backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Bisakah Penyakit Infeksi Menyebabkan Terjadinya Autoimun?

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 07/06/2022

    Bisakah Penyakit Infeksi Menyebabkan Terjadinya Autoimun?

    Hingga saat ini, penyebab gangguan autoimun belum diketahui pasti, tetapi peneliti menemukan bahwa kondisi ini berhubungan dengan faktor genetik. Di samping itu, infeksi juga diduga menyebabkan respons autoimun. Benarkah?

    Apa itu autoimun?

    penyebab penyakit auotoimun

    Autoimun terjadi ketika sistem imun atau kekebalan tubuh yang bertugas melindungi tubuh dari serangan infeksi malah menyerang organ dan sel-sel sehat dalam tubuh. 

    Umumnya, saat kuman penyakit mulai memperbanyak diri di dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh akan bereaksi melawan infeksi tersebut. 

    Akan tetapi, bila Anda mengalami jenis penyakit autoimun tertentu, sistem imun sebenarnya sudah tidak lagi berfungsi dengan baik.

    Sistem imun tidak lagi dapat membedakan antara sel-sel sehat dan benda asing yang berbahaya, seperti virus maupun bakteri. 

    Akibatnya, sistem imun akan memproduksi antibodi yang dinamakan autoantibodi. Beda dengan antibodi yang melindungi tubuh dari penyakit, autoantibodi justru memicu kerusakan pada sel sehat dan organ dalam tubuh.

    Bagaimana penyakit infeksi menyebabkan penyakit autoimun?

    Kenapa Penyakit Autoimun Semakin Banyak Menyerang Masyarakat Indonesia?

    Dari berbagai penelitian yang dilakukan hingga saat ini, penyakit infeksi diketahui dapat menyebabkan munculnya respons autoimun.

    Ana-Maria Orbai, spesialis autoimun dari Johns Hopkins Medicine, menyebutkan bahwa saat melawan infeksi patogen, sistem imun terkadang bereaksi secara berlebihan. 

    Berlebihan dalam hal ini artinya sistem imun turut menyerang sel sehat. Respons inilah yang kemudian menyebabkan sejumlah masalah kesehatan.

    Meski begitu, penyakit autoimun tertentu tidak disebabkan satu infeksi kuman penyakit saja. 

    Berdasarkan temuan yang ada, autoimun mungkin terbentuk dari sejumlah infeksi bakteri atau virus yang terjadi secara bersamaan (koinfeksi) ataupun berbeda waktu.

    Sebuah studi berjudul The Role of Infection in Autoimmune Diseases (2009) mengungkapkan beberapa infeksi patogen tertentu secara spesifik menyebabkan suatu respons autoimun.

    Sebagai contoh, infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dan campak kemungkinan dapat memicu terjadinya multiple sclerosis.

    Penyakit autoimun lainnya, seperti rheumatoid arthritis atau lebih dikenal dengan rematik juga bisa terjadi akibat infeksi virus hepatitis B dan bakteri Escherichia coli. 

    Maria Orbai menambahkan, kasus psoriasis atau peradangan yang menyebabkan kulit bersisik juga terjadi setelah seorang pasien terinfeksi bakteri Streptococcus penyebab strep throat.

    Faktor yang menyebabkan penyakit autoimun selain infeksi

    dokter ortopedi

    Teori mengenai hubungan infeksi yang menyebabkan autoimun sebenarnya juga belum bisa menjelaskan mengapa respons autoimun hanya muncul pada bagian tubuh tertentu. 

    Meski begitu, ada beberapa faktor selain infeksi yang bisa memberikan penjelasan lebih lengkap mengapa respons autoimun bisa terjadi.

    1. Genetik

    Tentunya tidak semua orang yang terinfeksi patogen lantas menunjukkan respons autoimun. 

    Suatu infeksi yang dapat menyebabkan penyakit autoimun juga dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya genetik. Berjenis kelamin perempuan juga meningkatkan risiko hingga 78 persen.

    Alhasil, bila Anda perempuan dan memiliki riwayat keluarga dengan penyakit autoimun, seperti penyakit lupus, ini bisa meningkatkan risiko terkena penyakit yang sama.

    2. Obesitas

    WHO menemukan sekitar 13% dari total populasi dunia mengalami obesitas pada 2016.

    Faktanya, obesitas memang berkaitan dengan penyakit autoimun, seperti rheumatoid dan psoriasis arthritis. Ini lantaran kelebihan lemak bisa memicu peningkatan produksi senyawa yang disebut adipokin.

    Senyawa bioaktif ini cenderung menyebabkan terjadinya peradangan tingkat rendah. Selain itu, adipokin juga memengaruhi fungsi dari sistem kekebalan tubuh.

    3. Paparan zat kimia berbahaya

    Selain infeksi yang menyebabkan autoimun, paparan zat kimia berbahaya seperti polutan dan radiasi ultraviolet juga berkaitan dengan perkembangan multiple sclerosis.

    Merokok juga diketahui berkaitan dengan penyakit yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh, seperti rheumatoid arthritis dan lupus. 

    Ini karena bahan kimia dalam rokok bisa memicu respons inflamasi (peradangan) dan mendorong pembentukan autoantibodi.

    4. Perlukaan pada urat otot

    Pada kasus psoriasis arthritis, respons autoimun muncul saat terjadi kerusakan pada tendon akibat tekanan dan pergerakan berlebih.

    Tendon atau urat otot merupakan jaringan ikat yang melekatkan otot dan tulang. Tekanan membuat tendon mengalami kontak dengan pembuluh darah sehingga menyebabkan luka. 

    Ketika pembuluh darah berusaha menyembuhkan luka, muncul respons autoimun yang menyebabkan peradangan pada tendon.

    5. Reaksi sistem imun melawan sel kanker

    Skleroderma merupakan salah satu jenis penyakit autoimun yang menyebabkan penebalan pada kulit dan jaringan di sekitarnya. Masalah kesehatan ini diduga disebabkan oleh reaksi sistem imun dalam melawan sel kanker. 

    Selain itu, sejumlah studi terbaru juga menemukan adanya peningkatan risiko kanker pada pasien skleroderma dibandingkan dengan populasi umum.

    Infeksi bukanlah satu-satunya hal yang menyebabkan gangguan autoimun. Terdapat berbagai faktor risiko yang meningkatkan risiko Anda terkena kondisi ini.

    Untuk mencegahnya, mulailah dengan menerapkan pola hidup sehat, seperti menjaga berat badan ideal, konsumsi makanan bergizi, dan rutin berolahraga.

    Jangan ragu untuk melakukan konsultasi dengan dokter bila Anda memiliki kekhawatiran terhadap gangguan autoimun.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

    General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


    Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 07/06/2022

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan