backup og meta
Kategori

4

Tanya Dokter
Simpan
Cek Kondisi

8 Risiko Kesehatan yang Mungkin Terjadi Setelah Aborsi

Ditinjau secara medis oleh dr. Tania Savitri · General Practitioner · Integrated Therapeutic


Ditulis oleh Ajeng Quamila · Tanggal diperbarui 15/07/2021

    8 Risiko Kesehatan yang Mungkin Terjadi Setelah Aborsi

    Berdasarkan data studi gabungan milik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institut Guttmacher, satu dari empat kehamilan di dunia setiap tahunnya berakhir dengan aborsi. Angka aborsi di Tanah Air sendiri pun masih terbilang cukup tinggi. BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mencatat kasus aborsi di Indonesia bisa mencapai 2,4 juta per tahun.

    Apapun alasannya, aborsi bukanlah suatu keputusan yang mudah untuk dibuat. Tapi entah itu menggugurkan kandungan lewat jalur medis resmi ataupun di bawah tangan, selalu ada potensi risiko komplikasi dan efek aborsi yang harus Anda sadari. Beberapa di antaranya bisa berakibat sangat fatal.

    Apa saja efek aborsi yang mungkin terjadi?

    Tidak terhitung lagi banyaknya bukti akademis yang melaporkan potensi efek aborsi yang merusak tubuh. Efek samping yang umum dan bisa segera muncul pasca aborsi termasuk sakit perut dan kram, mual, muntah, diare, dan bercak darah. Di luar ini, efek aborsi dapat menyebabkan masalah yang lebih berbahaya. Sekitar 10 persen pasien aborsi menderita komplikasi segera, dan seperlimanya termasuk kasus yang mengancam nyawa.

    Maka penting untuk menyadari apa saja efek aborsi serius yang mungkin timbul. Sebagian besar efek samping aborsi berkembang memakan waktu lama dan mungkin tidak tampak selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan hingga tahunan. Efek samping aborsi yang parah memerlukan bantuan medis sesegera mungkin.

    1. Perdarahan vagina berat

    Perdarahan hebat sebagai efek aborsi serius umumnya disertai dengan demam tinggi dan gumpalan jaringan janin dari rahim. Perdarahan berat dilaporkan terjadi pada 1 dari 1000 kejadian aborsi.

    Perdarahan hebat bisa berarti:

    • Adanya gumpalan darah/jaringan yang lebih besar dari bola golf
    • Berlangsung selama 2 jam atau lebih
    • Aliran darah yang deras sehingga membutuhkan Anda mengganti pembalut lebih dari 2 kali dalam satu jam, selama 2 jam berturut-turut
    • Perdarahan berat selama 12 jam berturut-turut

    Baik aborsi spontan, medis, maupun ilegal (dengan obat aborsi yang didapat secara ilegal atau cara “alternatif” lainnya) sama-sama bisa menyebabkan perdarahan hebat. Perdarahan vagina yang sangat hebat bisa berujung pada kematian, terutama jika aborsi dilakukan secara ilegal dengan metode yang seadanya.

    2. Infeksi

    Infeksi adalah efek aborsi yang terjadi pada 1 dari setiap 10 kasus. Dalam studi meta-analisis terbitan jurnal Lancet yang mengamati 1.182 kasus aborsi medis di bawah pengawasan ketat tim dokter rumah sakit, 27 persen pasien mengalami infeksi yang berlangsung selama 3 hari atau lebih sebagai efek aborsi.

    Infeksi terjadi karena leher rahim akan melebar selama proses aborsi yang diinduksi obat aborsi (baik resep dokter maupun yang didapat dari pasar gelap). Ini kemudian menyebabkan bakteri dari luar masuk dengan mudah ke dalam tubuh, memicu timbulnya infeksi parah di rahim, saluran tuba, dan panggul.

    Tanda-tanda infeksi setelah aborsi meliputi gejala yang timbul mirip penyakit standar, seperti sakit kepala, nyeri otot, pusing, atau sensasi “tidak enak badan” pada umumnya. Demam tinggi adalah satu lagi contoh gejala infeksi setelah aborsi, walau tak jarang pula kasus infeksi yang tidak disertai demam. Segera kunjungi dokter jika Anda mengalami demam tinggi (di atas 38ºC) setelah aborsi yang disertai sakit perut dan punggung parah sehingga Anda sulit berdiri, dan cairan vagina yang berbau tidak normal.

    3. Sepsis

    Dalam kebanyakan kasus, infeksi tetap berada di satu area tertentu (rahim, misalnya). Namun, dalam kasus yang lebih parah, infeksi bakteri masuk ke aliran darah Anda dan berjalan ke seluruh tubuh. Ini yang disebut sebagai sepsis. Dan ketika infeksi terlanjur menyerang tubuh Anda semakin parah sehingga menyebabkan tekanan darah menurun sangat rendah, ini disebut sebagai syok sepsis. Syok sepsis setelah aborsi termasuk kondisi gawat darurat.

    Ada dua faktor utama yang dapat berperan penting terhadap peningkatan risiko Anda terhadap sepsis dan pada akhirnya, syok sepsis setelah aborsi: aborsi yang tidak sempurna (potongan jaringan sisa kehamilan masih terperangkap dalam tubuh setelah aborsi) dan infeksi bakteri pada rahim selama aborsi (baik lewat pembedahan maupun dengan cara mandiri).

    Jika Anda baru saja melakukan aborsi dan mengalami gejala berikut, segera dapatkan pertolongan medis:

    • Suhu tubuh sangat tinggi (di atas 38ºC) atau sangat rendah
    • Perdarahan berat
    • Nyeri parah
    • Lengan dan kaki pucat, juga terasa dingin
    • Sensasi linglung, kebingungan, gelisah, atau letih
    • Gemetar menggigil
    • Tekanan darah rendah, terutama saat berdiri
    • Ketidakmampuan untuk buang air kecil
    • Jantung berdebar cepat dan keras; palpitasi jantung
    • Sulit bernapas, bernapas dangkal dengan sesak napas

    4. Kerusakan rahim

    Kerusakan rahim terjadi pada sekitar 250 dari seribu kasus aborsi lewat pembedahan dan 1 di antara seribu pada kasus aborsi obat (resep dan nonresep) yang dilakukan pada usia kehamilan 12-24 minggu.

    Kerusakan rahim termasuk kerusakan leher rahim, perlubangan (perforasi) rahim, dan luka robek pada rahim (laserasi). Namun sebagian besar kerusakan ini bisa tidak terdiagnosis dan tidak terobati kecuali dokter melakukan visualisasi laparoskopi.

    Risiko perforasi rahim meningkat pada wanita yang sebelumnya telah melahirkan dan bagi mereka yang menerima anestesi umum pada saat aborsi. Risiko kerusakan serviks akan lebih besar pada remaja yang melakukan aborsi sendiri pada trimester kedua, dan ketika praktisi aborsi gagal memasukkan laminaria untuk dilatasi serviks.

    5. Infeksi peradangan panggul

    Infeksi peradangan panggul (PID) adalah penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan risiko kehamilan ektopik dan mengurangi kesuburan perempuan di masa depan. Kondisi ini berpotensi mengancam nyawa. Sekitar 5% perempuan yang tidak terinfeksi oleh infeksi lain sebelum kehamilan dan selama aborsi dapat mengembangkan PID dalam waktu 4 minggu setelah aborsi pada trimester pertama.

    Risiko PID meningkat pada kasus aborsi spontan karena adanya peluang untuk jaringan kehamilan terperangkap dalam rahim serta risiko perdarahan hebat. Keduanya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri; Selain itu, pada wanita yang sudah mengalami anemia sedang hingga berat sedari awal, kehilangan darah lebih lanjut akan meningkatkan kemungkinan infeksi. Pada aborsi yang diinduksi (baik legal maupun ilegal), instrumen dan manipulasi eksternal juga meningkatkan kemungkinan infeksi.

    6. Endometritis

    Endometritis adalah kondisi peradangan pada lapisan rahim, dan biasanya karena infeksi. Endometritis adalah risiko efek aborsi yang mungkin terjadi pada semua, namun lebih terutama untuk remaja. Remaja perempuan dilaporkan 2,5 kali lebih mungkin untuk mengalami endometritis setelah aborsi dibandingkan wanita usia 20-29.

    Infeksi yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi pada organ reproduksi, masalah kesuburan, dan masalah kesehatan umum lainnya.

    7. Kanker

    Perempuan yang pernah sekali menjalankan aborsi menghadapi risiko 2,3 kali lebih tinggi terkena kanker serviks daripada perempuan yang tidak pernah aborsi. Perempuan yang pernah dua kali atau lebih menjalani aborsi memiliki peningkatan risiko hingga 4,92.

    Risiko peningkatan kanker ovarium dan kanker hati juga terkait dengan aborsi tunggal dan ganda. Peningkatan kanker pasca-aborsi mungkin disebabkan oleh gangguan hormonal tidak wajar sel kehamilan selama dan kerusakan leher rahim yang tidak diobati atau peningkatan stres dan dampak negatif dari stres pada sistem kekebalan tubuh.

    Sementara itu berbanding terbalik dengan mitos masyarakat, tidak ada hubungan antara aborsi dan peningkatan risiko kanker payudara.

    8. Kematian

    Perdarahan hebat, infeksi parah, emboli paru, anestesi yang gagal, dan kehamilan ektopik yang tidak terdiagnosis merupakan beberapa contoh penyebab utama dari kematian ibu yang terkait aborsi dalam seminggu setelahnya.

    Studi tahun 1997 di Finlandia melaporkan bahwa perempuan yang aborsi berisiko empat kali lipat lebih mungkin untuk meninggal akibat kondisi kesehatan di tahun berikutnya daripada wanita yang melanjutkan kehamilan mereka sampai cukup umur. Penelitian ini juga menemukan bahwa perempuan yang melakukan aborsi mengalami peningkatan risiko kematian yang lebih besar dari bunuh diri dan sebagai korban pembunuhan (oleh anggota keluarga maupun pasangan), daripada perempuan yang melanjutkan hamil hingga 9 bulan.

    Penting untuk dipahami bahwa sejumlah efek aborsi di atas jarang terjadi dan beberapa risiko juga tampak mirip dengan komplikasi persalinan bayi. Yang penting adalah bahwa Anda menyadari risikonya sementara Anda berusaha membuat keputusan penting tentang kehamilan Anda.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Tania Savitri

    General Practitioner · Integrated Therapeutic


    Ditulis oleh Ajeng Quamila · Tanggal diperbarui 15/07/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan