backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Faktor Genetik Ternyata Bisa Memicu Kecenderungan untuk Selingkuh

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Winona Katyusha · Tanggal diperbarui 12/04/2022

    Faktor Genetik Ternyata Bisa Memicu Kecenderungan untuk Selingkuh

    Apa pun alasan seseorang berselingkuh, kita terbiasa berpikir bahwa perselingkuhan merupakan tanda-tanda dari hubungan yang tidak sehat atau kecacatan moral. Namun, ternyata gen yang diwariskan dari orangtua juga turut bertanggung jawab dalam kecenderungan selingkuh.

    Genetik dan kecenderungan selingkuh, apa hubungannya?

    Angka perselingkuhan di Indonesia seperti tidak akan menunjukkan tanda-tanda kemerosotan. Berdasarkan data yang dihimpun dari Pengadilan Agama seluruh Indonesia, perselingkuhan menjadi penyebab 10.444 pasangan bercerai dari total kasus 15.771 perceraian sepanjang 2007.

    Data milik Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI juga menunjukkan, perselingkuhan dilaporkan menduduki peringkat kedua sebagai penyebab perceraian tertinggi setelah faktor ekonomi pada tahun 2011.

    Dengan banyaknya kasus perselingkuhan, sebenarnya apa alasan di balik perilaku ini?

    Perlu Anda pahami, hasrat atau motivasi untuk berselingkuh dari setiap orang berasal dari bagian otak yang memproduksi hormon dopamin.

    Ketika dirangsang oleh alkohol, obat, permen cokelat, hingga seks, otak akan melepaskan dopamin. Hormon inilah yang membuat kita merasa senang, bergairah, dan merasa bahagia.

    Penelitian menunjukkan bahwa pada pria yang doyan selingkuh, sensasi deg-degan campur bahagia karena tidak (atau belum) ketahuan selingkuh akibat dorongan dopamin ini malah semakin memotivasi mereka untuk melakukan hal tersebut.

    Akan tetapi, kecenderungan selingkuh ternyata juga dapat menurun dari keluarga. Hal ini terbukti dalam sebuah survei yang dilakukan oleh tim peneliti University of Pennsylvania, AS.

    Dalam survei tersebut, sebanyak 71% responden wanita yang pernah selingkuh memiliki seorang ibu yang dulu juga pernah mendua. Begitu pula dengan pria, sebanyak 45% responden pria yang sempat main mata punya ayah yang juga pernah selingkuh.

    Pada pria, kecenderungan untuk selingkuh lebih didasari oleh dorongan bawah sadar otak warisan zaman purba yang menilai seks sebagai kegiatan biologis murni untuk berkembang biak guna meningkatkan kesempatannya memiliki lebih banyak keturunan di dunia.

    Orang yang memiliki gen DRD4 lebih rentan berselingkuh

    selingkuh cek HP pasangan
    Sumber: Men’s Health

    Di sisi lain, kecenderungan selingkuh pada sebagian orang juga dipengaruhi oleh keragaman gen dalam rantai DNA tubuhnya.

    Dari hasil penelitian milik peneliti asal State University of New York (SUNY) Binghamton, orang-orang yang memiliki varian tertentu dari reseptor D4 polimorfisme (gen DRD4) lebih mungkin untuk berselingkuh dan “jajan seks” di luar rumah.

    Hal tersebut bisa terjadi sebab orang-orang yang memiliki gen DRD4 secara natural membutuhkan rangsangan yang lebih besar lagi untuk bisa mencapai kepuasan.

    Umpamanya, beberapa orang akan merasa sangat bersemangat setelah selesai naik roller coaster yang menegangkan. Namun, pada orang-orang dengan gen DRD4, mereka akan meminta untuk mengulang atraksi itu, lagi dan lagi, untuk menguji batasan dirinya.

    Diketahui dari penelitian tersebut, sebanyak 50% partisipan yang memiliki gen DRD4 mengaku pernah berselingkuh setidaknya sekali seumur hidup. Jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki gen ini (yang hanya 22 persen).

    Menariknya, mutasi gen DRD4 merupakan warisan orangtua. Seperti penyakit keturunan, jika orangtua Anda memiliki “gen selingkuh” ini, Anda juga memilikinya.

    Tidak benar bahwa laki-laki lebih berisiko selingkuh

    Secara teori evolusioner, dikatakan bahwa pria lebih rentan berselingkuh atas alasan mempertahankan keturunan. Sementara itu, perempuan selalu diharapkan untuk hidup setia dengan satu pasangan, bahkan sejak zaman purba.

    Anehnya, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Evolution and Human Behavior tahun 2014 menunjukkan hal yang berbeda.

    Setelah mengamati lebih dari 7.000 anak kembar asal Finlandia, ditemukan bahwa wanita yang membawa mutasi gen reseptor vasopresin dalam otaknya memiliki kecenderungan untuk selingkuh.

    Vasopresin merupakan hormon yang diproduksi di hipotalamus otak dan disimpan dalam kelenjar pituitari pada bagian depan otak.

    Hormon ini dilepas bersamaan dengan oksitosin, “hormon cinta” yang diproduksi tubuh ketika kita melakukan kontak fisik dengan orang lain, misalnya berpelukan, berciuman, atau berhubungan seks.

    hormon oksitosin dan kesehatan tulang

    Vasopresin berperan besar terhadap perilaku sosial manusia, seperti kepercayaan, empati, dan ikatan seksual. Seks mengaktifkan hormon bahagia, yang justru memperkuat nilai seks sebagai aktivitas untuk mendekatkan hubungan bagi perempuan.

    Pelepasan hormon bahagia juga memperkuat kecenderungan untuk bermonogami dengan pasangannya saat ini.

    Jadi, masuk akal bahwa mutasi pada gen reseptor vasopresin (yang dapat mengubah fungsinya) bisa memengaruhi perilaku seksual perempuan.

    Menariknya, mutasi gen ini tidak ditemukan pada pria. Namun demikian, peneliti masih belum mengetahui apakah mutasi gen pada reseptor vasopresin yang terkait dengan perselingkuhan benar-benar membuat otak jadi kurang responsif terhadap efek hormon tersebut.

    Apakah semua orang yang mengalami mutasi gen akan berselingkuh?

    Di atas semua itu, faktor biologis bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam perselingkuhan. Faktor lain seperti ekonomi, masalah emosional, dan penyalahgunaan alkohol juga diketahui memiliki peran besar dalam kemungkinan seseorang berselingkuh.

    Pada akhirnya, meski hormon dan genetik sedikit-banyak memengaruhi perilaku kita, keputusan akhirnya ada pada diri Anda sendiri; apakah memilih untuk tetap setia atau mendarat di hati yang lain.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

    General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


    Ditulis oleh Winona Katyusha · Tanggal diperbarui 12/04/2022

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan