perut atau punggung bawah, iritasi tenggorokan akibat oral seks paksaan, masalah ginekologis (menstruasi berat dan tidak teratur, keputihan atau keluar cairan lain dari vagina, infeksi kandung kemih, penyakit kelamin menular, hingga kehamilan tidak diinginkan yang diikuti oleh preeklampsia), berperilaku seperti kekerasan tidak pernah terjadi (disebut penolakan), ketakutan akan seks, bahkan kehilangan gairah dan minat seksual.
Sangat penting untuk dicatat bahwa RTS adalah tanggapan alami dari seseorang yang sehat secara psikologis dan fisik terhadap trauma perkosaan, jadi tanda dan gejala di atas bukan merupakan representasi dari gangguan atau penyakit kejiwaan.
3. Disosiasi
Dalam istilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari realitas. Disosiasi adalah salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual. Banyak pakar percaya bahwa disosiasi ada pada sebuah spektrum. Di salah satu ujung spektrum, disosiasi dikaitkan dengan pengalaman melamun. Di ujung bersebrangan, disosiasi kompleks dan kronis dapat membuat penderitanya sulit berfungsi dalam dunia nyata.
Disosiasi sering digambarkan sebagai pengalaman “ruh keluar dari tubuh”, di mana seseorang merasa tidak terikat dengan jasmaninya, merasa sekitarnya tampak tidak nyata, tidak terlibat dengan lingkungan tempat ia berada seperti sedang menonton kejadian tersebut di televisi.
Sebagian pakar kesehatan mental percaya bahwa penyebab gangguan disosiatif adalah trauma kronis yang terjadi saat masa kanak-kanak. Individu yang mengalami kejadian traumatik akan sering mengalami beberapa derajat disosiasi — amnesia sebagian, berpindah-pindah tempat dan memiliki identitas baru, hingga yang terparah, kepribadian ganda — di saat mengalami kejadian tersebut atau berhari-hari, minggu setelahnya.
Mungkin menakutkan menyaksikan seseorang yang mengalami pemisahan diri dari dunia nyata (untuk dibedakan dengan isolasi), namun kondisi ini merupakan reaksi alami terhadap trauma.
4. Gangguan makan
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar