backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Benarkah Lari "Nyeker" Lebih Sehat Daripada Pakai Sepatu?

Ditinjau secara medis oleh dr. Tania Savitri · General Practitioner · Integrated Therapeutic


Ditulis oleh Risky Candra Swari · Tanggal diperbarui 05/10/2021

    Benarkah Lari "Nyeker" Lebih Sehat Daripada Pakai Sepatu?

    Mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa harus lari tanpa alas kaki alias “nyeker” kalau ada banyak sepatu lari yang dijual di pasaran. Tunggu dulu. Sepatu lari diduga dapat membuat otot-otot kaki menegang akibat dikekang dan dipaksa bekerja lebih keras. Itu sebabnya banyak orang kini beralih untuk membiasakan diri lari bertelanjang kaki, karena katanya juga lebih bermanfaat. Benarkah demikian?

    Lari tanpa alas kaki itu sehat, kok!

    Beberapa ahli kesehatan berpendapat bahwa lari tanpa alas kaki dapat meningkatkan kelincahan gerak kaki karena memperkuat otot, tendon, dan ligamen kaki tanpa dibatasi oleh tekanan dari sepatu. Selain itu, lari nyeker dapat memperkuat otot-otot kecil di telapak kaki, pergelangan kaki, dan pinggul yang bisa membantu Anda memperbaiki postur sekaligus memantapkan keseimbangan tubuh.

    Berlari “nyeker” juga dipercaya dapat menghindari Anda dari cedera olahraga, seperti otot betis yang tertarik, keseleo, atau cedera Achilles tendon yang disebabkan oleh ketegangan otot berlebihan.

    Manfaat lari tanpa alas kaki tidak berhenti sampai di situ saja, lho! Berlari “nyeker” dapat sekaligus Anda jadikan sebagai sesi pijat kaki gratis karena berjalan di atas permukaan yang tidak rata dapat merangsang titik-titik sensitif di telapak kaki untuk memperlancar aliran darah — mirip seperti terapi akupunktur.

    Lari di atas tanah tanpa alas kaki juga membantu Anda merasa lebih terkoneksi dengan alam sekitar, yang membantu mengurangi stres.

    Meski begitu, bukan berarti Anda lebih baik berlari bertelanjang kaki, lho! Lari “nyeker” masih menyimpan sejumlah risiko kesehatan yang perlu Anda pertimbangan masak-masak.

    Lari nyeker tingkatkan risiko cedera

    Tak dapat dipungkiri, kapalan atau cedera tertusuk benda tajam dan puing-puing jalanan menjadi risiko terbesar dari lari “nyeker”. Berlari di atas permukaan tanah yang lembap atau jalanan kotor juga dapat meningkatkan risiko infeksi kulit dari mikroorganisme yang tinggal di sana, seperti kutu air hingga kadas dan kurap.

    Pada sebagian besar orang yang belum terbiasa, lari tanpa alas kaki dapat menyebabkan sensasi tidak nyaman atau pegal-pegal hingga bahkan cedera seperti tendonitis atau kram kaki akibat otot betis yang menegang.

    Selain itu, terbiasa lari tanpa alas kaki bisa mengubah struktur asli telapak kaki Anda. Sebuah penelitian terbitan jurnal Nature menyatakan bahwa telapak kaki pelari yang bertelanjang cenderung lebih rata daripada yang lari pakai sepatu lari.

    Telapak kaki manusia dibuat alami melengkung. Lengkungan tersebut berfungsi untuk menyeimbangkan tubuh ketika Anda melakukan gerakan. Telapak kaki rata justru dapat menyebabkan Anda rentan mengalami nyeri dan sakit otot setelah berlari. Dalam kasus tertentu, hal ini dapat meningkatkan risiko Anda terkena plantar fascitis.

    Jadi, lebih baik pakai sepatu lari?

    Selain berfungsi untuk melindungi kaki dari batu atau benda asing yang mungkin menyakiti telapak kaki Anda, sepatu juga menjaga agar lengkungan kaki Anda tidak berubah merata.

    Di sisi lain, beberapa ahli beranggapan bahwa memakai sepatu dapat menyebabkan otot-otot kecil kaki melemah sehingga menciptakan postur lari dan gaya gerak kaki yang buruk. Daniel Lieberman, PhD, seorang profesor biologi di Harvad University juga mengatakan pada WebMD bahwa berlari pakai alas bisa saja meningkatkan risiko cedera kaki dan lutut.

    Pakai alas atau tidak, yang paling penting adalah untuk selalu memperhatikan keselamatan Anda sendiri saat berlari. Hindari lari di atas permukaan yang tidak rata dan rentan menyembunyikan “ranjau” berbahaya. Melatih postur lari yang baik juga dapat membantu Anda terhindar dari cedera olahraga.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Tania Savitri

    General Practitioner · Integrated Therapeutic


    Ditulis oleh Risky Candra Swari · Tanggal diperbarui 05/10/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan