backup og meta
Kategori
Cek Kondisi

1

Tanya Dokter
Simpan

Infeksi HIV pada Anak: Penyebab, Gejala, Cara Mengobati, dan Mencegahnya

Ditinjau secara medis oleh dr. Yusra Firdaus


Ditulis oleh Nabila Azmi · Tanggal diperbarui 21/12/2020

    Infeksi HIV pada Anak: Penyebab, Gejala, Cara Mengobati, dan Mencegahnya

    HIV/AIDS masih menjadi salah satu isu kesehatan utama di dunia. Menurut laporan teranyar dari UNAIDS, ada sekitar 37,9 juta orang di seluruh dunia yang diketahui positif HIV/AIDS pada akhir tahun 2018. Dari jumlah tersebut, 36,2 juta adalah orang dewasa dan 1,7 juta lainnya adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Bagaimana dengan kasus HIV pada anak di Indonesia? Apa penyebab infeksi HIV pada anak dan apa saja gejala yang muncul pada anak yang terinfeksi?

    Situasi kasus HIV dan AIDS pada anak di Indonesia

    Berbagai sumber menyimpulkan bahwa rerata kasus baru HIV dan AIDS pada anak di bawah 19 tahun terus bertambah. Situs berita Kontan melaporkan bahwa total kasus anak yang terkena HIV/AIDS di Indonesia per akhir tahun 2018 diperkirakan mencapai 2.881 orang. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2010, yaitu sebanyak 1.622 anak.

    Melansir Kompas yang merujuk data Kemenkes, total kasus tersebut terdiri dari 1.447 anak usia 0-14 tahun yang terkena HIV dan 324 anak lainnya positif AIDS per akhir 2018. Data yang sama juga menunjukkan ada 1.434 kasus HIV pada anak usia 15-19 tahun dan 288 anak remaja lainnya positif AIDS.

    Minimnya akses informasi dan sosialisasi bahwa HIV juga bisa terjadi pada anak dapat menjadi penghalang bagi mereka mendapatkan perawatan yang tepat. Simak ulasan berikut ini agar para orangtua paham mengenai seluk-beluk HIV, sekaligus sebagai upaya mencegah semakin banyak anak Indonesia yang terinfeksi HIV.

    Penyebab HIV pada anak

    Penyebab penyakit HIV adalah infeksi human immunodeficiency virus. Virus ini menghancurkan sel CD4 (sel T), jenis sel darah putih dalam bagian sistem imun yang khusus bertugas melawan infeksi.

    Manusia menghasilkan jutaan sel T setiap hari untuk menjaga kekebalan tubuh. Namun di saat yang bersamaan, virus HIV juga terus menggandakan diri untuk menginfeksi sel T yang sehat.

    Semakin banyak sel T yang dihancurkan virus HIV, kekebalan tubuh seseorang akan semakin lemah dan rentan terhadap berbagai penyakit. Ketika jumlah sel T sangat jauh di bawah normalnya, infeksi HIV dapat berkembang menjadi penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).

    Virus HIV itu sendiri rentan menular lewat aktivitas tertentu yang memungkinkan pertukaran atau perpindahan cairan tubuh dari satu orang ke lainnya. Namun, cairan tubuh yang menjadi perantara penyebaran virus tidak sembarangan.

    HIV umumnya terbawa dalam darah, air mani (cairan ejakulasi pria), cairan pra-ejakulasi, cairan anus (rektum), dan cairan vagina. Itu sebabnya HIV cenderung lebih mudah menular lewat hubungan seks yang tidak aman, misalnya tidak memakai kondom.

    Lantas, apa yang menjadi penyebab penularan HIV pada anak kecil? Penularan HIV/AIDS pada anak dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini:

    1. Penularan dari ibu ke anak

    tidak tahu kalau hamil

    Jalur penularan HIV yang paling banyak terjadi pada anak kecil dan bayi adalah lewat ibunya (mother-to-child transmission). Menurut yayasan nonprofit Pediatric AIDS Foundation, lebih dari 90% kasus penularan HIV pada anak kecil dan bayi terjadi saat masa kehamilan.

    Ya! Seorang perempuan yang terinfeksi HIV sebelum maupun saat hamil dapat menularkan virusnya pada calon anak mereka sejak dalam kandungan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, seorang ibu hamil yang positif HIV berisiko sekitar 15-45% untuk menularkan virus pada anak dalam rahimnya lewat tali plasenta.

    Risiko penularan HIV dari ibu ke anak juga dapat terjadi apabila bayi terpapar darah, cairan ketuban yang pecah, cairan vagina, atau cairan tubuh ibu lainnya yang mengandung virus HIV selama proses melahirkan.

    Sebagian kasus lainnya dapat pula terjadi dari proses menyusui eksklusif karena virus HIV dapat terkandung dalam ASI. Maka itu, dokter biasanya akan mencegah penderita HIV memberikan ASI eksklusif pada bayinya.

    2. Tertular dari jarum yang terkontaminasi

    ciri tanda pengguna narkoba

    Selain penularan pada masa kehamilan, penggunaan jarum suntik bekas bergantian juga merupakan cara penularan HIV yang mungkin terjadi pada anak. Risiko ini terutama tinggi di kalangan anak pengguna narkoba suntik.

    Virus HIV dapat bertahan hidup di dalam jarum suntik selama kurang lebih 42 hari setelah kontak pertama kali dengan pemakai pertamanya (yang positif HIV). Maka, ada peluang bagi satu jarum bekas untuk menjadi perantara penularan HIV kepada banyak anak yang berbeda.

    Darah mengandung virus yang tertinggal pada jarum dapat berpindah ke tubuh pemakai jarum selanjutnya melalui luka bekas suntikan.

    3. Aktivitas seksual

    pelecehan seksual

    Sepeti yang dijelaskan di atas, HIV rentan menular lewat hubungan seks tidak aman.

    Perilaku seksual yang berisiko dianggap lebih “wajar’ terjadi pada orang dewasa, tapi anak-anak dan remaja juga mungkin saja terlibat. Melansir Liputan 6 yang merujuk hasil survei dari Reckitt Benckiser Indonesia, setidaknya 33% anak muda Indonesia pernah berhubungan seks tanpa pakai kondom.

    Selain itu, penularan HIV juga berisiko terjadi pada anak yang mengalami kekerasan seksual dari pelaku yang menderita HIV (baik disadari maupun tidak).

    Penularan HIV lewat hubungan seks rentan terjadi dari kontak darah, air mani, cairan vagina, atau cairan praejakulasi milik orang yang terinfeksi HIV dengan luka terbuka atau lecet pada alat kelamin orang sehat, misalnya dinding dalam vagina, bibir vagina, bagian penis mana pun (termasuk lubang bukaan penis), ataupun jaringan dubur dan cincin otot anus.

    Perkawinan anak di bawah umur dengan orang yang berisiko memiliki HIV juga membuat mereka lebih rentan terkena infeksi.

    4. Tranfusi darah

    Praktik donor darah dengan jarum yang tidak steril juga dapat meningkatkan risiko HIV pada anak, terutama di negara-negara yang tingkat kemiskinannya masih tinggi. Anak yang menerima donor dari orang yang positif HIV juga berisiko terinfeksi. 

    Namun, penularan HIV lewat donor saat ini tergolong langka dan sangat bisa dihindari karena prosedur pengambilan darah sudah diperketat sejak beberapa dekade terakhir. Tenaga medis yang bertanggung jawab dalam pendonoran aka menyaring calon pendonor dengan ketat untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi.

    Maka itu, risiko penularan HIV dari donor darah pada anak jauh lebih kecil dibandingkan penularan karena jarum narkoba dan penularan melalui ibu. 

    Gejala HIV pada anak

    Tidak semua anak yang terkena HIV menunjukkan gejala spesifik. Gejala HIV pada anak bisa bersifat ringan atau parah tergantung dari tahapan infeksi atau stadium HIV. Melansir laman Stanford Children’s Health, gejala yang muncul pada anak juga dapat berbeda-beda, tergantung pada usia berapa mereka terkena infeksi pertama kali.

    Gejala HIV yang samar-samar dapat membuat orangtua terkecoh dengan tanda penyakit lain yang mirip. 

    Akan tetapi, ini dia beberapa gejala HIV pada anak secara umum berdasarkan usianya. 

    1. Bayi

    balita yang kekurangan gizi

    Gejala HIV pada anak balita mungkin sulit dikenali. Maka jika Anda atau pasangan laki-laki Anda termasuk orang yang berisiko, Anda dianjurkan untuk rutin memeriksakan si kecil. Ya! Ayah pun dapat menularkan HIV pada bayi mereka.

    Beberapa gejala HIV pada anak usia balita yang akan muncul, antara lain: 

    • Tumbuh kembang anak terhambat. Misalnya, berat badan tidak kunjung naik. 
    • Perut membesar karena adanya pembengkakan pada hati dan limpa mereka. 
    • Mengalami diare dengan frekuensi yang tidak menentu. 
    • Sariawan akibat infeksi jamur pada mulut anak yang ditandai dengan bercak-bercak putih di rongga pipi dan lidah. 

    Walaupun demikian, beberapa gejala HIV pada anak pada usia balita juga dapat menandai anak Anda menderita penyakit lain, sehingga lebih baik memastikannya ke dokter. 

    2. Anak 

    bipolar pada anak

    Bagi anak yang berusia lebih dari dua tahun, gejala HIV mereka dapat dibagi menjadi tiga kategori, dari ringan hingga parah. 

    Gejala HIV ringan pada anak usia sekolah:

    • Pembengkakan kelenjar getah bening.
    • Kelenjar parotis (kelenjar ludah yang terletak di dekat telinga) membengkak. 
    • Sering mengalami infeksi sinus dan telinga. 
    • Mengalami gatal dan terdapat ruam pada kulit
    • Pembengkakan perut akibat membengkaknya hati dan limpa anak. 

    Gejala HIV taraf sedang pada anak usia sekolah

    • Sariawan yang berlangsung lebih dari dua bulan. 
    • Pneumonitis, yaitu pembengkakan dan peradangan jaringan paru-paru. 
    • Diare.
    • Demam tinggi yang tidak kunjung sembuh lebih dari satu bulan. 
    • Hepatitis atau peradangan organ hati. 
    • Cacar air dengan komplikasi.
    • Gangguan atau penyakit ginjal.

    Gejala HIV parah pada anak usia sekolah

    • Menderita dua infeksi bakteri yang serius dalam dua tahun belakangan ini, seperti meningitis atau sepsis. 
    • Infeksi jamur pada saluran pencernaan dan paru-paru. 
    • Peradangan otak atau ensefalitis. 
    • Tumor atau lesi ganas. 
    • Pneumocytis jiroveci, jenis pneumonia yang paling sering terjadi pada penderita HIV.

    Beberapa anak mungkin saja terkena infeksi herpes simpleks dan herpes zoster (cacar ular) sebagai komplikasi gejala HIV. Ini karena infeksi HIV seiring waktu melemahkan sistem imun anak, yang notabene memang belum sekuat orang dewasa.

    Maka itu, perlu diingatkan kembali bahwa gejala HIV pada anak mungkin juga sama dengan penyakit atau masalah medis lain. Selalu konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter jika Anda curiga melihat gejala HIV pada anak untuk mendapatkan diagnosis yang lebih pasti.

    Pengobatan gejala HIV pada anak

    periksa dokter anak diagnosis

    Belum ada obat yang benar-benar bisa menyembuhkan HIV, baik pada orang dewasa dan anak kecil. Namun, mendiagnosis HIV pada anak harus dilakukan sejak dini agar si kecil mendapatkan perawatan yang tepat. 

    Meski belum ada obat penyembuh, gejala HIV pada anak dapat ditanggulangi dengan pemberian ART (obat antiretroviral). Anak yang terkena HIV harus rutin mengonsumsi obat tersebut seumur hidupnya untuk mengendalikan infeksi HIV dan meningkatkan daya tahan tubuh.

    Maka itu, menjalani pengobatan HIV dengan ART pada akhirnya membuat anak dapat hidup lebih sehat dan panjang umur.

    Cara mencegah penyebaran HIV pada anak

    Risiko HIV akan meningkat berdasarkan cara penularan dan seberapa banyak viral load yang dimiliki tubuh si inang yang berpoensi menularkannya pada anak

    Lantas, apakah peluang penularan HIV pada anak dapat dicegah? Jawaban sederhananya: ya.

    Perempuan dewasa yang positif HIV dapat mengurangi potensi penularan dengan rutin memeriksakan diri dan terus melakukan pengobatan secara disiplin; sebisa mungkin sejak sebelum mulai program hamil. Dengan penanganan medis yang tepat selama masa kehamilan, melahirkan, hingga selama menyusui, peluang penularan HIV pada anak dapat berkurang sebanyak 5 persen.

    Pencegahan HIV pada anak juga dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan seks sedini mungkin. Anak kecil dan remaja harus mengerti tentang HIV dengan benar agar dapat melindungi diri mereka.

    Bimbing anak Anda agar berperilaku aman dengan membagikan informasi tentang pencegahan dan bahaya dari infeksi HIV. Biarkan mereka tahu bagaimana cara-cara infeksi HIV terjadi dan beberapa gejala HIV.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Yusra Firdaus


    Ditulis oleh Nabila Azmi · Tanggal diperbarui 21/12/2020

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan